Ilmuwan Terkejut, Suhu Tetap Panas Meski La Nina Berlangsung
KALBARNEWS.CO.ID (EROPA) - Serangkaian rekor suhu global terus berlanjut, bahkan ketika fenomena La Nina yang seharusnya mendinginkan kawasan Pasifik tropis tetap berlangsung. Kondisi ini semakin mengkhawatirkan karena menunjukkan bahwa pemanasan global tidak hanya didorong oleh variabilitas alami seperti El Nino dan La Nina, tetapi juga oleh faktor lain yang masih belum sepenuhnya dipahami.
Copernicus Climate Change Service, lembaga pengamatan Bumi yang didanai Uni Eropa, mengungkapkan bahwa Januari 2025 mencatat suhu udara permukaan tertinggi dalam sejarah, dengan kenaikan mencapai 1,75°C di atas tingkat praindustri. Catatan ini menjadi salah satu bukti bahwa tren pemanasan global terus berlanjut meskipun kondisi iklim seharusnya mengalami pendinginan akibat pergantian dari El Nino ke La Nina.
“Januari 2025 adalah bulan mengejutkan lainnya, melanjutkan tren suhu ekstrem yang terjadi selama dua tahun terakhir. Copernicus akan terus memantau suhu laut dan dampaknya terhadap perubahan iklim sepanjang tahun 2025,” kata Samantha Burgess dari European Centre for Medium-Range Weather Forecast.
Pernyataannya menggarisbawahi pentingnya pemantauan berkelanjutan terhadap perubahan suhu global untuk memahami dampaknya terhadap berbagai aspek kehidupan di Bumi.
Para ilmuwan sebelumnya memperkirakan suhu global akan mulai mereda setelah fenomena El Nino mencapai puncaknya pada Januari 2024 dan beralih ke fase pendinginan La Nina. Namun, kenyataannya suhu global tetap tinggi atau bahkan mendekati rekor, memicu diskusi lebih lanjut mengenai faktor lain yang berkontribusi terhadap pemanasan ini.
“Inilah yang cukup mengejutkan, kita tidak melihat efek pendinginan atau setidaknya perlambatan sementara pada suhu global seperti yang diperkirakan sebelumnya,” ujar Julien Nicolas, ilmuwan iklim di Copernicus, sebagaimana dikutip oleh The Guardian.
Para ahli telah lama memperingatkan bahwa setiap kenaikan suhu di atas 1,5°C dapat memperparah intensitas serta frekuensi cuaca ekstrem seperti gelombang panas, hujan lebat, dan kekeringan. Apabila tren kenaikan suhu terus berlanjut, maka risiko bencana terkait iklim akan semakin meningkat di berbagai belahan dunia.
Suhu permukaan laut juga tetap tinggi sepanjang tahun 2023 dan 2024. Copernicus mencatat bahwa suhu laut pada Januari 2025 merupakan yang tertinggi kedua dalam sejarah pencatatan. Kondisi ini menimbulkan kebingungan di kalangan ilmuwan, karena seharusnya suhu laut mengalami penurunan seiring dengan pergantian El Nino ke La Nina.
“Yang membingungkan adalah mengapa suhu tetap setinggi ini,” kata Nicolas, mengungkapkan keheranannya terhadap tren suhu yang tidak sesuai dengan prediksi sebelumnya.
Para ilmuwan sepakat bahwa pembakaran bahan bakar fosil merupakan pendorong utama pemanasan global jangka panjang. Namun, variasi iklim alami juga berperan dalam fluktuasi suhu dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, para peneliti masih terus mencari faktor tambahan yang mungkin berkontribusi terhadap pemanasan berkelanjutan yang sedang terjadi.
Beberapa ilmuwan menduga bahwa peningkatan suhu yang terjadi belakangan ini disebabkan oleh kombinasi antara emisi bahan bakar fosil dan variabilitas iklim alami. Selain itu, perubahan dalam regulasi bahan bakar pengiriman yang lebih bersih—dengan mengurangi emisi sulfur—berpotensi mengurangi pembentukan awan reflektif yang biasanya memantulkan sinar matahari.
Sebuah makalah ilmiah yang diterbitkan pada Desember 2024 juga menyelidiki kemungkinan bahwa berkurangnya awan rendah berperan dalam peningkatan suhu yang mencapai permukaan Bumi. Namun, penelitian ini masih dalam tahap tinjauan sejawat dan belum dapat disimpulkan secara pasti.
“Hal ini masih menjadi bahan perdebatan,” tambah Nicolas, menegaskan bahwa diperlukan lebih banyak penelitian untuk memahami secara menyeluruh faktor-faktor yang menyebabkan suhu global terus meningkat.
Di Indonesia, fenomena kenaikan suhu global juga tercatat pada Januari 2025. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melaporkan bahwa anomali suhu udara rata-rata pada bulan tersebut menunjukkan nilai positif sebesar 0,20°C. Angka ini menjadikan Januari 2025 sebagai bulan dengan anomali suhu tertinggi ke-11 sejak pencatatan dimulai pada 1981.
Di berbagai wilayah Indonesia, suhu udara rata-rata per stasiun menunjukkan nilai anomali positif, atau lebih tinggi dari rata-rata klimatologisnya. Beberapa wilayah mengalami peningkatan suhu yang cukup signifikan, sementara daerah lain mencatat sedikit penurunan.
Anomali suhu tertinggi tercatat di Stasiun Geofisika Bandung – Kota Bandung dengan peningkatan 1,2°C dibandingkan rata-rata suhu klimatologisnya. Sementara itu, anomali suhu terendah tercatat di Stasiun Meteorologi Aji Pangeran Tumenggung Pranoto – Samarinda, dengan penurunan sebesar -0,6°C.
Kondisi ini menandakan bahwa tren pemanasan global terus berlanjut, dan dampaknya sudah mulai dirasakan di berbagai wilayah, termasuk di Indonesia. Kenaikan suhu global tidak hanya berisiko memperparah cuaca ekstrem, tetapi juga berpotensi mengganggu keseimbangan ekosistem, meningkatkan risiko kekeringan, serta mempengaruhi produktivitas sektor pertanian dan perikanan.
Dengan kondisi yang semakin mengkhawatirkan, para ilmuwan menekankan pentingnya upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Pemerintah, industri, dan masyarakat perlu bekerja sama dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan ketahanan terhadap dampak perubahan iklim agar dapat meminimalkan risiko yang ditimbulkan oleh kenaikan suhu global yang terus berlanjut. Tim Liputan).
Editor : Lan