![]() |
Foto Ilustrasi |
KALBARNEWS.CO.ID (JAKARTA) - “Apakah
kita sedang menyaksikan senjakala dunia pers Indonesia?” Pertanyaan ini bukan
sekadar retorika, melainkan refleksi getir atas realitas yang kini dihadapi
media di Tanah Air—khususnya media lokal yang sedang megap-megap bertahan di
tengah badai disrupsi dan pengabaian sistematis oleh negara.
Pers: Pilar Demokrasi yang Mulai
Retak
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999
tentang Pers secara tegas menempatkan pers sebagai salah satu pilar demokrasi.
Fungsi pers bukan sekadar menyampaikan berita, tetapi membentuk kesadaran
publik, mengedukasi warga negara, menjadi alat kontrol kekuasaan, dan merawat
keutuhan bangsa.
Namun, idealisme ini menghadapi
tantangan besar. Banyak media, terutama lokal dan kecil, tak mampu lagi
menjalankan fungsinya secara maksimal. Minimnya SDM profesional, lemahnya
manajemen bisnis, terbatasnya infrastruktur, serta ketergantungan pada anggaran
publikasi pemerintah membuat banyak media hidup dari napas buatan.
Ketika Pemerintah Menarik Diri
Dalam teori dan aturan,
pemerintah disebut sebagai penjamin kemerdekaan pers. Tapi dalam praktik,
kebijakan yang seharusnya mendukung tumbuhnya ekosistem pers yang sehat justru
makin menjauh.
Dengan dalih efisiensi anggaran,
pemerintah pusat hingga daerah memangkas drastis belanja media. Tak hanya
menciptakan ketimpangan informasi, langkah ini juga mematikan ruang hidup media
lokal yang selama ini menggantungkan pendapatan pada belanja iklan pemerintah.
Celakanya, dana publikasi kini
dialihkan ke media sosial: YouTube, TikTok, Instagram, dan Facebook—platform
yang tidak tunduk pada UU Pers, tak mengenal verifikasi fakta, dan tidak
memiliki tanggung jawab etis sebagaimana dituntut pada insan pers.
Akibatnya, bukan hanya ekosistem
pers yang ambruk, tetapi juga kedaulatan digital kita. Dana publikasi
pemerintah justru mengalir ke luar negeri, memperkaya platform global, bukan
memperkuat jurnalisme lokal.
Media Sosial: Informasi Instan
Tanpa Etika
Era digital memang memudahkan
siapa pun menjadi “penyampai informasi”. Namun tidak semua informasi adalah
kebenaran. Tak semua konten kreator memahami tanggung jawab sosial dari
informasi yang mereka sebar.
Pers dituntut menjalankan
verifikasi, akurasi, cover both side, hingga akuntabilitas hukum. Sementara
para konten kreator bebas menarasikan apa saja tanpa keharusan etis atau fakta
yang terverifikasi.
Ketimpangan ini makin parah saat
para pejabat publik justru lebih memilih membangun pencitraan di media sosial
ketimbang bersinergi dengan media massa profesional.
Siapa Peduli Saat Wartawan Di-PHK
dan Media Gulung Tikar?
PHK massal di industri pers bukan
lagi berita baru. Banyak wartawan dan karyawan media dirumahkan. Di sisi lain,
tidak ada skema jaminan keberlanjutan industri pers dari pemerintah. Tidak ada
insentif, tidak ada subsidi, tidak ada perlindungan yang konkret.
Padahal, mereka adalah garda
terdepan dalam memastikan publik mendapatkan informasi yang akurat dan
berkualitas. Di mana negara saat para jurnalis kehilangan pekerjaannya?
Dewan Pers Tak Bisa Sendirian
Sebagai lembaga independen, Dewan
Pers memiliki peran penting: menjaga kode etik, menyelesaikan sengketa, dan
melindungi wartawan. Namun Dewan Pers tak punya anggaran, tak punya kewenangan
eksekusi, dan tak mampu menjangkau seluruh pelosok nusantara.
Artinya, menjaga kelangsungan
hidup media tidak cukup hanya dibebankan pada Dewan Pers. Ini adalah tanggung
jawab negara.
Jurnalisme Harus Diselamatkan,
Sekarang Juga
Kita tidak sedang membahas
sekadar profesi atau bisnis. Kita sedang membicarakan masa depan demokrasi.
Tanpa media yang bebas, profesional, dan independen, publik akan kehilangan
sumber informasi kredibel, dan kekuasaan akan beroperasi tanpa pengawasan.
Pemerintah harus hadir bukan
sebagai regulator yang menekan, melainkan sebagai fasilitator yang membangun
ekosistem jurnalisme sehat—media yang mandiri, wartawan yang terlindungi, dan
publik yang tercerahkan.
Kemerdekaan pers bukan hanya hak
wartawan. Ini hak seluruh rakyat yang ingin hidup dalam negara demokratis yang
sehat. Jika pemerintah terus diam, jika publik ikut abai, maka senjakala pers
bukan lagi ancaman—melainkan kenyataan.
Mari kita bertanya dalam hati
masing-masing: siapa yang akan peduli saat pers benar-benar tumbang?
Penulis : Sony Fitrah Perizal (Ketua
Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Provinsi Jawa Barat)