![]() |
Rektor Balai Kopi, Qodja, Saat Workshop Literasi Politik di Politeknik Negeri Sambas |
SAMBAS
(Kalbar News) - Rektor Balai Kopi, Qodja menyatakan, dalam
politik elektoral atau politik praktis tidak perlu terlalu serius sampai harus
terbelah dan berseteru karena perbedaan pilihan politik, sebab para elit parpol
berhubungan sangat cair.
"Mereka
bersekutu dan berseteru karena masalah kepentingan sehingga muncul kaidah tidak
ada kawan dan lawan abadi dalam politik, yang ada hanya kepentingan yang
abadi," kata Qodja saat menjadi pemateri pada Workshop Literasi Politik di
Politeknik Negeri Sambas, Rabu. (7/6/2018).
Namun
jika sudah terkait dengan urusan politik strategis, maka harus serius dan turun
tangan menyelesaikan persoalan bangsa tanpa harus menunggu instruksi dari siapa
pun. Jika bertemu masalah di masyarakat, maka siapapun harus tergerak untuk
menyelesaikan masalah, katanya.
Qodja
mencontohkan aksi politik strategis yang berhubungan dengan urusan tata negara.
Ketika Mohammad Natsir, mengajukan Mosi Integral di tahun 1950 untuk menyatukan
seluruh wilayah Nusantara melebur kedalam sistem NKRI atau Negara Kesatuan
Republik Indonesia, terjadi perdebatan diantara bapak bangsa saat itu.
Ada
dua tokoh yang tidak setuju dengan konsep Negara Republik, keduanya adalah
Mohammad Hatta dan Romo Mangunwijaya. Menurut keduanya, Nusantara ini secara
geografis dan demografi berbeda-beda di tiap wilayah tidak bisa diseragamkan
dengan konsep pemerintahan yang sentralistik. Keduanya beranggapan, jika
Indonesia tetap dipaksakan sebagai Negara Republik bisa berpotensi membuat
Indonesia bubar.
Mereka
mengusulkan Indonesia kembali kedalam bentuk federal. Waktu berjalan hingga
Indonesia melalui fase Orde Lama dan Orde Baru lalu masuk ke era transisi
Reformasi. Segala dugaan Hatta dan Romo Mangun menjadi terbukti sebab di masa
transisi Reformasi negara tidak stabil, Timor-Timor lepas dari NKRI, dan
ancaman disintegrasi bangsa mengemuka.
Di
Aceh, GAM kembali bergerilya untuk kembali berperang, di Ambon dan Poso terjadi
kerusuhan antar agama, di Kalimantan Tengah dan Barat terjadi kerusuhan etnis.
Indonesia berhadapan pada situasi genting. Saat itu yang menjabat sebagai
Presiden adalah Gus Dur dan yang menjabat sebagai Menteri Pertahanan adalah
Pakar Tata Negara, Mahfud MD.
Kegelisahan
Mahfud MD disampaikan kepada Presiden Gus Dur saat itu, dan menjawab,
“Masyarakat kita tidak terlalu peduli dan mengerti soal sistem republik atau
federal. Begini saja, sistem kita tetap Republik tapi impelementasinya seperti
negara federal.”
Maka
sejak saat itu pemerintahan Gus Dur mengeluarkan Undang-Undang Otonomi Daerah.
Hasilnya sangat efektif, GAM bisa diredam dengan pemberlakuan otonomi khusus di
Aceh, begitupun di DKI Jakarta dan Yogyakarta, di setiap provinsi, pejabat
setempat memiliki wewenang untuk mengelola kebijakan yang sesuai kearifan
lokal.
Demikian
contoh politik strategis yang mampu menjaga Indonesia tetap terawat. Contoh
lain dari politik strategis adalah munculnya banyak ormas yang berkhidmat untuk
pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial dan budaya. Mereka bergerak
menyelesaikan masalah di sekitar, membantu orang lain tanpa pandang latar
belakang, suku dan agama.
Jadi
percakapan atau pertanyaan yang paling harus dilontarkan adalah, apa kontribusi
yang bisa kita berikan bagi bangsa dan negara?. Ini level politik strategis.
Bukan lagi mempersoalkan, siapa yang kamu dukung dalam Pilkada atau Pilpres
kali ini?, dan ini level politik elektoral, katanya. (Gin)
Editor : Heri K