KALBARNEWS.CO.ID (JAKARTA) - Pakar sejarah
sekaligus Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Bondan
Kanumoyoso menegaskan bahwa warisan budaya takbenda (WBTb) tidak bersifat
eksklusif atau hanya dimiliki komunitas tertentu saja.
Kamis (8 Desember 2022)Pakar Tegaskan Warisan Budaya Takbenda Tidak Bersifat Eksklusif
Mengingat hal tersebut, dia mengatakan bahwa
domain WBTb yang diusulkan ke Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan
PBB (Unesco) sebaiknya bersifat inklusif ketimbang eksklusif.
“Akan lebih baik misalnya itu diajukan sebagai
usulan bersama yang justru akan menjaga ataupun menjamin kelestarian dan
pengembangan dari produk budaya intangible,” kata
Bondan dalam “Bincang Santai WBTb Indonesia Menuju ICH” yang diikuti.
Dia mencontohkan, apabila budaya angklung
dianggap milik eksklusif Indonesia, maka komunitas atau bangsa lain mungkin
akan merasa tidak terhubung dengan budaya tersebut sehingga terkendala untuk
bisa mengembangkannya.
“Tidak bisa diperlakukan seperti itu karena intangible itu berbeda. Bahwa justru ketika dia
(WBTb) dipraktikkan oleh berbagai kelompok masyarakat, maka dia akan semakin
memiliki kekuatan untuk terus dilestarikan dan bahkan dikembangkan,” ujar dia.
Bondan menjelaskan bahwa WBTb merupakan warisan hidup yang luas yang mengalami
proses transmisi tanpa akhir. Oleh sebab itu, tidak menutup kemungkinan suatu
WBTb dapat mengalami berbagai macam modifikasi melalui proses rekreasi kolektif
serta berkembang untuk beradaptasi dengan lingkungan.
“Ini berarti bahwa warisan akan diciptakan kembali oleh komunitas budaya
seiring perubahan komunitas dari waktu ke waktu sebagai respon terhadap
lingkungan. Itulah kenapa WBTb ini bisa menyebar ke berbagai komunitas karena
dia memang karakteristiknya sangat dinamis,” kata Bondan.
Sementara itu, Wakil Delegasi Tetap RI untuk Unesco Ismunandar menjelaskan
terdapat dua mekanisme dalam pengajuan suatu budaya menjadi WBTb yang
ditetapkan oleh Unesco, yaitu single
nomination atau pengajuan satu WBTb dari satu negara dan joint nomination atau pengajuan
WBTb dari beberapa negara atau multinasional.
Ismunandar menegaskan ketika suatu budaya diajukan atau ditetapkan di Unesco
melalui mekanisme single nomination,
hal tersebut juga bukan berarti WBTb tersebut menjadi eksklusif milik satu
negara saja. Apabila ternyata budaya tersebut hidup di negara lain, maka mereka
dapat ikut memperluas atau menambahkan (extension).
“Walaupun dinominasikan tunggal, itu bukan berarti terus eksklusif punya kita,
tidak juga. Kalau negara lain ada yang kemudian merasa punya budaya itu, bahwa
dia itu hidup di wilayahnya, bisa tinggal extend saja,”
ujar dia.
Sementara itu, suatu budaya juga dapat diajukan sebagai WBTb Unesco melalui
mekanisme joint nomination.
Mekanisme ini, menurut Ismunandar, setidaknya dapat mempercepat jumlah
keterwakilan negara di Unesco dengan mendaftarkan WBTb secara bersama-sama
dengan sejumlah negara.
“Kalau menunggu (mekanisme) sendirian atau single terus-terusan,
ya, akan sedikitlah keterwakilan kita di sana. Tapi kalau kita manfaatkan
karena semangatnya ini bukan eksklusif, ya, semangatnya itu kita punya budaya
yang ada komunalitas dengan serumpun dan negara lain,” kata dia.
Oleh sebab itu, Ismunandar memandang perlunya strategi bersama atau peta jalan
bagi Indonesia untuk memutuskan mana saja budaya yang akan diusulkan
sebagai single nomination dan mana
yang joint nomination. Dengan begitu,
diharapkan keterwakilan Indonesia di Unesco melalui WBTb dapat terlaksana lebih
cepat. (Tim liputan)
Editor : Aan