![]() |
Foto Ai, hanya ilustrasi |
KALBARNEWS.CO.ID
(PONTIANAK) - Kadang saya merasakan ada ketakutan saat
menulis soal keracunan MBG. Banyak yang gerah. “Abang ini mendukung ndak sih
MBG?” Sering muncul pertanyaan demikian. Padahal, berkali-kali dibilang, saya
dukung MBG. Ternyata, pihak istana jauh lebih gerah.
Sekelas wartawan CNN saja mereka
“usir” atau dicabut identitas liputan dari istana. Apa penyebabnya? Sambil
menikmati kopi tanpa gula di subuh dini hari, suasana hujan lagi, simak narasi
pengusiran wartawan dari istana ini.
Apa yang lebih menakutkan bagi
istana hari ini? Bakteri di nasi kotak MBG atau pertanyaan seorang wartawan?
Pertanyaan itu mendadak relevan ketika Diana Valencia, reporter CNN Indonesia,
nekat mengajukan pertanyaan soal keracunan massal MBG kepada Presiden Prabowo
di Halim.
Pertanyaan sederhana, jujur, dan
tepat sasaran, tetapi bagi istana, itu seperti lemparan granat. Malam harinya,
kartu identitas liputan Istana miliknya dicabut oleh Biro Pers, Media, dan
Informasi (BPMI). Tak lama, Diana pamit dari grup WhatsApp wartawan istana,
dengan nada getir, “Saya bukan wartawan istana lagi.” Bukan bakteri yang
diisolasi, melainkan jurnalis.
Di sisi lain, ribuan anak sekolah
justru masih berjuang melawan sakit perut akibat makanan yang seharusnya
bergizi. Di Bandung Barat, lebih dari 300 siswa tumbang. Di Banggai, 250 siswa
ikut keracunan.
JPPI menghitung 6.452 anak
menjadi korban hingga September, sementara INDEF mencatat lebih dari 4.000
siswa keracunan dalam delapan bulan program berjalan. Tapi Presiden santai
bilang hanya “di bawah 200 orang.” Angka-angka ini menari-nari saling bertabrakan,
tapi tetap saja yang kesakitan adalah anak-anak desa yang seharusnya belajar,
bukan antre di Puskesmas.
Yang lebih ironis, Dewan Pers pun
ikut angkat suara. Mereka mengingatkan istana,
pencabutan kartu pers bukan sekadar administrasi, melainkan bentuk
penghalangan kerja jurnalistik. Dewan Pers menilai tindakan itu mengancam
kemerdekaan pers dan meminta agar akses wartawan CNN segera dipulihkan.
Sederhananya, jangan sampai kritik dibungkam hanya karena tak enak didengar.
Tapi apakah suara Dewan Pers
lebih nyaring dari suara perut ribuan anak yang keroncongan sambil menahan
mual?
Setneg lewat Mensesneg Prasetyo
Hadi mencoba menenangkan publik dengan kalimat klise, “Kami cari jalan keluar
terbaik.” Jalan keluar terbaik? Apakah itu berarti mengembalikan kartu pers,
atau sekadar memindahkan wartawan kritis ke daftar hitam? Sementara dapur-dapur
MBG ditutup sementara, alat makan disterilkan, dan polisi ikut turun tangan,
kebebasan pers justru yang pertama kali dikunci rapat.
Drama ini makin absurd ketika
kita membayangkan perut anak-anak desa sebagai laboratorium kebijakan negara,
dan reporter CNN sebagai “tikus percobaan” kebebasan pers. Anak-anak muntah,
pemerintah bilang “tenang, ini bagian dari transisi gizi.” Wartawan bertanya,
pemerintah bilang, “awas, jangan keluar konteks!” Seolah-olah konteks yang
benar hanyalah memuji program, bukan mengkritik keracunan.
Maka jangan heran jika publik
kecewa. Yang ditunggu adalah jawaban jujur, perbaikan nyata, dapur yang
higienis, dan MBG yang benar-benar bergizi. Tapi yang datang justru drama
pencabutan kartu pers, seperti sinetron politik yang murahan.
Kita jadi bertanya, apakah istana
sudah mulai alergi bukan pada bakteri, tapi pada kata-kata? Apakah perut
anak-anak yang mulas lebih ringan nilainya dibanding telinga penguasa yang
gatal mendengar kritik?
Sejarah akan mencatat, di era
ini, keracunan massal bisa dianggap “kecelakaan kecil”, tapi wartawan yang
bertanya dianggap ancaman besar. Betapa lucunya republik ini, ketika nasi basi
dianggap wajar, tapi pertanyaan basi dianggap dosa. #camanewak
Penulis : Rosadi Jamani (Ketua
Satupena Kalbar)