Sedih, Timnas Tersingkir oleh Korsel 0-1

Editor: Redaksi author photo
Timnas U23 gagal menjadi pelipur lara di tengah situasi negeri yang sedang panas
KALBARNEWS.CO.ID (PONTIANAK) - Timnas U23 gagal menjadi pelipur lara di tengah situasi negeri yang sedang panas. Pasukan Gerald Vanenburg malah tersingkir dan gagal lolos. Mari kita lindas, eh salah, kupas kekalahan Timnas ini dengan seruput kopi tanpa gula, wak!

Timnas Garuda akhirnya menelan pil pahit, kalah 0-1 dari negeri ginseng, Korea Selatan, dalam laga Grup J Kualifikasi Piala Asia U-23 2026 di Stadion Gelora Delta, Sidoarjo. Pil pahit itu keras, pahitnya seperti jamu kunyit asam yang basi tiga hari. Namun, walau tersingkir, Garuda kita tetap menjadi legenda, karena dalam dunia sepakbola, kalah pun bisa jadi kemenangan bila dikisahkan dengan penuh gaya.

Sejak babak pertama, angin timur sudah berhembus kencang. Nama pelatih Korsel, Lee Min-sung, saja sudah bikin dengkul penonton gemetar seperti daun kelor disiram kuah bakso. Baru enam menit, gawang Cahya Supriadi ditembus oleh jurus maut Hwang Doyun. Penonton tersentak. Ada yang lagi ngopi, langsung muncrat ke wajah tetangga.

Tukang cilok pun ikut mengeluh, “Lho kok cepet amat bobolnya, aku aja baru nyalain kipas angin.”

Namun Garuda tak menyerah. Hokky Caraka, pendekar muda dari tanah air, mengeluarkan jurus tendangan naga, meski masih mental di dinding pertahanan Korsel yang kokoh seperti pagar rumah mertua. Arkhan Fikri cs mencoba meramu serangan, penonton masih setia di depan TV, bahkan ada yang sampai mesen bakso beranak online karena yakin babak kedua akan melahirkan keajaiban.

Di ruang ganti, pelatih Gerald Vanenburg konon memberikan wejangan ala guru besar. “Ingat, wahai murid-muridku! Lawanmu bukan hanya Korsel, tapi rasa minder dalam hatimu. Lawan dengan semangat demo mahasiswa, tuntut 17+8 pasal keadilan!” Pemain pun mengangguk, meski masih mikir maksud 17+8 itu apa.

Babak kedua dimulai. Jurus duet maut Hokky Caraka dan Jens Raven dipertontonkan. Namun, benteng Korsel kokoh bak tembok ratapan. Bahkan ketika Hokky dapat kartu kuning karena tekel, penonton serentak teriak, “Astaghfirullah, jangan meniru Irak yang suka nekel Thailand!”

Cahya Supriadi di bawah mistar jadi seperti pegawai lembur shift malam, menepis bola tanpa sempat istirahat, bahkan kopi pun tak tersentuh. Sementara penonton mulai melantunkan doa, salawat, bahkan ayat-ayat cinta agar gol penyama kedudukan turun dari langit. Namun langit tetap hening, hanya suara komentator yang makin serak.

Akhirnya, skor tetap 0-1. Garuda kalah, tersingkir, gagal jadi runner-up terbaik. Laos setara poin, Macau jadi juru kunci. Korsel tetap melenggang gagah, tak terkalahkan.

Namun, wahai saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air, janganlah kalian bersedih hati. Dalam filsafat sepakbola, kekalahan hanyalah bab pembuka dari jurus pamungkas yang lebih hebat. Bukankah pendekar sejati bukan dinilai dari berapa kali menang, melainkan berapa kali bangkit walau kalah?

Garuda kita memang jatuh, tapi jatuhnya elegan. Kalah, tapi dengan gaya. Tersingkir, tapi penuh wibawa. Karena dalam kitab sepakbola, kekalahan hanyalah pupuk untuk menumbuhkan kemenangan masa depan. Tetaplah bangga, wahai rakyat nusantara. Meski Timnas kalah, hati kita menang, dan itu, adalah jurus yang tak bisa ditandingi Korsel sekalipun.

“Bang, kenapa sih Hokky Caraka selalu menjadi starter?”

“Mungkin pelatih ingin mendapatan hoki.”

Penulis : Rosadi Jamani (Ketua Satupena Kalbar)
Share:
Komentar

Berita Terkini