![]() |
Ketua Umum DPP LDII, KH Chriswanto |
Hal
tersebut diutarakan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Dakwah Islam
Indonersia (DPP LDII), KH Chriswanto menyikapi tahun politik yang disampaikan
melalui siaran pers yang diterima redaksi pada hari Senin (4 September 2023).
“Generasi
muda pada umumnya apatis dengan politik. Padahal politik merupakan pondasi
penting dalam menyusun kebijakan dalam berbangsa dan bernegara,” ujar KH
Chriswanto yang pernah menjadi politisi Golkar Jawa Timur itu.
Ketidakpedulian
generasi muda terhadap dunia politik, karena melihat prilaku elit politik yang
dipertontokan di media massa dan media social.
“Mereka
menganggap politik itu jahat. Padahal secara filosofis politik berasal dari
kata zon politicon, bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri,” paparnya.
Politik
menurut KH Chriswanto membawa tugas luhur, yakni upaya agar manusia dengan
berbagai jalan hidup dapat dipersatukan kepentingannya dalam sebuah negara.
“Inilah
politik dari konsep zon politicon, maka elit politik harus mampu menyatukan
perbedaan untuk meraih cita-cita bersama,” tutur KH Chriswanto.
Sebaliknya,
politik bakal terlihat tidak elok bila para pelakunya korup, mementingkan diri
mereka sendiri, saling serang di muka umum, saling telikung, ataupun membuat
citra kelompok lain buruk.
“Hari-hari
ini, tahun politik menjadi ujian bagi elit politik untuk memberikan literasi
kepada masyarakat bagaimana berdemokrasi,” imbuhnya.
Bila
elit parpol terus-menerus menunjukkan etika, moralitas dan adab yang rendah,
mereka akan dikenang dalam kesadaran rakyat dan sejarah sebagai pemimpin yang
buruk. Tidak bisa dijadikan contoh generasi mendatang.
“Dan
ini merugikan kaderisasi kepemimpinan nasional dalam bidang politik,” ungkap KH
Chriswanto.
Langkah
berikutnya, agar generasi muda melihat politik sebagai jalan untuk
menyejahterakan rakyat, para politisi harus memaparkan program kerjanya.
Kampanye yang seharusnya menjadi sosialisasi program kerja, berpotensi
memunculkan kampanye hitam.
“Ketika
Mahkamah Konstitusi memutuskan kampanye diperbolehkan fasilitas pemerintah,
tempat ibadah dan tempat pendidikan, artinya potensi kampanye hitam yang
memecah belah bangsa kian besar,” kata KH Chriswanto.
Ia
menawarkan solusi dengan kontrol dan pengawasan pada materi kampanye, bila
dilaksanakan di tempat ibadah, kampus, maupun fasilitas pemerintah. Saat
diwawancarai pada Kamis (23/8), KH Chriswanto memaparkan kekhawatirannya.
Ia
berpendapat, roh awal dari aturan pelarangan berkampanye di rumah ibadah dan
lingkungan pendidikan yang dibuat para pendahulu, adalah agar kedua tempat itu
bebas dari perpecahan akibat berbeda pandangan politik.
Meskipun
ia tak menampik, tempat ibadah dan kampus kerap dijadikan lokasi berkampanye secara
tersirat, pemerintah tetap harus mengontrol materi kampanye.
“Ini
bukan pembatasan kebebasan berbicara, tapi mengatur materi agar benar-benar
tetap pemaparan program kerja agar masyarakat tidak terpecah belah,”
tuturnya.
Selain
itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tidak
memiliki keberpihakan dalam pengawasan kampanye tersebut.
“Jangan
tebang pilih, menegakkan aturan hanya kepada parpol gurem atau oposisi, namun
menutup mata saat parpol besar melakukan kampanye hitam,” tegas KH Chriswanto.
Pemilu
adalah pesta demokrasi untuk memilih wakil rakyat dan pemimpin bangsa,
menurutnya pesta tersebut jangan sampai justru merusak persatuan dan
kebhinnekaan bangsa.
“Sebagai
kompetisi, para politisi harus menyikapinya dengan menarik perhatian rakyat.
Jadikan parpol Anda bagian dari rakyat, memahami masalah rakyat dan mencari
solusi,” ungkap KH Chriswanto.
KH
Chriswanto menegaskan, LDII secara institusi netral aktif tapi mempersilahkan
warganya untuk aktif di dalam partai politik dengan koridor adab dan moralitas,
serta selalu menjaga etika dalam berpolitik. (san/tim liputan).
Editor
: Heri