KALBARNEWS.CO.ID (JAKARTA) — Percepatan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) bagi petani swadaya menuntut sebuah perubahan yang fundamental dan sistemik, bukan lagi sekadar program pendampingan yang berjalan sendiri-sendiri. Hadapi Tembok Regulasi Global, Solidaridad: Akselerasi ISPO Butuh Paradigma Baru, Bukan Sekadar Pendampingan
Perubahan tersebut membutuhkan terobosan nyata yang didorong oleh kolaborasi multi-pihak dan penguatan kapasitas kelembagaan petani secara berkelanjutan, mulai dari integrasi sistem pemerintah untuk menciptakan pengajuan satu pintu yang efisien, hingga pemberdayaan petani melalui platform digital yang memberi mereka kedaulatan atas data mereka sendiri.
Beberapa solusi strategis tersebut menjadi agenda utama yang diusulkan oleh Solidaridad dalam The 2nd Indonesia Palm Oil Research and Innovation Conference and Expo (IPORICE) 2025. Dalam forum tersebut, Country Manager Solidaridad Indonesia, Yeni Fitriyanti, secara rinci memaparkan mengapa pendekatan baru ini krusial untuk mengurai "benang kusut" yang menghambat laju sertifikasi ISPO kepada para petani swadaya.
Menurut data yang dipaparkan, hingga Juli 2025, baru 9% atau seluas 69.209,43 hektar lahan petani swadaya yang tersertifikasi ISPO dari total potensi 6,7 juta hektar.
"Stagnasi ini adalah krisis tersembunyi. ISPO bukan lagi sekadar 'nilai tambah', melainkan telah menjadi syarat mutlak dan benteng pertahanan terakhir bagi petani untuk bertahan di pasar domestik dan global," tegas Yeni.
Kondisi ini menjadi lebih genting di tengah meningkatnya tuntutan pasar global, seperti implementasi Regulasi Deforestasi Uni Eropa (EUDR) yang berisiko menutup akses pasar bagi produk yang tidak terverifikasi berkelanjutan.
Di tingkat nasional, tantangan di lapangan semakin nyata, mulai dari keluhan petani mengenai biaya memberatkan dalam proses pengajuan STDB hingga penyerapan Dana Bagi Hasil (DBH) Sawit yang belum optimal untuk mendukung proses sertifikasi.
Untuk mengatasi masalah sistemik ini, Solidaridad mengusulkan sebuah terobosan komprehensif yang memadukan pendekatan top-down dari sisi pemerintah dengan inisiatif bottom-up yang berpusat pada petani.
Dari atas, pemerintah didorong untuk melakukan integrasi sistemik dengan menciptakan pengajuan satu pintu yang memangkas duplikasi proses dan birokrasi, salah satunya dengan menyatukan aplikasi e-STDB dan Sarpras BPDPKS. Secara bersamaan, pendekatan ini diimbangi dari bawah melalui pemberdayaan digital, yakni dengan mendukung pengembangan platform digital yang dimiliki dan dikelola langsung oleh koperasi petani untuk memastikan kedaulatan data dan akses informasi.
"Ini bukan hanya tugas pemerintah atau petani saja. Perusahaan, lembaga keuangan, dan Organisasi Masyarakat Sipil harus duduk bersama dalam sebuah gugus tugas yurisdiksi yang nyata," ujar Yeni. "Solidaridad, melalui berbagai program pendampingan di Kalimantan, siap berbagi pengalaman dan model kolaborasi untuk diimplementasikan di tingkat kabupaten. Waktu kita tidak banyak, dan kolaborasi adalah satu-satunya jalan ke depan."
Partisipasi Solidaridad dalam forum IPORICE 2025 ini menjadi penegasan komitmen untuk terus berkolaborasi. Solidaridad mengajak para pemangku kepentingan, khususnya pemerintah pusat dan daerah, untuk segera menindaklanjuti rekomendasi kunci: program kolaborasi penguatan kapasitas petani dan kelembagaanya, integrasi platform e-STDB dan Sarpras BPDPKS, serta memfasilitasi pilot project pendampingan berbasis yurisdiksi di kabupaten-kabupaten prioritas. Langkah konkret ini diyakini akan menjadi pendorong utama dalam mewujudkan industri kelapa sawit yang berkelanjutan dan menyejahterakan seluruh petaninya. (tim Liputan)
Editor : Aan