![]() |
Syafaruddin Daeng Usman (Peminat Kajian Sejarah dan Budaya di Kalbar) |
KALBARNEWS.CO.ID (PONTIANAK) - Virus tak tahu apa-apa karena sama sekali tak berada dalam domain pengetahuan, virus bukan musuh yang mencoba untuk memghancurkan kita, ia hanya mereproduksi diri dengan otomatisme buta.
Tak ada jalan kembali ke keadaan normal,
normal dalam bentuk baru harus dibangun di atas reruntuhan kehidupan lama kita,
atau kita akan mendapati diri kita dalam barbarisme baru yang tanda-tandanya
sudah jelas kelihatan.
Sekarang, kita semua berada di
kapal yang sama ...
Epidemi yang sedang berlangsung saat ini,
memiliki makna lebih dalam: hukuman kejam tapi cukup adil atas kemanusiaan
karena telah mengeksploitasi habis-habisan bentuk-bentuk kehidupan lain di
bumi.
Epidemi virus corona dapat menyebar ke
sekitar dua pertiga populasi dunia jika tidak dapat dikendalikan.
Orang-orang perlu memiliki keyakinan dan
kepercayaan pada pemerintah mereka, sementara ketidakpastian wabah baru
diteliti oleh komunitas ilmiah.
Dan tentu saja ketika kita menggunakan media
sosial dan berita palsu maupun berita asli campur aduk jadi satu, lalu berbuah
hilangnya kepercayaan, bagaimana kita bisa melawan epidemi?
Kita membutuhkan kepercayaan ekstra, rasa
solidaritas ekstra, rasa itikad baik ekstra, yang semuanya telah sepenuhnya
terkuras.
Ketika seorang pekerja medis sangat lelah
karena bekerja lembur, ketika seorang pengasuh kelelahan dengan tuntunan kerja
yang menekan, mereka lelah dengan cara berbeda dari kelelahan orang-orang yang
didorong oleh obsesi memajukan karir.
Kelelahan Mereka Berfaedah.
Virus ideologis lain dan jauh lebih bermanfaat
akan menyebar dan mudah-mudahan menulari kita: virus pemikiran masyarakat
alternatif, masyarakat di luar negara bangsa, masyarakat yang
mengaktualisasikam dirinya dalam bentuk solidaritas dan kerja sama global.
Epidemi virus telah mengingatkan kita tentang
kemungkinan dan kebermaknaan hidup kita.
Tak peduli seberapa hebat bangunan spiritual
yang umat manusia bangun, virus atau asteroid dapat mengakhiri semuanya.
Belum lagi pelajaran ekologi, bahwa kita umat
manusia, juga dapat secara tak sadar berkontribusi pada kiamat ini.
Satu-satunya yang benar-benar malu, adalah
mereka yang secara terbuka meremehkan epidemi sambil melindungi diri mereka
sendiri, bertindak seperti para manajer papan atas yang secara terbuka
menyangkal pemanasan global tetapi sudah membeli rumah di Slandia Baru atau
membangun bungker untuk bertahan hidup di Pegunungan Rocky.
Kepanikan bukanlah cara yang
tepat untuk menghadapi ancaman nyata.
Ketika kita bereaksi dengan panik, kita tak
menganggap ancaman itu secara serius. Sebaliknya, kita meremehkannya.
Hal paling mengganggu yang dapat kita
pelajari dari epidemi virus yang sedang terjadi: ketika alam menyerang kita
lewat virus, caranya dengan melempar balik pesan yang kita buat sendiri.
Pesannya adalah: apa yang mereka
(virus) lakukan kepada kita, sekarang kita lakukan kepada mereka.
Melalui upaya kita menyelamatkan umat manusia
dari penghancuran diri, kita menciptakan umat manusia baru.
Hanya melalui ancaman fana inilah kita dapat
membayangkan umat manusia yang bersatu.
Jika tak ada perubahan besar dalam realitas
kita sehari-hari sekarang ini, maka ancaman itu hanya dirasakan sebagai fantasi
spektral yang tak terlihat.
Kita telah belajar pada sebuah
sejarah epidemi.
Kepanikan dalam menghadapi covid-19
menunjukkan bahwa wabah ini tidak dianggap aebagai ancaman serius.
Panik adalah ancaman bagi pasar, karena
kepanikan akan membunyikan lonceng kematian bagi imperium bisnis. Kepanikan akan
membuat semua orang ketakutan melakukan aktivitas ekonomi, industri berhenti
berproduksi karena tidak ada konsumsi, sedangkan para pebisnis berebut untuk
menyelamatkan kekayaan karena takut akan dilenyapkan oleh krisis.
Sistem pasar benar-benar tidak siap
menghadapi pandemik. Masyarakat madani atau masyarakat tanpa kelas adalah
satu-satunya jalan untuk mencegah kehancuran dunia karena barbarisme sistem
pasar ini.
Penulis : Syafaruddin Daeng Usman (Peminat
Kajian Sejarah dan Budaya di Kalbar).
Editor : Aan