![]() |
Muhammad Iqbal |
KALBARNEWS.CO.ID (JAKARTA) - Dalam
beberapa tahun terakhir, angka perceraian di Indonesia terus meningkat. Data
dari BPS menunjukkan tahun 2018 sebanyak 408.202 kasus, tahun 2019 sebanyak
439.002 kasus, tahun 2020 sebanyak 291.677 kasus, tahun 2021 sebanyak 447.743
kasus, tahun 2022 sebanyak 516.343 kasus
Selama ini banyak orang mengira
penyebab utama perceraian adalah masalah ekonomi. Tapi ternyata, data justru
menunjukkan penyebab utamanya adalah pertengkaran yang terus-menerus, setelah
itu barulah masalah ekonomi dan pasangan yang meninggalkan keluarga.
Kenapa Bisa Terus
Bertengkar?
Pertengkaran terus menerus dalam
rumah tangga biasanya terjadi karena kesulitan dalam berkomunikasi dan
menyelesaikan masalah.
Padahal, pernikahan menuntut kita
untuk bisa saling memahami, mengendalikan emosi, dan mencari jalan keluar
bersama untuk hidup bahagia
Namun, kalau pertengkaran tak
kunjung berhenti, bahkan sampai terjadi kekerasan baik fisik dan psikis, bisa
jadi salah satu penyebabnya adalah adanya masalah kesehatan mental pada salah
satu pasangan.
Bahkan dalam beberapa kasus di
dapati seorang suami/istri membunuh pasangannya bahkan anaknya akibat gangguan
jiwa yang dialaminya dan tentu saja ini harus bisa di cegah
Demikian juga dengan kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT), dalam beberapa kasus pelaku KDRT didapati memiliki
masalah dengan psikologisnya, sehingga agresif dan tidak mampu mengelola
emosinya dan ini tentu saja akan menyiksan batin dan menguras energi sehingga
bercerai adalah pilihan yang baik dari pada hidup terus tersiksa dan tidak
bahagia bahkan mengancam nyawa
Kondisi ini membuat rumah tangga
tidak bahagia dan berdampak kepada pengasuhan anak dan menjadi salah satu
faktor terjadinya kenakalan remaja karena anak tidak betah di rumah dan tidak
memiliki "Role Model" karena orang tua tidak bisa memberikan
kenyamanan dan kebahagiaan
Bahkan kesehatan mental juga
berdampak kepada kesehatan fisik, karena fisik dan mental ibarat satu gerbong
kereta, bila fisik sakit maka psikisnya juga berdampak dan sebaliknya, seperti
sariawan, masalah lambung, tekanan darah tinggi bahkan jantung dan berbagai penyakit fisik lainnya yang
dipengaruhi oleh tingkat stres dan kecemasan
Dari pengalaman saya sebagai
Psikolog dan konselor pernikahan, banyak konflik rumah tangga dipicu oleh
masalah kejiwaan yang tidak disadari. Pasangan yang memiliki gangguan mentak
tidak menyadari bahkan dia menganggap pasangannya yang tidak sehat secara mental
Misalnya, stress berkepanjangan ,
trauma masa kecil, sulit tidur, kehilangan semangat hidup, atau kelelahan
emosional.
Gangguan kepribadian, seperti
terlalu egois, narsistik, perfeksionis, sangat mudah marah, atau tidak peduli
perasaan orang lain (minim empati)
Gangguan jiwa berat, seperti
depresi, gangguan kecemasan, keinginan bunuh diri, bipolar, sampai skizofrenia
yang bisa menyebabkan halusinasi atau delusi.
Kalau salah satu pasangan
mengalami hal-hal seperti ini, rumah tangga jadi tidak sehat. Komunikasi kacau,
emosi meledak-ledak, dan suasana rumah jadi tegang. Akhirnya, pernikahan yang
awalnya diharapkan jadi sumber kebahagiaan malah penuh konflik dan kelelahan
emosional. Dalam beberapa kasus akibat perilaku pasangan yang "sakit"
secara mental menyebabkan pasangan juga memiliki masalah dengan kesehatan
mentalnya seperti keinginan menyakiti diri dan mengakhiri hidup
Bahkan kesehatan mental pasangan
juga berdampak kepada kesehatan fisik " Yang sering jadi masalah, gangguan
mental ini sering tidak terdeteksi sejak awal. Banyak pasangan baru menyadari
setelah menikah dan merasa sudah tak sanggup lagi bertahan. Padahal, orang yang
sedang “sakit” secara mental sering kali tidak sadar akan kondisinya, bahkan
menolak dibantu.
Apa Yang Bisa Kita
Lakukan?
Pertama, Periksa kondisi mental
sebelum menikah sama pentingnya dengan cek kesehatan fisik, penting juga bagi
calon suami-istri untuk saling terbuka dan memeriksakan kesehatan mental
sebelum menikah, karena gangguan kepribadian dan gangguan jiwa juga bisa
disebabkan faktor genetik
Kedua, jika sudah menikah dan ada
masalah, jangan ragu minta bantuan. Kalau terasa ada yang tidak beres, misalnya
sering emosi tidak terkendali, sulit tidur, atau sering merasa cemas dan sedih,
jangan ragu untuk konsultasi ke psikolog.
Ketiga, kalau sudah parah, perlu
ditangani oleh medis/psikiater bila pasangan sudah mulai bicara tidak nyambung,
sering berhalusinasi, agresifi, keinginan bunuh diri/menyakiti diri atau
berperilaku aneh, sebaiknya segera dibawa ke psikiater untuk mendapat
pengobatan dan perawatan yang tepat.
Tugas kita dan orang tua sebelum
menikah adalah berusaha mencari pasangan yang terbaik, baik dari segi agama,
akhlak dan kepribadian, namun di tengah perjalanan rumah tangga, ada saja ujian
yang terjadi dan tidak semua orang kuat mental menghadapinya. Sabar dan keimanan adalah kunci kita bisa melewati
berbagai ujian kehidupan.
Penulis : Muhammad Iqbal, Ph.D, Psikolog (Assoc. Prof Universitas Paramadina)