Pengamat Intelijen dan Keamanan, Stanislaus Riyanta |
KALBARNEWS.CO.ID
(JAKARTA) - Pengamat intelijen dan keamanan Stanislaus Riyanta meminta aparat
keamanan TNI, Polri dan BIN ekstra waspada dan menutup celah bagi
kelompok-kelompok radikal yang berpotensi membuat situasi nasional tidak
kondusif. Sebab kemungkinan mereka mencari celah di tengah kesibukan pemerintah
memerangi pandemi Covid-19.
"Penanganan
pandemi covid-19 yang melibatkan TNI, Polri dan BIN, menjadi peluang bagi
aktor-aktor yang ingin membuat gangguan terutama bagi pemerintah. Aktor
tersebut ingin memanfaatkan kelengahan aparat keamanan," katanya di
Jakarta.
Selain itu,
dia mengungkapkan, dengan adanya tekanan ekonomi, pemberlakuan pembatasan
sosial yang berdampak pada terbatasnya kesempatan kerja, menjadi isu yang
didorong oleh aktor-aktor tertentu kepada masyarakat, dengan tujuan menggerus
ketaatan dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Gangguan
keamanan yang sudah terjadi secara nyata adalah dari kelompok radikal yang
melakukan aksi teror. Aksi teror terhadap petugas kepolisian di Poso oleh
kelompok MIT (15/4) dan serangan lone wolf di Polsek Daha Selatan HSS Kalsel
(1/6) serta Penangkapan jaringan ISIS di Sui Pinyuh Kalimantan Barat menunjukkan
kelompok teroris memanfaatkan celah kerawanan di saat pandemi Covid-19 ini
untuk menyerang Polisi.
"Ancaman
dari kelompok pengusung ideologi khilafah juga terus terjadi. Penyebaran
pamflet ideologi khilafah di Kupang menjadi salah satu bukti bahwa propaganda
khilafah terus dilakukan. Kelompok pengusung khilafah yang sudah secara resmi
dibubarkan diketahui juga mencoba eksis, termasuk melalui forum akademis. Bukti
pamflet yang beredar dengan atribut sebagai Jubir HTI menunjukkan bahwa
meskipun sudah dilarang pemerintah mereka tetap mencoba untuk eksis,"
terangnya.
Lebih
lanjut, Stanis juga memaparkan munculnya narasi-narasi yang cenderung
menyudutkan pemerintah dengan menggunakan isu kebangkitan komunis. Narasi ini
sangat marak di media sosial.
Dilihat dari
sumber penyebar narasi tersebut, kata dia, tidak jauh berbeda dengan sumber
propaganda hal yang sama pada saat Pilpres 2019. Kewaspadaan terhadap ancaman
komunisme tentu tetap harus ada, namun jika kewaspadaan tersebut berujung
kepada fitnah atau untuk mendeskreditkan pemerintah tentu tidak patut dan dapat
dinilai ada motif tersembunyi.
"Sentimen
SARA juga muncul pada saat pandemi Covid-19 ini. Sentimen ini dibangun
bersamaan dengan isu TKA Tiongkok dan isu komunisme. Negara harus mewaspadai
isu ini karena jika bisa menjadi trigger dari aksi yang lebih besar,"
pungkasnya.
Hal yang
sama juga disampaikan Direktur Eksekutif PARA Syndicate Ari Nurcahyo.
Menurutnya, secara politik memang ada celah bagi kelompok dan aktor yang
melakukan propaganda untuk membuat kisruh dan kegaduhan.
"Ada
kelompok kisruh yang kemudian melakukan teror, propaganda, itu menjadi
katakanlah lebih kondusif memang, opurtinitinya ada, karena memang secara
politik celahnya basah. itu memang secara politik lahannya basah. Misalnya tadi
(Tema diskusi) kenapa Indonesia optimis versus Indonesia terserah. ini saya
pikir sebuah ketegangan yang terjadi. Dua-duanya betul," tutupnya. (tim
liputan)
Editor : Aan