BGSi, Inisiatif Anak Negeri Untuk Cegah Dan Deteksi Penyakit Di Masa Depan |
Hal tersebut disampaikan
Direktur Jenderal Farmasi dan Alat Kesehatan, L. Rizka Andalusia, Ia menyebut
inisiatif ini merupakan bagian dari transformasi kesehatan pilar keenam yakni
transformasi teknologi kesehatan dengan memanfaatkan informasi genomik manusia
maupun virus dan bakteri.
Selama masa Pandemi
Covid 19 Pemeriksaan genomik ini yang kita kenal dengan pemeriksaan Whole
Genome Sequencing (WGS).
“Ini adalah teknologi
terbaru yang dapat membaca informasi genetik manusia, sehingga kita bisa tahu
pasti sakit apa, di mana sakitnya, siapa yang sakit. Dengan demikian pencegahan
pengobatannya pun nanti akan cepat dan tepat,” kata Dirjen Rizka di Jakarta.
Dirjen Rizka menambahkan
semakin cepat kita dapat mendeteksi suatu penyakit maka risiko penularan kepada
orang lain dan masyarakat bisa ditekan. Ia mencontohkan salah satu penyakit
yang masih menjadi masalah sejak lama di negara kita adalah TBC.
Di Indonesia, kasus TBC
cenderung meningkat dari tahun ke tahun, walaupun berbagai upaya sudah
dilakukan. Per tahun 2022, sebanyak 824 ribu orang di Indonesia menderita TBC
dan diperkirakan sebanyak 93 ribu orang meninggal setiap tahunnya.
Menurutnya, langkah
cepat dan tepat diperlukan untuk pencegahan, diagnosis dan perawatan untuk
menekan kasus TBC utamanya kasus TBC Resisten Obat yang juga terlihat ada
peningkatan.
“Kuman Tuberkulosis yang
beredar di Indonesia ini mulai resisten terhadap antibiotik yang ada sehingga
dokter perlu tahu, pasien ini cocoknya obat apa, kombinasi obatnya yang mana.
Kalau resisten obat, kan harus menumbuhkan kuman TBC di laboratarium, dan di
Indonesia laboratorium yang bisa melakukan penumbuhan kuman itu sangat
terbatas, tidak semua lab yang bisa, saat ini baru 12 Lab yang bisa,” ujar
Dirjen Rizka.
Dirjen Rizka menyebut
keterbatasan jumlah laboratorium dapat berdampak pada waktu pengobatan pasien
yang lebih lama. Karena bila daerah tempat tinggal pasien tidak ada lab, maka
harus dikirim ke daerah lain.
Adanya WGS akan
memangkas waktu tersebut lebih cepat, sehingga pengobatan bisa segera
diberikan.
“Sekarang dengan
menggunakan pendekatan pemeriksaan ini kita bisa memutus rantai yang tadinya
membutuhkan waktu 4 minggu, dalam waktu 1 hari bisa dapat informasi bahwa
kumannya itu punya kemungkinan resisten terhadap obat TBC yang ada,” terang
Dirjen Rizka.
Dirjen Rizka menyebut
melalui BGSi, pemeriksaan lain dapat dilakukan untuk deteksi dini penyakit dan
pencegahan penyakit degeneratif seperti kanker, stroke, jantung, diabetes,
hipertensi dan demensia.
Dirjen Rizka merinci
saat ini BGSi sudah dilaksanakan di 9 rumah sakit yang menjadi rumah sakit
rujukan sekaligus pengampuan nasional yakni RSUPN Cipto Mangunkusumo untuk
penyakit metabolik terutama diabetes, RS Dharmais untuk penyakit kanker, RS
Pusat Otak Nasional untuk penyakit stroke.
Sementara RSPI Sulianti
Saroso untuk penyakit menular Tuberkulosis, RSUP Persahabatan untuk penyakit
menular TB, RS Ngoerah untuk wellness and beauty, RS Sardjito untuk penyakit
genetik/penyakit langka, RSJPD Harapan Kita untuk penyakit jantung, serta RSAB
Harapan Kita untuk kesehatan ibu dan anak. Seluruhnya telah dilengkapi dengan
mesin-mesin sequencing yang mampu memproses ratusan sampel setiap minggu.
“Data-data sequencing ini
dikerjakan di Indonesia, tidak ada sampel yang dikirim keluar dari negara ini,
semuanya pemeriksaan dan analisis data dilakukan di Indonesia, untuk
penyimpanan data, Kemenkes juga bekerjasama dengan BSSN,” kata Dirjen Rizka. (Sumber
: Humas Kemenkes RI).
Editor : Heri