KALBARNEWS.CO.ID
(BONDOWOSO) - Presidensi G20 yang diemban Indonesia pada 2022 di Nusa Dua,
Bali, tidak hanya menunjukkan bahwa negara kita layak menjadi tuan rumah
kegiatan besar tempat bertemunya para pemimpin negara-negara besar di dunia,
namun juga menjadi simbol bersatunya agama-agama lewat kegiatan tambahan Forum
Agama 20 (R20).
Senin (14 November 2022)Jejak-Jejak Fakta Indonesia Layak Promosikan Toleransi Beragama
Di tempat utama berkumpulnya tokoh-tokoh agama dan
kepercayaan di dunia, yakni di Pulau Bali, Indonesia telah menunjukkan di Tanah
Hindu itu, Nahdlatul Ulama, organisasi Islam besar, bersama Liga Muslim Dunia
tidak ada persoalan dalam penerimaan satu sama lain. Acara itu diawali dengan penampilan seni-seni bernuansa Islam.
Selain menyajikan fakta bahwa umat Hindu Bali
menerima kegiatan internasional yang digagas oleh organisasi Islam, Indonesia
juga memamerkan pada seluruh delegasi R20 bahwa di negara kepulauan dengan
penduduk mayoritas Islam ini, umat Hindu tumbuh dan tetap aman mempertahankan
identitas ke-Hindu-annya tanpa terganggu.
Ketika kegiatan sampingan dari R20 yang diinisiasi
oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) K.H. Yahya Cholil
Staquf atau Gus Yahya itu, peserta diajak mengunjungi Pondok Pesantren Sunan
Pandanaran di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Di pondok pesantren asuhan K.H. Mu'tashim Billah
itu ratusan peserta R20 disuguhi seni modern dengan lagu Bahasa Inggris bernuansa
perdamaian, dengan "Heal the Wolrd" yang dipopulerkan penyanyi dunia
Michael Jackson. Di pesantren ini Indonesia menunjukkan bahwa umat Islamnya
tidak berpaham kaku, misalnya, anti pada musik dan seni. Bahkan pesantren itu
menunjukkan sikap penghormatan lintas iman yang tulus sehingga para delegasi
merasa nyaman berada di tempat itu.
Kemudian, Indonesia makin menunjukkan kapasitasnya
sebagai negara yang penduduknya mayoritas Muslim, namun sangat melindungi
minoritas, termasuk kekayaan sejarah peninggalan masa lalu Hindu, dengan tetap
dipeliharanya situs Candi Kimpulan di Kampus Universitas Islam Indonesia (UII)
di Sleman.
Pemimpin kampus dari yayasan Islam itu bukannya
menghancurkan situs tersebut, melainkan justru memeliharanya. Keberadaan situs itu
akan menjadi warisan besar bahwa kerukunan beragama di negeri ini bukan hanya
menjadi fakta sejarah masa lalu, tapi hingga kini dan akan lestari di masa
depan.
Di luar fakta-fakta yang tersaji dalam rangkaian
langsung kegiatan R20, bukti-bukti bahwa mayoritas melindungi minoritas dan
minoritas pandai menempatkan diri di tengah mayoritas juga sangat banyak dan
bisa kita promosikan.
Fakta itu, antara lain, dapat kita saksikan
kerukunan umat di sejumlah desa di Kabupaten Jember, Jawa Timur, seperti Desa Sukoreno,
Kecamatan Umbulsari, atau di Desa Sidomulyo, Kecamatan Silo.
Di Kabupaten Banyuwangi, indahnya toleransi itu
bisa kita saksikan di Desa Sumbergondo, Kecamatan Glenmore, dan desa-desa di
sekitarnya. Di Jember dan Banyuwangi, umat Islam dengan Kristen dan Hindu
saling mendukung dalam kegiatan keagamaan yang berbeda. Kalau Idul Fitri,
tetangganya yang Kristen dan Hindu ikut menikmati makanan hari raya. Demikian
juga ketika Natal atau Galungan dan hari raya lain tiba, Umat Islam juga
menikmati jajan hari raya itu. Mereka juga saling membantu agama lain yang
sedang menyiapkan perayaan agama.
Beralih ke utara dari Jember dan Banyuwangi, yakni
di Kabupaten Situbondo, dengan melihat warga di Desa Wonorejo, Kacamatan
Banyuputih. Wilayah itu mendapat julukan Desa Kebangsaan karena kerukunan
warganya yang berbeda agama. Mereka tidak saja rukun karena saling menghargai
perbedaan keyakinan agama, melainkan juga dalam melestarikan budaya, seperti
sedekah Bumi dan lainnya.
Kita kembali menengok Bali. Di Kelurahan Dauh
Waru, Kecamatan Jembrana, Kabupaten Jembrana, ada Pondok Pesantren Assiddiqiyah
yang salah satu pengurusnya orang Bali asli yang beragama Hindu.
Fakta itu menunjukkan bahwa Islam yang
direpresentasikan oleh pemimpinnya atau kiainya, pandai membawa diri di tengah
mayoritas umat beragama Hindu. Sang kiai tidak menggunakan paham kaku bahwa
sebagai lembaga pendidikan agama, pesantrennya harus diurus oleh orang Islam
semua, tidak boleh ada campur tangan dari umat agama lain.
Makna kedua dari keberadaan pesantren itu adalah
bahwa umat Hindu di Bali menunjukkan kedewasaan dan keluwesannya dalam
beragama. Mereka tidak memandang agama lain dan segala aktivitasnya adalah
musuh atau ancaman. Bagi orang Bali yang Hindu, semua adalah semeton atau kerabat. Dalam Islam, mereka yang tidak seiman
juga merupakan saudara, paling tidak saudara se-Tanah Air atau dalam konteks
lebih luas saudara sesama manusia.
Masih di Bali, ada organisasi Persaudaraan
Hindu-Muslim Bali (PHMB) dengan tokohnya salah satu keturunan raja di Puri
Gerenceng, Pemecutan, Kota Denpasar, yakni AA Ngurah Agung. Umat Islam dan
Hindu di Bali sering berkumpul pada hari-hari raya dua agama itu.
Saat perayaan Idul Fitri, Gung Ngurah, panggilan
akrab A.A. Gurah Agung, mengumpulkan umat Islam di Puri Gerenceng. Agar umat
Islam tidak ragu dengan kehalalan saat hendak menikmati hidangan, Gung Ngurah
mengundang penjual makanan yang Muslim untuk menyediakan makanan di acara
kerukunan itu.
Begitulah serpihan-serpihan fakta kerukunan
beragama di Indonesia. Tidak berlebihan kalau banyak kalangan meyakini bahwa
Indonesia akan menjadi kiblat dunia dalam kerukunan beragama dengan pegangan
dasar dan fondasi utamanya adalah nilai-nilai dalam Pancasila. (Tim liputan)
Editor : Aan