Sholihin H.Z (Ketua Komisi Ukhuwah Islamiyah MUI Kalimantan Barat) |
KALBARNEWS.CO.ID (PONTIANAK) - Dua dimensi melekat pada manusia yaitu sebagai
makhluk individu dan makhluk sosial. Keduanya berjalan saling melengkapi dan
berkembang sesuai dengan alur yang melingkunginya.
Nilai-nilai yang berada
disekitarnya memberikan faktor yang signifikan dalam tumbuh kembangnya dua
karakter di atas. Salam ketika bertemu, berbagi dengan sesama adalah diantara
nilai-nilai sosial yang harus selalu ditumbuhkembangkan.
Kala Ramadan, suasana dan sikap
semacam ini terasa sekali. Saling berbagi makanan-minuman jelang berbuka,
pendistribusian zakat, infaq dan shadaqah (ZIS), salam saat bertemu dan
sebagainya menjadikan Ramadan sebagai bulan peduli sosial.
Sesungguhnya jika dilihat dari
rukun Islam yang lima, semuanya memiliki makna sosial dan berimplikasi pada
terwujudnya kepedulian sosial. Sholat harus mampu ditransfer menjadi kepedulian
sosial yang ditunjukkan dengan salam ke kanan dan kiri sebagai penutup sholat.
Dampak sosialnya, pedulilah pada
lingkungan atau tetangga di sebelah kanan-kiri kita, tundukkan ego dengan sujud
yang sempurna. Dari sisi ini, aneh jika ada yang rajin ibadah tapi justru
sombong dan pelit kepada siapapun. Bukan sholatnya yang salah, tapi yang
bersangkutan belum mampu memberikan dampak sholat dalam kehidupan
kesehariannya.
Zakat, sebagai
item rukun Islam yang penuh dengan nilai-nilai sosial. Berbagi sebagai wujud
pengamalan dari ‘aqimus sholah’, bukankah kata ini selalu berbarengan dengan
tunaikan zakat.
Maknanya, sholat sebagai ibadah
vertikal harus mampu berimplikasi sosial dan salah satu caranya adalah
mengeluarkan zakat, infaq dan shadaqah. Ketahuilah, kepekaan sosial yang
ditumbuhkan hakikatnya adalah sebagai bentuk mensyukuri nikmat Allah SWT dengan
cara menyisihkan sebagian rezeki, tidak hanya itu, dikeluarkan ZIS adalah
sebagai cara untuk membersihkan harta yang ada agar harta yang tersisa berkah
dan bermanfaat.
Haji, menjadi
ibadah yang merupakan gabungan dari kekuatan harta, fisik dan tingkat keimanan
yang maksimal. Haji yang mabrur adalah haji yang diterima Allah dengan ukuran
semakin berdampak sosial dan bermanfaatkah yang bersangkutan usai menunaikan ibadah
haji.
Jadi mabrurnya seseorang bukan
diukur selama ia ditanah suci (Makkah-Madinah) tapi seberapa jauh nilai-nilai
haji bermanfaat sekembalinya ke tanah air. Jika sebelumnya terkesan pelit usai
haji menjadi lebih dermawan, jika sebelumnya hubbun dunya (cinta dunia) beralih
orientasi menjadi hubbul akhirah (cinta akhirat).
Sebelumnya berhitung-hitung dalam
beramal (baca: mengeluarkan harta) usai haji sangat yakin bahwa ZIS adalah
perintah agama dan dalam setiap perintah agama pasti terkandung kebaikan
tersembunyi.
Puasa
(Ramadan) dan zakat (fitrah/mal) adalah dua perintah agama yang terkumpul dalam
satu momen. Seakan mengajarkan kepada pelakunya bahwa sholat yang tetap
dilaksanakan sehari lima waktu mari perkuat lagi dengan ibadah tahunan di bulan
Ramadan supaya ketika keluar Ramadan maka akan lahir manusia paripurna yang
kuat ibadahnya, tinggi kepekaan sosialnya dan bersih hatinya.
Kepedulian sosial menjadi tema
penting dalam ajaran Islam. Nabi Ibrahim as mendapat gelar khalilullah
diantaranya adalah karena beliau senang menjamu tamu dan menebarkan salam
dimanapun ia berada.
Betapa mudah ditemukan hadits
yang memuat ciri orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka wujud
keberimanan itu ditandai dengan menyambung shilaturrahmi, memuliakan tetangga,
menghormati tamu dan sebagainya.
Inilah makna dari makna manusia
yang terbaik adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Semakin tinggi
kebermanfaatan bagi sekitarnya maka semakin tinggi nilainya dihadapan Allah
SWT. Mudah-mudahan Ramadan ini menjadikan kita lebih bermanfaat dimanapun kita
berada.
Penulis
:
Sholihin H.Z
(Ketua Komisi Ukhuwah Islamiyah
MUI Kalimantan Barat)