KALBARNEWS.CO.ID
(JAKARTA) - Perpustakaan Nasional melakukan upaya transformasi perpustakaan.
Salah satunya melalui program Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial
(TPBIS).Transformasi Perpustakaan Upaya Tingkatkan Kesejahteraan Masyarakat
Tujuan program ini adalah agar perpustakaan tidak menjadi
“menara gading” sehingga kehadiran dan manfaat perpustakaan harus dirasakan
masyarakat. Salah satunya, mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sabtu (17 Desember 2022).
Kepala Perpusnas, Muhammad Syarif Bando, Sabtu
menjelaskan transformasi perpustakaan digital tujuannya adalah untuk
mempercepat terbentuknya manusia unggul dalam teknologi, memiliki inovasi dan
kreativitas.
Program itu menyasar masyarakat yang termarjinalkan. Seperti
masyarakat di daerah kumuh, masyarakat di daerah miskin, petani kecil, petambak
kecil, buruh, pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), sampai ibu-ibu
rumah tangga.
"Melalui program ini, masyarakat diberi pelatihan untuk
meningkatkan skill melalui buku-buku terapan yang ada di perpustakaan,"
kata Syarif.
Pelatihan dan peningkatan kemampuan untuk masyarakat termarjinalkan menjadi
sangat penting. Sebab, mereka selama ini mereka terbelengu kemiskinan karena
empat hal.
Pertama, penguasaan ilmu pengetahuan yang kurang. Kedua,
inovasi dan kreativitas yang minim. Ketiga, akses terhadap permodalan yang
kurang. Keempat adalah kultur masyarakat yang lebih banyak bertutur dibanding
membaca.
Untuk akses permodalan, Syarif menerangkan, sebenarnya
Pemerintah sudah menyiapkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang sangat besar. Namun,
ketika masyarakat tidak memiliki skill untuk memproduksi barang dan jasa, KUR
tersebut tidak terserap maksimal. Karena itulah, peningkatan skill masyarakat
ini sangat penting.
Perpustakaan kemudian bergerak di bidang ini untuk
meningkatkan skill masyarakat, yaitu dengan menyediakan buku-buku ilmu terapan.
Untuk di desa, Perpusnas berharap, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) bisa
berkolaborasi dalam peningkatan skill masyarakat ini melalui buku-buku ilmu
terapan yang disediakan perpustakaan. “Sehingga masyarakat bisa dengan mudah
menciptakan barang dan jasa,” imbuhnya.
Syarif melanjutkan, dalam pelaksanaan Program Transformasi
Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial ini, pihaknya tidak pernah memandu
masyarakat untuk memilih keahlian tertentu. Perpustakaan justru menyesuaikan
dengan pilihan ekonomi masyarakat yang dikehendaki sesuai dengan potensi yang
ada. “Kami akan berkontribusi untuk mengoptimalkan dengan seluruh kemampuan
untuk memfasilitasi sumber informasi yang relevan,” ucapnya.
TPBIS yang dijalankan di perpustakaan tingkat provinsi,
kabupaten/kota, hingga desa/kelurahan dinilai efektif dan manfaatnya dirasakan
masyarakat.
Tingkatkan kualitas hidup
TPBIS merupakan pendekatan pelayanan perpustakaan yang
berkomitmen meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat pengguna
perpustakaan.
Sejak 2018-2022, program TPBIS telah melaksanakan
pendampingan ke 34 provinsi, 399 kabupaten/kota, dan 3.535 desa/kelurahan,
melaksanakan bimbingan teknis kepada 1.804 staf perpustakaan daerah dan 2.196
pengelola perpustakaan desa, serta melatih 79 master trainer dan 415
fasilitator daerah.
Tidak hanya aspek pengembangan mutu sumber daya manusianya,
aspek bantuan fisik seperti bantuan koleksi siap pakai, rak buku, dan perangkat
teknologi informasi dan komunikasi (TIK).
Selama empat tahun berjalan, program TPBIS telah menyentuh
sebanyak 2.133.918 anggota masyarakat, yang mengikuti 85.776 kegiatan pelibatan
masyarakat di perpustakaan. Hal ini menunjukkan animo masyarakat yang besar
terhadap program ini. Sudah banyak masyarakat yang merasakan manfaat positif
program ini dalam upaya meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan mereka.
Indonesia, menurut Syarif, memiliki sumber daya alam
melimpah namun belum dikelola dengan optimal. Oleh karena itu, masyarakat perlu
dibekali inovasi dan kreativitas serta aksesibilitas digital untuk meningkatkan
pengetahuannya.
Seiring perkembangan zaman, peran perpustakaan kini tidak
lagi hanya mengelola koleksi buku. Paradigma perpustakaan kini sudah berubah,
yaitu dengan mengedepankan transfer pengetahuan (transfer knowledge) kepada
masyarakat.
Paradigma yang dibangun perpustakaan adalah 10 persen
mengelola koleksi, 20 persen pengelolaan knowledge, dan 70 persen transfer
knowledge.
Penerapan 70 persen transfer knowledge ini sangat penting.
Sebab, sebagaimana disampaikan UNESCO, bangku terakhir bagi semua orang yang
tidak lagi di berada di pendidikan formal adalah perpustakaan.
“Jadi, untuk masyarakat pedesaan, yang rata-rata itu 90
persennya tidak menempuh pendidikan di perguruan tinggi, bisa meningkatkan
skill dan kemampuannya dengan datang per perpustakaan,” kata Syarif.
Sementara Penjabat (Pj) Gubernur Sumbar, Akmal Malik sepakat
dengan penjabaran yang disampaikan Kepala Perpusnas tentang transformasi
perpustakaan berbasis inklusi.
"Bagaimana menghadirkan transformasi knowledge kepada
masyarakat yang belum mendapatkan akses terhadap ilmu pengetahuan berbasis
digital,” jelas Akmal lagi.
Hal itu, sambungnya, menyebabkan masyarakat pedesaan di
Sumbar kesulitan mendapatkan keahlian untuk meningkatkan ilmu pengetahuan yang
dimiliki.
"Ada dua jenis kelompok masyarakat di sini yakni
agraris dan maritim. Bagaimana (ilmu pengetahuan) menjadi nilai tambah
dalam meningkatkan skill, keterampilan, inovasi dan kreativitas," kata
Akmal.
Literasi berbasis inklusi memang sangat dibutuhkan masyarakat di
pedesaan. Hal ini merupakan pilihan tepat dalam mengembangkan skill bagi
petani, nelayan maupun ibu rumah tangga.
Mengenai aspek permodalan, Pj Gubernur Sumbar menjelaskan
dibutuhkan kecerdasan dalam mengelola sumber daya yang dimiliki. Akmal memberi
contoh pada masyarakat maritim, terdapat pohon kelapa yang mana tidak selamanya
yang dijual dalam bentuk buahnya saja.
“Padahal serabutnya bisa bermanfaat. Batoknya dan pohonya juga
sama. Untuk itulah bagaimana literasi bisa mendoromg agar bisa produktif. Tentu
harus ada akses untuk mencapai hal itu,” jelas Akmal lagi. (Tim Liputan)
Editor
: Aan