KALBARNEWS.CO.ID (PONTIANAK) - Belum lama tadi saat hujan deras meyiram, angin kencang menerjang, dan air pasang menggenang, saya menuliskan beberapa untai kata direnda menjadi kalimat pendek, menjelma ungkapan hati.
Begini catatan pendek saya itu, “Hujan
datang, banjir menggenang. Parit cuma dikenang, ironis memang. Kota air selalu
bermasalah soal air. Namun, Pontianak tetap disayang …”
Dalam beberapa tahun terakhir ini, meski
Sungai Kapuas tidak meluap besar, namun Kota Pontianak kerap direndam air.
Entah darimana awal genangannya, namun pastinya akibat curah hujan sedang pun
Pontianak sudah punya ciri baru, terbiasa pasang.
Saya jadi ingat cerita beberapa tokoh
masyarakat Pontianak yang kini sudah tiada sekian waktu lampau. Mereka ini
dulunya terbilang para elit periode awal saat mula-mula Pontianak sebagai kotapraja.
Sekira tahun 1947-an tentunya.
Cerita mereka saya renda, sulam sebagai
riwayat dan tenun menjadi hikayat: banjir. Pontianak ternyata sebelum tahun
1980-an belum sebagai kota langganan banjir. Memang terbiasa air pasang, namun
tak menjadikan kota ini kolam besar.
Rujuklah ketika Mohamad Abdurahman sebagai
Sityo, sebutan walikota sekira tahun 1944-1945, tak disibukan urusan air
pasang. Konon, mereka yang punya kedudukan penting saat ini tak terbiasa dengan
masalah banjir. Bukannya banjir tak ada, pernah, namun sebatas banjir di Sungai
Kapuas.
Begitu pun pula saat Kepala Kota, julukan
walikota untuk seorang jender yang memimpin kota ini, Rochana Muthalib di
tahun-tahun 1950-an. Walikota pertama perempuan di Indonesia ini tak disibukkan
urusan banjir, karena memang parit dalam kota ditata dengan apik. Rochana
Muthalib memang seorang yang berlatar pendidikan ahli kecantikan.
Tak juga dengan Walikota HA Muis Amin yang
kurang lebih sepuluh tahun sebagai orang pertama di pemerintahan kota ini. Masa
ini, serupa juga pendahulunya Supardhan, Ahmad Daud Sutan (ADS) Hidayat, tak
tercatat banjir besar menggenang kota yang semula disebut Tanah Seribu ini.
Alhasil, kata penutur yang merasakan rumahnya
digenangi banjir pada ketika itu, saat walikota HA Madjid Hasan, banjir pun
mulai dikenal. Bukan pasang biasa, namun seisi kota bisa terendam semalaman.
Walaupun hujan tak memakan waktu beberapa jam.
Mengapa? Banjir belakangan ini, sama halnya
banjir dua puluhan tahun lalu. Parit Pontianak sudah disumbat, selokan sudah
ditutup, dan jalur percabangan anak sungai yang dulunya “perahu tongkang” dapat
melintas sudah ditimbun.
Jadilah parit tinggal nama dan kenangan.
Kini, namanya saja Parit Besar, namun itu tak lebih dari nama lokasi kawasan
saja di ibukota Kalimantan Barat ini. Pada zamannya, Parit Besar adalah
primadona laksana kanal yang ada di negeri Belanda. Dapat dilayari kapal kecil,
dan aktifitas dagang tradisional di permukaannya pun tak pernah sepi.
Sejumlah parit kini serasa sangat asing bagi
anak milenial. Memang tahu namanya, sebutlah Parit Besar, Parit Tokaya, Parit
Pangeran, Parit Banseng untuk menyebut sedikit dari yang pernah banyak. Tapi,
bagaimana rupa dan anekanya parit-parit itu, anak zaman now sekarang serasa
asing.
Kawasan Jalan Gajahmada saat ini, tak
ditemukan lagi adanya parit. Saat Pontianak dibombardir militer Jepang, 1941,
konon di parit Kampung Tepekong, nama Jalan Gajahmada masa itu, tempat
menceburkan diri untuk selamat.
Tak mungkin lagi menemukan orang mandi dan
cuci pakaian di parit. Yang diidentifikasi saat ini, parit tak lebih dari area
yang memiliki lebar tak lebih dari satu meter. Dan itulah yang disebut parit.
Padahal, zaman bahaula dulu, dari Sungai Kapuas berdayung sampan atau berkahuh
perahu di aliran parit, menuju dari satu tempat ke tempat lain.
Jualan kebutuhan dapur, sampai sedikit barang
kelontong pun dikayuh di perahu dengan melintasi parit. Dan BOW, semacam
instansi pengelola perparitan, katakanlah tata kota saat ini, sangat gesit
memelihara parit. Tak sempat ada sumbatan pada selokan. Alhasil, hujan sederas
apa pun, airhujan tak pernah menggenang. Airnya mengalir dan meresap ke
berbagai aliran.
Saat Walikota Pontianak, Buchary A Rahman,
ada upaya untuk meremajakan parit. Bang Bong, panggilan akrab walikota dua
periode yang tak lain adalah putera Mohamad A Rahman pejabat Sityo Pontianak
penghujung tahun 1945 itu, mafhum betul bagaimana kondisi parit dan sungai.
Lepas Buchary menjabat, dilanjutkan
Sutarmidji. Serupa juga Bang Bong, Bang Midji pun yang masa kanak-kanak
terbiasa “bekubang” di parit, berupaya memperbaiki keadaan. Juga dua periode
menjabat, Midji telah meletakkan pondasi membangun kota ini, termasuk menyasar
masalah banjir.
Dan Midji pun sebagai Gubernur Kalimantan
Barat, maka Edy Rusdi Kamtono sang arsitek pembangunan, didapuk rakyat sebagai
Walikota Pontianak. Edy memaksimalkan untuk mengatasi banjir, konon Pontianak
semakin kerap digenangi banjir.
Saat ini mulai dari belas Gedung Kartini,
kawasan Pendopo Gubernur hingga area Ayani Mega Mall, parit hampir tak didapati
lagi. Kecuali, bekas parit yang menandakan bahwa di situ dulunya pernah ada
parit.
Masa-masa Walikota Madjid Hasan selalu
dikenang sebagai masa “penghabisan” kegemilangan parit. Sekalipun Walikota
Siswoyo yang menjabat sebelumnya, mulai praktik menutup parit. Hingga Tubagus
Hisny Halir dan Barir, dua walikota periode lainnya, parit mulai ditimbun.
Siapa nyana kalau kawasan Jalan Juanda, Jalan
Sudirman, menyebut dua kawadan saja, dulunya terdapat parit-parit besar. Dan
mungkin generasi muda kini tak percaya kalau di ruas jalan tadi dibawahnya dulu
mengalir deras percabangan Sungai Kapuas. Dan dari Kapuas pula di parit-parit
ini terus bersambungan hingga ke Sungai Kakap.
Mungkin tinggal Sungai Jawi yang kini masih langgeng.
Mulai dari Geretak Satu, dulunya disebut Teklong, hingga Pal V, Sungai Jawi
masih mengalir. Sekalipun limbah buangan sudah mencemari sungai yang legendaris
ini. Dan konon, saat hujan deras, Sungai Kapuas maupun Sungai Jawi airnya tak
meluap besar, namun daratan di ruas jalan konon air menggenang tidak karuan.
Saya rasakan sendiri, betapa Jalan Purnama
dilanda banjir, Jalan Gajahmana terendam lumayan dalam, seputaran Jalan S
Parman hingga Suprapto harus tergenang, bahkan Jalan Kom Yos Sudarso yang
dulunya Jalan Jeruju pun tak mau tidak harus menikmati genangan air hujan yang
jadi banjir.
Begitulah keadaannya. Hujan datang, air
menggenang. Pontianak tetap disayang …
(Penulis Syafaruddin Dg Usman, peminat
sejarah dan budaya, menetap di Pontianak sejak 1982).
Editor : Aan