Ketua KPK RI, Firli Bahuri Bersama Ketua Umum JMSI, Teguh Santosa |
Di era
non-demokrasi, pejabat publik dapat berbuat sekehandak hati mereka tanpa
kontrol dari masyarakat. Abuse of power menjadi tradisi dan pada akhirnya
membawa Indonesia ke dasar jurang krisis multidimensi di tahun 1998.
“Demokrasi
datang bagai cahaya matahari yang menyapu rumah yang sudah terlalu lama
tertutup dan pengap. Kala pintu dan jendela rumah terbuka, cahaya matahari
masuk, maka tikus dan kecoa akan keluar dari sarang dan persembunyiannya. Tikus
dan kecoa tidak bisa hidup dalam ruangan terbuka, bersih, terang dan penuh
cahaya. Itulah yang menjelaskan fenomena meningkatnya kasus korupsi pasca
reformasi,” ujar Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri dalam
perbincangan terkait pelaksanaan Hari Korupsi Dunia (Hakordia) 2021 dengan
Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Teguh Santosa, Kamis malam
(9/12) .
Dalam
perbincangan di kediamannya di kawasan Galaxy, Bekasi Barat, Firli Bahuri
menggunakan “kurva J” untuk menjelaskan perjalanan Indonesia dari era
non-demokrasi yang serba tertutup ke arah demokrasi yang karakter utamanya
adalah keterbukaan.
Dia
melanjutkan, sudah 23 tahun Indonesia hidup di era demokrasi yang terbuka. Bila
diandaikan sebagai rumah, Indonesia hari ini seharusnya sudah bersih, terang
dan penuh cahaya, serta tidak ada lagi ruang kumuh yang tertutup sebagai tempat
yang nyaman bagi tikus dan kecoa.
Jika korupsi
masih banyak maka hanya ada tiga kemungkinan penyebabnya. Pertama, masih ada masalah
dalam regulasi. Kedua, ada masalah dalam pelembagaan demokrasi. Ketiga, budaya
antikorupsi belum tumbuh subur dan mapan di tengah masyarakat kita.
Di sisi
lain, transparansi dan keterbukaan di era demokrasi seharusnya juga berdampak
pada kualitas pejabat publik. Sayangnya dalam praktik yang kerap terjadi, calon
pejabat publik bukanlah seseorang yang memiliki kapasitas yang memadai karena merupakan hasil dari
politik transaksional.
Untuk
mendapatkan pemimpin berkualitas, seharusnya tidak ada lagi pilkada, pileg dan
pilpres yang membutuhkan ongkos politik yang mahal, sehingga pemimpin yang
terpilih tidak tersandera kepentingan pihak lain.
“Selama ini
(syarat untuk menjadi pejabat publik) harus ada popularitas, elektabilitas,
kapasitas, lalu isi tas. Sekarang dibalik. Isi tas duluan, baru yang
lain-lain,” ujarnya.
“Kita ingin
pilkada, pileg, pilpres, nol threshold-nya. Tidak boleh ada. Bukan hanya
threshold yang nol persen, biaya politik juga harus nol rupiah,” kata dia lagi.
Pada bagian
lain, Firli Bahuri kembali mengingatkan, upaya memberantas korupsi di tanah air
bagai orkestrasi yang melibatkan semua sistem.
Itulah
sebabnya, laporan Firli Bahuri kepada Presiden Joko Widodo dalam rangka
peringatan Hakordis 2021 di Gedung KPK yang diselenggarakan Kamis pagi (9/12)
diberi judul “Satu Padu Bangun Budaya Anti Korupsi.”
“Kita bisa
melepas jerat korupsi yang melilit negara dan bangsa ini dengan orkestra sistem
integritas nasional. Kita bersatu padu membangun budaya anti korupsi,” ujarnya
sambil menambahkan bahwa okestrasi itu dipimpin oleh Presiden RI.
Dengan
orkestrasi tersebut, sejatinya KPK tidak harus menjadi tukang cuci piring dari
residu sistem. Atau, KPK tidak harus menjadi tukang tangkap yang seakan
merampas kebebasan manusia. Juga tidak menjadi objek kemarahan keluarga
tersangka korupsi yang menuduh KPK berbuat zalim.
Salah satu
substansi revisi UU 30/ 2002 menjadi UU 19/2019 tentang KPK adalah penjelasan
bahwa KPK bukan entitas di luar sistem. KPK akan bekerja sebagai bagian sistem
dan di dalam sistem tata negara secara independen dan tanpa intervensi dari
cabang kekuasaan apapun.
Lantas,
Presiden memegang peranan penting dalam pemberantasan korupsi karena alokasi
wewenang dan anggaran terbesar republik ini menumpuk di tubuh eksekutif.
Dia
mengingatkan adagium Lord Acton tentang hukum besi korupsi, di mana ada
kewenangan dan uang di situlah ada potensi terjadinya korupsi. Adagium itu
berbunyi, “Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely.”
Untuk itu,
sambungnya, KPK tidak mungkin bisa jauh dari Presiden dalam melaksanakan tugas dan
wewenang yang dimandatkan oleh UU. KPK dan kabinet yang dipimpin Presiden harus
berjalan seirama, senafas, satu tindakan, dan satu padu dalam membangun strategi
pemberantasan korupsi.
Tugas KPK
adalah memastikan anggaran yang dialokasikan Presiden ke tiap institusi negara
berdaya guna dan berhasil guna dalam mendorong perekonomian nasional dengan
tidak ada satu rupiah pun yang dikorupsi oleh penyelenggara negara. Untuk itu
koordinasi dan kerjasama antara KPK dan Presiden dan dengan visi yang sama sangatlah
penting untuk memimpin orkestra pemberantasan korupsi.
Trisula
Pemberantasan Korupsi
Dalam
peringatan Hakordia 2021, Firli Bahuri juga memperkenalkan apa yang disebutnya
sebagai “Trisula Pemberantasan Korupsi” yang menjadi pemandu kerja KPK dalam pemberantasan
korupsi.
Trisula
pertama adalah pendidikan dan peran serta masyarakat dalam membangun dan
menanamkan nilai, karakter, budaya dan peradaban manusia Indonesia yang anti
perilaku korup. Sasarannya adalah peningkatan integritas penyelenggara negara
dan terwujudnya budaya antikorupsi.
Trisula
kedua adalah pencegahan dan monitoring dengan fokus di hulu. Peran koordinasi
dan supervisi sebagai amanat UU KPK akan digunakan sepenuhnya untuk masuk ke
seluruh institusi negara yang memproduksi regulasi untuk menjamin tidak ada
celah bagi perilaku korup dalam regulasi.*[Sumber : Jaringan Media Siber Indonesia].
Editor : Aan