Tim Asistensi Kesehatan Haji Berharap ada Tambahan Tenaga Kesehatan |
KALBARNEWS.CO.ID (JAKARTA) - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) membentuk tim asistensi yang
bertugas memberikan arahan terkait dengan pelayanan kesehatan untuk musim haji
1445 H/2024. Berdasarkan hal tersebut, tim asistensi telah berkoordinasi dengan
penyelenggara utama Ibadah Haji, yaitu Kementerian Agama (Kemenag).
Menurut Ketua Tim
Asistensi sekaligus Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan, dr. Azhar Jaya, SKM,
MARS, koordinasi ini sangat penting karena kebijakan utama penyelenggaraan
ibadah haji merupakan tanggung jawab Kementerian Agama. Di sisi lain, kebijakan
kesehatan tetap menjadi tanggung jawab Kemenkes.
Azhar Jaya, SKM, MARS,
menyatakan, berdasarkan hasil koordinasi tersebut, ada beberapa hal yang akan
terus dilanjutkan. Salah satunya, jemaah haji harus dinyatakan istitha’ah
terlebih dahulu sebelum melunasi biaya haji. Setelah kebijakan ini dijalankan,
kualitas kesehatan jemaah haji tahun ini terbukti lebih baik dibandingkan tahun
sebelumnya.
Selanjutnya, mengenai
manasik haji, dari beberapa rangkaian manasik yang diselenggarakan, minimal ada
satu manasik haji yang harus diikuti oleh Tenaga Kesehatan Haji Kloter (TKHK)
yang terdiri dari 1 dokter dan 2 perawat sebagai pendamping. Hal ini agar
jemaah haji sudah mengenal TKHK yang mendampinginya.
Sebaliknya, TKHK sudah
mengetahui data pasien yang akan menjadi tanggung jawabnya. Dengan demikian,
diharapkan dapat terjadi kesamaan pandangan antara jemaah haji dan tenaga
kesehatan tentang apa yang harus dilakukan selama menjalankan ibadah haji.
Kebijakan tersebut
terbukti sangat efektif. Angka kematian jemaah haji pada 2024 ini jauh lebih
rendah dibandingkan tahun 2023. Namun, jika dibandingkan dengan tahun
sebelumnya, terutama pada 2019, jumlahnya lebih tinggi. Hal ini karena jumlah
jemaah haji tidak sebanyak pada 2024, yaitu 241.000 jemaah yang terdiri dari
213.275 jemaah reguler dan 27.680 jemaah haji khusus.
Menurut dr. Azhar Jaya,
kebijakan lain yang sangat baik di tanah suci, yaitu kesepakatan antara Kemenag,
Kemenkes, dan para lembaga organisasi keagamaan, serta fatwa ulama kepada
Pemerintah Arab Saudi. Kebijakan tersebut adalah murur untuk jemaah haji risiko
tinggi (risti) dan lanjut usia. Murur, yakni mabit yang dilakukan dengan cara
melintas di Muzdalifah setelah menjalani wukuf di Arafah.
Ada sekitar 55.000
jemaah haji risti dan lansia yang menjalani murur. Murur ini bersifat sukarela
atau tidak wajib. Mereka mendaftarkan diri sendiri karena merasa tidak mampu
dan tidak siap dengan kondisi yang panas.
“Ketika bertemu dengan
Dirjen PHU, beliau menyampaikan bahwa Murur bukan mandatori. Silakan bagi yang
mau daftar,” tutur dr. Azhar.
Berdasarkan evaluasi
yang telah dilakukan, dr. Azhar menyampaikan beberapa catatan penting untuk
diperbaiki, yaitu:
Integrasi sistem Satu
Sehat Digital Transformation Office (DTO) dan BPJS Kesehatan yang belum
tersambung terkait pemanfaatan NIK. Hal ini menyebabkan banyak jemaah haji
Indonesia yang tidak istitha’ah tetapi lolos berangkat ke Makkah.
Hal ini terjadi karena
mereka tidak memiliki akses ke data kesehatan yang terhubung dengan BPJS
Kesehatan.
Dengan adanya program
haji ini, diharapkan dapat mendorong jemaah untuk mengikuti kebijakan
pemerintah wajib mengikuti BPJS Kesehatan karena mereka tergolong mampu secara
ekonomi. Kebijakan ini diambil dengan pertimbangan agar jika mereka sakit di
Arab Saudi dan pulang ke Indonesia dalam keadaan sakit, mereka dapat
menggunakan BPJS untuk perawatan lanjutan.
Data kesehatan jemaah
yang sudah terdaftar di BPJS Kesehatan harus dapat diakses melalui sistem Satu
Data dan terintegrasi dengan Siskohat atau sistem pengelolaan data dan
informasi penyelenggaraan ibadah haji secara terpadu.
Hal ini penting untuk
memastikan jemaah haji istitha’ah benar-benar mampu, bukan hanya secara
finansial, tetapi juga secara kesehatan untuk menjalankan ibadah haji yang
diwajibkan.
Diharapkan ada
penambahan tenaga kesehatan kloter. Saat ini, 450 jemaah hanya diurus oleh satu
dokter dan dua perawat, dan mereka harus dijaga 24 jam. Jumlah ini sangat
minim.
Selain tenaga kesehatan
yang direkrut oleh Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI), terdapat tenaga
kesehatan daerah dan Pertolongan Pertama Pada Jemaah Haji (P3JH), dengan
anggotanya dokter, yang dibentuk oleh Kemenag.
Tidak ada masalah jika
daerah dan Kemenag merekrut tenaga kesehatannya sendiri, tetapi dalam
pelaksanaannya, komando tetap berada di bawah Kemenkes.
Untuk KKHI, penambahan PPIH
Kesehatan harus bersifat proporsional. Berdasarkan analisis kebutuhan,
prioritas utama penambahan tenaga adalah tenaga farmasi, karena jumlahnya saat
ini sangat minim.
Kemudian, tenaga dokter
spesialis dan perawat dengan spesifikasi gawat darurat atau intensive care juga
perlu ditambah, karena rata-rata kasus yang masuk ke KKHI membutuhkan
pertolongan pertama.
Mengenai jemaah haji
ONH Plus, dr. Azhar Jaya mengungkapkan, selama ini banyak jemaah yang sakit.
Berdasarkan Undang-Undang Haji, jemaah haji yang menggunakan ONH Plus menjadi
tanggung jawab penyelenggara ibadah masing-masing atau organisasinya. Namun,
saat mereka sakit, KKHI tidak dapat lepas tangan karena bagaimanapun mereka
adalah warga negara Indonesia.
Kendati demikian,
ketika mereka sakit dan dititipkan ke KKHI atau ke rumah sakit, ternyata
terjadi kesulitan komunikasi dengan pimpinan rombongan atau tenaga kesehatan
yang disiapkan oleh mereka.
Hal ini karena
Undang-Undang Kesehatan Haji menyebutkan bahwa jemaah haji khusus atau ONH Plus
memiliki persyaratan yang lebih ketat, yaitu setiap 45 orang harus ada 1 tenaga
kesehatan, baik dokter maupun perawat, minimal satu.
Jika jemaah haji khusus
(ONH Plus) memberangkatkan satu kloter, minimal harus ada 10 tenaga kesehatan
karena setiap 45 orang membutuhkan satu petugas kesehatan. Sementara, untuk
jemaah haji regular, hanya ada satu dokter dan dua perawat.
Meskipun jumlah tenaga
kesehatan untuk ONH Plus jauh lebih banyak, yaitu 10 orang, KKHI tidak memiliki
akses untuk mengatur tenaga kesehatan yang ada di ONH Plus ini. Jika semua
tenaga kesehatan ONH Plus disatukan di bawah satu komando dan data dokter yang
direkrut dapat diketahui, koordinasi akan menjadi lebih mudah.
“Saya juga meminta
kepada Kemenag agar tenaga kesehatan jemaah haji ONH Plus ini didaftarkan ke
Kemenkes dan kualifikasi yang akan direkrut didata dengan baik. Sehingga,
proses rekrutmennya tidak asal-asalan,” ujar dr. Azhar.
Secara keseluruhan, dr.
Azhar merasa bangga dengan jiwa pelayanan para tenaga kesehatan yang telah
bekerja tanpa henti. Menurut dr. Azhar, insentif yang mereka terima dari
pemerintah tidak sebanding dengan dedikasi mereka.
Para tenaga kesehatan
ini benar-benar “mengutamakan pelayanan kepada jemaah.” Meskipun banyak di
antara mereka yang ingin berhaji, mereka harus menunda keinginannya karena
tugas mereka di sini.
Ada beberapa hal yang
tidak bisa mereka lakukan karena haji yang mereka jalani adalah haji minimal,
bukan haji ideal. “Luar biasa dan salut untuk mereka,” ungkap dr. Azhar.
Editor
: Heri