Pemanasan Global: Titik Yang Tidak Bisa Kembali Belum Terlewati
KALBARNEWS.CO.ID (PARIS) - Tahun 2024 merupakan tahun terhangat yang pernah tercatat dalam sejarah, dengan suhu global melampaui tingkat pra-industri sebesar 1,5 °C. Inilah yang seharusnya dicegah oleh Perjanjian Iklim Paris.
Menurut Sergey Gulev, kepala Laboratorium Interaksi Laut-Udara dan Iklim di Institut Oseanologi Shirshov dari Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia (RAS) dan anggota terkait RAS, situasinya serius tetapi belum kritis. Wawancara dengan Tn. Gulev telah dipublikasikan oleh Scientificrussia.ru.
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan saat ini: agar perubahan signifikan terjadi, kenaikan suhu rata-rata sebesar 1,5–2 °C harus terus berlangsung selama 15 hingga 20 tahun," katanya. "Namun, kita harus menanggapi perubahan ini dengan sangat serius, dengan memahami bahwa tahun-tahun yang sangat hangat akan semakin sering terjadi."
Ilmuwan iklim itu mengemukakan, Perjanjian Paris dan Laporan Penilaian terbaru Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menafsirkan peningkatan suhu global dalam dua cara.
Di satu sisi, 2024 memang merupakan tahun terhangat dalam sejarah pengamatan instrumental, dengan suhu global melampaui tingkat pra-industri sebesar 1,5 °C. Di sisi lain, untuk metrik representatif, seseorang perlu mengevaluasi nilai rata-rata selama periode waktu yang cukup panjang yang berlangsung setidaknya 10 atau 20 tahun, katanya.
Itulah sebabnya Tn. Gulev yakin bahwa akan salah jika mengklaim dunia telah melewati titik yang tidak bisa kembali sebagaimana dirujuk dalam Pasal 6 Perjanjian Paris. “Ambang batas ini mengacu pada indikator suhu jangka panjang, bukan tahunan. Hal yang sama berlaku untuk interpretasi yang salah atas data pencairan es Arktik,” katanya. “Prakiraan IPCC yang saya sumbangkan menunjukkan bahwa Arktik dapat mengalami pencairan sementara dalam periode 2050 hingga 2055. Ini tidak berarti es akan hilang sepenuhnya… Setelah 2050, mungkin ada beberapa tahun ketika Arktik tidak akan tertutup es. Tetapi es akan muncul lagi setelahnya. Dinamika pengurangan es menyerupai fluktuasi, seperti halnya peningkatan suhu global. Misalnya, rekor minimum lapisan es tercatat pada September 2012, tetapi ini belum terjadi sejak saat itu, dan kami tidak dapat memprediksi dengan akurat kapan minimum es berikutnya akan terjadi,” pungkasnya. (Tim Liputan)
Editor : Aan