KALBARNEWS.CO.ID
(TANJUNGPINANG) - Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Provinsi
Kepulauan Riau (BKKBN Kepri) menggandeng dua perguruan tinggi guna meneliti bagaimana
terjadinya kasus stunting atau kekerdilan di daerah tersebut. Senin (28 November 2022).
BKKBN Kepri Gandeng Perguruan Tinggi Teliti Penyebab Stunting
Kedua perguruan tinggi dimaksud, yaitu Sekolah
Tinggi Ilmu Sosial dan Politik (STISIPOL) di Kota Tanjungpinang dan Universitas
Batam (UNIBA) di Kota Batam.
Kepala BKKBN Perwakilan Kepri Rohina mengatakan
hasil penelitian itu akan direkomendasikan kepada pemerintah daerah setempat,
sehingga ke depan pemerintah daerah dapat membuat program-program
penanggulangan stunting.
"Kerja sama ini sejalan dengan program
pemerintah pusat dalam rangka percepatan penurunan stunting pada tahun 2024," kata Rohina usai membuka acara
Workshop dan Diseminasi Studi Kasus dan Pembelajaran Baik Stunting di Provinsi Kepri di Hotel Aston, Kota Tanjungpinang.
Rohina berharap melalui kerja sama dengan dua
perguruan tinggi itu, maka program percepatan penurunan stunting dapat terlaksana dengan baik, karena pihaknya ingin
angka stunting di Kepri yang saat ini mencapai 17,6 persen, turun menjadi 10,2
persen pada tahun 2024 sesuai target yang diberikan pemerintah pusat.
Saat ini, menurutnya, angka stunting di Kepri berada di peringkat keempat terendah
se-Indonesia. Angka stunting di daerah perbatasan itu berada di atas
rata-nasional yang sebesar 14 persen.
"Kita optimistis dengan penurunan 2,7 persen
setiap tahunnya. Tahun 2024, kasus stunting di Kepri turun menjadi 10,2 persen,"
ujar Rohina.
Rohina menjelaskan beberapa program percepatan
penurunan stunting di Kepri, antara lain program pendampingan
keluarga yang sudah dibentuk di semua desa dan kelurahan, yaitu mendampingi
keluarga yang berisiko terkena stunting, termasuk pasangan calon pengantin tiga bulan
sebelum menikah.
Kemudian, ada pula sosialisasi tentang 1.000 hari
pertama kehidupan, lalu diikuti atau diselaraskan dengan program pelayanan
keluarga berencana (KB), karena dengan demikian diharapkan terutama bagi
pasangan usia subur terhindar dari "empat terlalu", misalnya terlalu
muda akan diarahkan ikut program KB supaya dapat usia produktif untuk
melahirkan seorang anak.
"Kalau dia menikah di usia 20 tahun,
melahirkan di usia 35 tahun, hingga terlalu banyak anak bisa berpotensi terkena stunting," ungkap Rohina.
Lanjut Rohina menyampaikan faktor lain yang
mengarah ke stunting juga bisa dipicu sanitasi buruk, seperti
buang air besar sembarangan, ditambah sulitnya mendapat air bersih dan makanan
bergizi.
Ia menekankan bahwa kasus stunting di Tanah Air harus diatasi dengan melibatkan semua pihak. Hal
ini bertujuan mewujudkan generasi emas yang sehat di tahun 2045.
Menurutnya anak menderita stunting berdampak pada kondisi tubuh yang lemah, mudah sakit,
hingga bertubuh pendek. Bahkan pada usia tua, ia berpotensi mengalami penyakit
jantung dan diabetes.
"Otomatis ini berdampak pula pada kondisi
ekonomi lemah. Sebab, bagaimana seseorang mau berusaha atau bekerja kalau
sakit, maka kemiskinan yang akan terjadi," demikian Rohina.(Tim liputan)
Editor : Aan