KALBARNEWS.CO.ID (JAKARTA) – Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia (BNN RI) mengusulkan pecandu narkotika tidak di penjara tetapi dilakukan rehabilitasi, Pandemi Covid 19 yang tengah terjadi saat ini memperburuk kondisi Lembaga Pemasyarakatan yang sejak dulu telah mengalami kelebihan kapasitas.
Banyaknya
jumlah narapidana penghuni Lapas yang terjangkit virus korona menjadi perhatian
berbagai pihak untuk mengevaluasi regulasi penanganan narapidana yang sebagian
besar merupakan pelaku tindak pidana narkotika.
Seperti disampaikan
Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Dirjenpas), Reynhard Silitonga, menyampaikan
sebelumnya jumlah narapidana yang terkonfirmasi positif covid-19 mencapai 9.000
orang.
Hal ini
terjadi akibat kondisi antar tahanan yang harus hidup berhimpitan karena ruang
tahanan yang tak mampu menampung jumlah Narapidana.
Sementara
itu, Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej
menilai keliru apabila persoalan kelebihan kapasitas Lapas merupakan
tanggungjawab Kemenkumham.
"Mengapa?
Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, lembaga pemasyarakat itu tempat
pembuangan terakhir," ujar Eddy sapaan akrabnya, dalam webinar Covid-19,
Prison Overcrowding And Their Impact on Indonesia's Prison System yang diadakan
Ditjen PAS, Kamis (05/08/2021) lalu.
Lapas,
dikatakan Eddy, tidak bisa melakukan intervensi dalam sistem peradilan pidana.
Eddy mengatakan bahwa lapas hanya menerima apa saja yang menjadi putusan dalam
pengadilan. Pihaknya menilai, hal ini perlu dibicarakan dengan institusi
kepolisian, kejaksaan terlebih peradilan yang menentukan putusan hukuman bagi
seorang pelaku tindak kejahatan.
“Kondisi ini
menyebabkan tujuan sistem pemasyarakatan yang awalnya hendak mengembalikan
mereka menjadi warga negara yang baik menjadi sulit untuk dilakukan secara
optimal”, jelas Puji Sarwono saat mengikuti webinar yang sama yang
diselenggarkan oleh Ditjen PAS.
Menurutnya,
kondisi kelebihan kapasitas ini sangat berbahaya dalam konteks penyebaran covid
19 dengan kondisi Lapas yang padat dan ventilasi udara yang kurang memadai.
Berdasarkan
fakta yang ada dilapangan, BNN mengusulkan beberapa rekomendasi, salah satunya
dengan tidak menjadikan sanksi pidana penjara sebagai muara, melainkan dengan
memaksimalkan upaya rehabilitasi.
“Hal ini
sejalan dengan Laporan UNODC dalam World Drug Report 2011 yang menekankan bahwa
penegakan hukum untuk mengurangi peredaran (Supply Reduction) harus disertai
dengan kebijakan untuk mengurangi permintaan (Demand reduction)”, papar Puji
Sarwono.
Drs. Puji
Sarwono menambahkan penanganan pada aspek permintaan berfokus pada pencegahan
penyalahgunaan narkotika, crime reduction, dan pelayanan rehabilitasi.
“Sehingga
permasalahan penyalahgunaan narkotika tak lagi bermuara pada sanksi pidana
penjara, melainkan bermuara di tempat rehabilitasi”, imbuhnya.
Hal lain
yang menjadi rekomendasian dari BNN adalah pemaksimalan proses Tim Asesmen
Terpadu (TAT) dalam menentukan kriteria tingkat keparahan pengguna narkotika
serta rekomendasi terapi dan rehabilitasi yang tepat dalam menangani pecandu
narkotika.
“Ini sesuai
dengan amanah dari Pasal 54 Undang-undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2009
yang menyebutkan bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika
wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial”, tutup Puji diakhir
paparannya. (VDY/Biro Humas dan Protokol BNN).
Editor : Aan