KALBARNEWS.CO.ID
(SINGKAWANG) - Gerbang Cap Go Meh berwarna merah dengan
ornamen naga dalam rangka baja di sisi kiri dan kanan, menjadi tanda Kota
Singkawang tengah bersolek guna menyambut Tahun Baru Imlek 2574. Sabtu (21 Januari 2023).Singkawang Bersolek Menyambut Imlek
Kemeriahan menyambut tahun baru dalam penanggalan
Imlek makin terasa saat memasuki kota yang terletak di wilayah utara Kalimantan
Barat itu.
Gantungan lampion, ornamen patung sepasang kelinci
dan anak-anaknya, pohon Mei tiruan, dan hiasan lainnya saling melengkapi
mengisi nuansa cerah. Warna merah, oranye, dan kuning mendominasi di banyak
tempat sejak memasuki kota hingga di pusatnya.
Hiasan-hiasan berwarna cerah itu seakan ingin
menunjukkan keindahannya yang membuat tiap-tiap orang yang melintasi akan
melihat dan terkesan dengan penampilannya. Lantas mengabadikan melalui kamera
foto dan video. Suasana itu dapat ditemui di banyak lokasi hingga ke
kampung-kampung setempat.
Saat masuk kota berpenduduk sekitar 235.064 jiwa
(data BPS 2020) ini, atau selepas dari gerbang Cap Go Meh, ada Kampung Kali
Asin Luar, Kelurahan Sedau, yang mayoritas penduduknya etnis Tionghoa. Kampung
ini berada di sisi kanan dari arah luar kota Singkawang.
Kali Asin dikenal sebagai kampung etnis Tionghoa
zaman kolonial. Dahulu, kampung ini menjadi sentra produksi garam. Kampung ini
menjadi heritage (warisan) Pecinan Jam Tang (penggilingan
garam). Bangunan yang ada di sana dilindungi oleh UU tentang Cagar Budaya Tahun
2010.
Warga kampung ini selalu menghias rumah juga taman
yang berada di pintu masuk kampung pada setiap perayaan Imlek. Warga kampung
bahu-membahu menghias taman dan rumah sejak dahulu kala walau dengan hiasan
sederhana buatan warga setempat.
Salah seorang tokoh masyarakat Kali Asin Luar,
Susi WU, menyatakan kampung itu selalu berhias sejak leluhur mereka tinggal di sana.
Kebiasaan menghias kampung terus dilestarikan keturunan selanjutnya selama 33
tahun terakhir. Leluhur penduduk setempat berasal dari Suku Hakka di Tiongkok.
"Saya ingat sejak kecil ikut menghias taman
kampung dengan hiasan seadanya yang ditancapkan ke tanah," katanya.
Tak berbeda jauh dengan kampung itu, ketika masuk
lebih dalam ke Kota Singkawang, terdapat deretan lampion dan patung kelinci,
serta ornamen lainnya di berbagai sudut kota.
Di tengah kota yang menjadi pusat perayaan Imlek,
yakni kelenteng Tri Dharma Bumi Raya, di pertigaan Jalan Niaga- Sejahtera-Budi
Utomo, tak kalah semarak, karena juga dihiasi dengan lampion warna pelangi.
Suasana kian meriah dan warna warni terutama saat
malam hari. Karena lampion dan lampu-lampu hias menyala membelah jalan-jalan di
dalam kota berjarak 145 kilometer dari Pontianak ini.
"Mei Hwa" atau pohon Mei yang selalu
memekarkan bunga berwarna merah muda saat musim dingin dan cuaca ekstrem,
terlihat sangat kontras dengan kondisi yang ada ketika itu, juga menjadi hiasan
yang tak kalah menarik menyambut tahun Imlek 2574 ini.
Saat perayaan Imlek, hiasan pohon Mei memang
selalu ada karena menjadi simbol harapan menyongsong tahun yang baru. Di
Tiongkok, pohon Mei dapat tumbuh cantik dengan bunga berwarna merah muda (pink) walau ketika itu sedang musim salju.
Penduduk Kota Singkawang, Pak Alin (85), merasa
bangga warga setempat bisa merayakan Imlek tahun ini dengan menghias kota
secantik-cantiknya. Selama puluhan tahun, dia selalu bahagia dapat merayakan
Imlek di kampung halamannya ini bersama lima anak dan delapan cucu.
Kemeriahan perayaan Imlek ini akan tiba pada
puncaknya Sabtu (21-1) tengah malam nanti. Ribuan warga Tionghoa akan
bersembahyang di kelenteng di pinggiran kota maupun di pusat kota setempat.
Juga ada pesta kembang api yang disimbolkan
mengusir makhluk jahat yang dikhawatirkan akan mengganggu umat pada satu tahun
ke depan.
Festival musim semi
Dalam tradisi leluhur di Tiongkok, Tahun Baru
Imlek berarti Festival Musim Semi.
Festival ini berlangsung turun-temurun dan menjadi
tradisi yang mengakar. Masyarakat Tiongkok, yang sebagian besar bekerja sebagai
petani, menyambut musim semi dengan harapan dan semangat baru sehingga
merayakan dalam bentuk festival dan penuh kemeriahan.
XF Asali atau Lie Sau Fat, seorang tokoh Tionghoa
Kalbar, dalam bukunya berjudul Aneka Budaya Tionghoa Kalbar terbit tahun 2008,
menyebut perayaan Imlek sebagai Chun Ciek.
Itu juga untuk menyambut musim semi guna memulai
aktivitas bertani (bagi masyarakat agraris), kegembiraan, dan kebahagiaan yang
harus dirayakan. Tradisi ini terbawa sampai sekarang sekalipun masyarakat sudah
tidak bertani, sedangkan di Indonesia tak ada musim semi.
Penanggalan Imlek berasal dari dua kata, yakni Im atau penanggalan dan Lek atau bulan sehingga penanggalan Imlek adalah
penanggalan berdasarkan peredaran bulan. Perayaan penanggalan Imlek sudah ada
sejak ribuan tahun lalu dan turun-temurun hingga kini.
Bagi warga Tionghoa yang masih mempertahankan
tradisi leluhur, mereka selalu merayakan tahun baru bersama keluarga. Mereka
yang berada di perantauan akan untuk pulang kampung bertemu orang tua dan
keluarga besarnya.
Mereka berkumpul dan makan bersama dalam ritual
keluarga saat siang atau sore hari sebelum tibanya malam pergantian tahun.
Untuk menyambut warga yang pulang kampung dan
wisatawan, pemerintah kota menggelar pentas seni dan budaya di Stadion
Kridasana Singkawang. Kegiatan ini selama 15 hari, yakni sejak tanggal 20
Januari sampai 6 Februari 2023. Stadion yang berada di tengah kota itu juga
dipenuhi hiasan simbol Imlek.
Selain itu juga ada panggung hiburan dan pameran
UMKM dan ornamen Kampung Tionghoa.
Pelaksana Tugas (Plt) Wali Kota Singkawang Sumastro
menyatakan bersyukur perayaan Imlek dan disusul Cap Go Meh pada hari ke-15
Imlek dapat kembali dilaksanakan seperti biasanya sebelum pandemi COVID-19
setelah Pemerintah Pusat mencabut PPKM. Kegiatan ini kembali digelar setelah
hampir 3 tahun tidak ada perayaan secara meriah.
Perayaan Imlek tidak hanya menjadi agenda tahunan
Kota Singkawang karena juga telah menjadi kegiatan serta agenda nasional dan
dirayakan secara meriah di sejumlah kota di Indonesia.
Karena itu, bersolek dan mempercantik kota demi
menyambut penduduk yang pulang dari merantau dan wisatawan yang berkunjung ke
sana, itu bukan tindakan yang berlebihan.
Mereka patut merayakan lebih meriah setelah
terkungkung selama hampir 3 tahun akibat didera pandemi COVID-19. (Tim Liputan).
Editor : Lan