KALBARNEWS.CO.ID (JAKARTA) - Penelitian terbaru dari tiga perguruan tinggi yakni Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Universitas Negeri Semarang (Unnes), dan Universitas Aisyiyah Yogyakarta (Unisa) menemukan kental manis masih menjadi susu pilihan masyarakat di 3 wilayah untuk diberikan kepada balita. Ketiga wilayah yang menjadi locus penelitian tersebut adalah Kab Pamijahan di Bogor, Jawa Barat, Kab Kulon Progo di DIY dan kota Semarang, Jawa Tengah. 
Pengajar Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta, Luluk Rosida, S.St., M.K.M.
Lebih lanjut, akademisi dari ketiga kampus tersebut menyampaikan rekomendasi, agar pemerintah mendorong edukasi kental manis melalui kader Posyandu.
Pengajar Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta, Luluk Rosida, S.St., M.K.M. mengatakan kader memiliki kedekatan dengan masyarakat di sekitarnya. Karena itu, apa yang disampaikan kader akan lebih mudah sampai ke masyarakat.
“Posyandu ini bisa sangat dimanfaatkan untuk menjadi media edukasi yang sangat baik untuk merubah pola konsumsinya,” ujar Luluk Rosida.
Dalam penelitiannya, Luluk mengemukakan bahwa banyak orang tua yang rutin membawa anaknya periksa ke posyandu, tapi kental manisnya tetap diminum.
“Hampir semua responden mengatakan tidak ada informasi bahwa kental manis tidak boleh diberikan kepada balitanya. Itu tidak pernah didapatkan. Jadi mereka ke posyandu itu hanya periksa tinggi dan berat badan terus dapat edukasi gizi, kemudian pulang jadi tidak ada edukasi tambahan yang diberikan terutama terkait kental manis,” ucap Luluk.
Masih dalam penelitian UNISA di Kulon Progo, konsumsi kental manis rata-rata berada pada kisaran satu hingga tiga kali per minggu. Namun, ada satu kasus yang mencapai enam kali sehari. Hal ini mencerminkan adanya masalah dalam pemahaman gizi yang lebih dalam di tingkat keluarga.
Hal senada, disampaikan Guru Besar Ilmu Gizi UMJ, Prof. Tria Astika Endah Permatasari; diperlukan edukasi yang lebih terstruktur dan terarah agar terjadi perubahan kebiasaan. Maka dari itu peran dari pemerintah melalui aparat dan perangkatnya di bawah dapat lebih digunakan dengan baik.
Menurutnya, kebiasaan memberikan kental manis telah berlangsung lintas generasi, membuat banyak keluarga menganggap produk tersebut sebagai susu. Ia menilai perubahan tidak bisa hanya mengandalkan media atau kampanye singkat, tetapi memerlukan pendampingan berkelanjutan melalui kanal komunitas seperti posyandu.
“Perubahan perilaku mulai dari level pemerintah hingga akar rumput adalah perjalanan panjang. Tidak cukup tiga sampai enam bulan; perlu bertahun-tahun,” ungkap Prof. Tria. (Tim Liputan)
Editor : Aan