Sejarah Ringkas Terbentuknya Propinsi Kalimantan Barat, Refleksi HUT Ke-65 Tahun

Editor: Redaksi author photo
Sejarawan Kalimantan Barat, Syafaruddin Dg Usman
KALBARNEWS.CO.ID ( PONTIANAK)  - Sejarawan Kalimantan Barat, Syafaruddin Dg Usman di peringatan Hari Lahir Pemprov Kalimantan Barat Ke-65 menyampaikan sejarah singak berdirinya dalam sebuah catatan yang disampaikan melalui redaksi kalbarnews.co.id, tepat pada hari Jumat 28 Januari 2022.

DESENTRALISASI HINDIA BELANDA

Desentralisasi ciptaan Belanda secara formil baru mulai dilaksanakan di Indonesia dalam 1903. Walaupun pelaksanaan itu didorong oleh gerakan Ethische Politiek untuk meninggikan tingkat kecerdasan dan memberikan hak-hak politik kepada bangsa Indonesia, tapi sebenarnya adalah juga untuk kepentingan rezim pemerintah kolonial Hindia Belanda (Gie, 1993: 22). Dapatlah dimengerti apabila desentralisasi pada masa 1903—1922 umumnya kurang memuaskan kecuali dalam gemeente-gemeente (Wolhoff, 1955: 231). Gemeente umumnya mempunyai kedudukan yang cukup memuaskan, karena ini merupakan westersche enclave (wilayah orang Barat/Eropa) dalam masyarakat Timur. Daerah otonom itu diciptakan untuk memelihara kepentingan-kepentingan penduduknya yang sebagian besar adalah bangsa Belanda.

Reglement op het Beleid der Regering van Nederlandsch Indie (S 1855/2) merupakan peraturan dasar ketatanegaraan rezim pemerintahan Hindia Belanda semula tidak mengenal desentralisasi. Menurut Reglement tersebut, Hindia Belanda adalah suatu gecentraliseerd geregeerd land (wilayah yang diperintah secara sentralistis). Pada pemerintahan yang sentralistis itu dijalankan pula dekonsentrasi, yaitu tugas pemerintahan dilimpahkan dari aparatur pemerintah pusat kepada pejabat-pejabat pusat yang lebih rendah tingkatannya secara hierarkis (Logemaan, 1947: 7, 114, Gie, 1993: 15). Menurut reglement tersebut, terbagi dalam daerah-daerah administratif gewest (kemudian disebut residentie), yang masing-masing selanjutnya terbagi dalam afdeeling, district, dan onderdistrict (Gie, 1993: 15).

Susunan pemerintahan Hindia Belanda yang sentralistis itu berlangsung sampai permulaan abad XX. Di kalangan bangsa Belanda sendiri timbul gerakan Ethische Politiek, yang menghendaki agar politik kolonial tidak semata-mata bertujuan mengeduk kekayaan bumi Indonesia saja, melainkan juga hendaknya meninggikan taraf kecerdasan dan kehidupan rakyat Indonesia. Kesemua ini mendorong rezim pemerintah Kerajaan Belanda menetapkan suatu Wet Houdende Decentralisatie van het Bestuur in Nederlandsch Indie (S 1903/329) dalam 1903 (Kleintjes, 1918: 2-4). 

Decentralisatiewet  1903 menambah Reglement peraturan dasar ketatanegaraan Hindia Belanda dengan 3 pasal baru (pasal 68a, 68b, dan 68c), yang memungkinkan pembentukan gewest atau bagian dari gewest yang mempunyai keuangan sendiri untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan daerah tersebut yang dilakukan sebuah raad (dewan) yang dibentuk bagi masing-masing daerah bersangkutan (Gie, 1993: 16).

Decentralisatiewet 1903 dilaksanakan lebih lanjut dengan Decentralisatiebesluit (S 1905/137) dan Locale Radenordonnantie (S 1905/181). Menurut kedua peraturan ini, daerah yang diberi keuangan tersendiri disebut Locaal Ressort, sedang Raad-nya disebut Locale Raad (Dewan Setempat). Pada pokoknya locale raad dapat dibedakan dalam Gewestelijke Raad (bagi gewest) dan Plaatselijke Raad (raad yang dibentuk untuk bagian dari gewest). Memperjelas, maka raad untuk bagian dari gewest yang berupa kota dinamakan juga Gemeenteraad  (Gie, 1993: 16).

Penyelenggaraan desentralisasi seperti tersebut di atas sesudah Perang Dunia I dianggap kurang memuaskan. Sedikit keuangan yang diserahkan kepada daerah dan terlampau terbatas wewenang yang dapat dijalankan. Masyarakat menuntut diberikannya wewenang yang lebih luas dalam bidang pemerintahan. Perkembangan di dalam negeri dan dunia internasional mendorong rezim pemerintah kolonial Belanda memenuhi tuntutan itu, misalnya untuk Hindia Belanda dalam 1917 dibuka kemungkinan pembentukan Volksraad (S 1917/114), sedang terhadap pejabat-pejabat pemerintahan umum bangsa Indonesia (Inlandsche bestuursambtenaren) dijalankan politik ontvoogding dengan memberikan kekuasaan yang lebih banyak kepada mereka (S 1918/674). Dalam 1922 dijalankan pembaruan pemerintahan yang memungkinkan penyelenggaraan desentralisasi dan dekonsentrasi yang lebih luas dengan ditetapkannya Wet op de Bestuurshervorming (S 1922/216) (Amin, 1959: 3-4).

Ketentuan-ketentuan dalam Bestuurshervormingswet 1922 itu kemudian diatur lebih lanjut dengan Provincieordonnantie (S 1924/78), Regentshapsordonnantie (S 1924/79) dan Stadsgemeenteordonnantie (S 1926/365). Terbentuknya daerah-daerah otonom baru dengan itu, maka pelbagai locaal ressort dulu dihapuskan (Gie, 1993: 18). Untuk pulau-pulau di luar Jawa yang keadaannya berlainan, kemudian ditetapkan Groepsgemeenschapsordonnantie (S 1937/464) dan Staatsgemeenteordonnantie Buitengewesten (S 1938/131). Berdasarkan ini terbentuklah beberapa groepsgemeenschap (daerah yang umumnya meliputi suatu volksgemeenschaap) dan stadsgemeente. Disamping itu masih terdapat pula local ressort di sana-sini beradasarkan Decentralisatiewet 1903 (Gie, 1993: 19). 

Pembentukan daerah-daerah otonom sejak 1903 oleh rezim pemerintah Hindia Belanda dilakukan dalam lingkungan wilayah yang langsung dikuasainya (Direct bestuurd gebied/Gouvernementsgebied). Tetapi dalam Gouvernementsgebied itu terdapat pula daerah-daerah otonom lainnya, yaitu persekutuan-persekutuan masyarakat adat asli Indonesia, misalnya desa. Untuk kepentingan politik kolonialnya oleh rezim pemerintah Hindia Belanda persekutuan-persekutuan masyarakat adat tersebut diperkenankan mempunyai alat-alat pemerintahan sendiri dan mengatur kepentingan-kepentingan daerahnya. Persekutuan-persekutuan ini disebut Inlandschegemeente yang kedudukannya kemudian diatur dalam Inlandsche Gemeenteordonnantie (S 1906/83) untuk Jawa—Madura, sedang untuk daerah-daerah lain diatur dengan Inlandsche Gemeenteordonanntie Buitengewesten (S 1938/490). Dalam perkembangan selanjutnya Inlandsche Gemeenteordonnantie kemudian diperbaharui seluruhnya menjadi Desaordonnantie (S 1941/356). Tapi berhubung dengan pecahnya Perang Dunia II, ordonnantie yang baru itu belum sempat dilaksanakan (Gie, 1993: 19). 

Di samping directbestuurdgebied ada pula wilayah yang tak langsung dikuasai oleh rezim pemerintah Hindia Belanda (Indirectbestuurdgebied/Landschapsgebied). Ini ialah wilayah dari kerajaan-kerajaan asli Indonesia yang pada waktu berkembangnya kekuasaan Belanda di Indonesia satu persatu diikat dan dikuasai dengan kontrak-kontrak politik (Gie, 1993: 19). Dalam kontrak-kontrak politik itu Belanda mengakui tetap berdirinya kerjaan-kerajaan tersebutdan haknya untuk menjalankan pemerintahan mengenai rumahtangga daerahnya sendiri dengan nama Zelfbesturende Landschappen. Kontrak-kontrak dengan kerajaan-kerajaan asli Indonesia itu dapat dibedakan dalam Langcontract (kontrak panjang) dan korte verklaring (pernyataan pendek). Dalam langcontract ditetapkan satu persatu kekuasaan Belanda dalam hubungannya dengan kerajaan asli Indonesia yang bersangkutan, sedang dalam korte verklaring hanya dimuat pernyataan kerajaan asli Indonesia yang mengakui kekuasaan Belanda terhadap dirinya dan berjanji akan menaati segenap peraturan yang akan ditetapkan oleh rezim kolonial Belanda (Gie, 1993: 19). Landschap yang mengadakan lang contract mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada landschap dengan korte verklaring (Ranawidjaja, 1955). Penyelenggaraan desentralisasi pada zaman penjajahan kolonial Hindia Belanda berlangsung sampai pecahnya Perang Pasifik pada akhir 1941.

PENDUDUKAN MILITER JEPANG

Awal Maret 1942 tentara Jepang sudah mulai mendarat di Jawa dan akhirnya pada 9 Maret 1942 (Gie, 1993: 19) rezim pemerintah kolonial Hindia Belanda menyerah kepada pihak Jepang. Setelah tentara pendudukan Jepang mulai berkuasa di Indonesia, ditetapkanlah Undang Undang Nomor 1 tentang menjalankan pemerintahan balatentara (KP Nomor Istimewa, Maret 1943: 6-7). Dalam UU ini ditentukan bahwa balatentara Jepang untuk sementara melangsungkan pemerintahan militer di daerah-daerah yang telah didudukinya. Selanjutnya ditentukan bahwa semua badan pemerintahan dengan kekuasaannya, hukum, dan Undang Undang dari pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk sementara waktu tetap diakui sah asalkan tidak bertentangan dengan aturan pemerintahan militer Jepang.

Wilayah bekas Hindia Belanda kemudian dibagi dalam 3 daerah pemerintahan, yaitu pemerintah militer Angkatan Darat berkedudukan di Jakarta untuk Jawa—Madura, pemerintah militer Angkatan Darat berkedudukan di Bukittinggi  untuk Sumatera, dan pemerintah militer Angkatan Laut berkedudukan di Makassar untuk daerah yang meliputi Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Barat. Pemerintah militer ini terdiri atas Gunsireikan (Panglima Besar Balatentara Jepang, kemudian disebut Saiko Sikikan) sebagai pucuk pimpinannya, di bawah pejabat ini terdapat Gunseikan (Pembesar Pemerintah Balatentara jepang) dan kepala-kepala pelbagai departemen (Gie, 1993: 21). 

Agustus 1942 Gunseireikan menetapkan Undang Undang 1942/27 tentang perubahan tata pemerintahan daerah (KP 1, halaman 6-7, Penjelasan dalam KP 2: 5-6). Untuk Syuu dan Tokubetu Si kemudian ditetapkan UU 1942/28 tentang aturan pemerintahan Syuu dan aturan pemerintahan Tokubetu Si (KP 1: 8-10). Sedangkan untuk Ken dan Si ditetapkan Osamu Seirei 1943/13 tentang peraturan daerah Ken dan Si (KP 18: 5-6) serta peraturan Zi Sei Hi  Nomor 1616 (Peraturan Keuangan Ken dan Si) (KP 16: 10). 

Syuu merupakan daerah tingkat teratas yang mempunyai pemerintahan sendiri sebagai suatu kesatuan dalam masa pemerintahan militer Jepang. Syuu membawahkan Ken dan Si dalam lingkungan wilayahnya. Tokubetu Si mempunyai kedudukan yang lebih kurang sama seperti Syuu, karena itu tidak berada di bawah sesuatu Syuu, melainkan langsung di bawah Gunseikan. Masing-masing daerah itu diangkat seorang kepala daerah (Syuutyookan, Tokubetu Sityoo, Kentyoo dan Sityoo). Ketentuan-ketentuan dalam Regentschapordonantie dan Stadsgemeenteordonnantie dulu tetap berlaku bagi Ken dan Si, termasuk Tokubetu Si (Gie, 1993: 21). Si menyelenggarakan segala urusan pemerintahan dalam lingkungan wilayahnya. Urusan pemerintahan umum (pangrehpraja) yang dalam Stadsgemeente dulu diurus oleh regent dan pejabat-pejabat bawahannya kini dipegang oleh Sityoo (Ranawidjaja, 1955: 8, Gie, 1993: 22).

Pemerintah balatentara Jepang yang berkuasa di Indonesia dari 1942 sampai 1945 pada umumnya tetap meneruskan politik desentralisasi Hindia Belanda. Tetapi pembentukan daerah dihubungkan dengan siasat militer untuk menghadapi pelbagai kemungkinan dalam masa perang itu. Sebagai daerah yang dianggap terpenting ialah Syuu (termasuk Tokubetu Si dan Kooti) yang diharapkan dapat berdiri sendiri-sendiri dan memenuhi kebutuhannya sendiri terutama pangan apabila sampai terputus hubungannya dengan daerah-daerah lain (Gie, 1993: 23).

MASA KEMERDEKAAN INDONESIA 

Setelah Indonesia diproklamirkan menjadi negara merdeka, di mana-mana terutama ibukota-ibukota keresidenan, kabupaten dan kota-kota lainnya timbullah kesadaran rakyat bahwa mereka itu berdaulat. Semangat rakyat untuk ikut serta dalam pemerintahan meluap-luap. Di daerah-daerah terbentuklah Komite Nasional yang menghimpun kekuatan rakyat dari segala lapisan, aliran dan golongan. Semangat kedaulatan dan persatuan rakyat inilah yang memungkinkan pemindahan kekuasaan dari tangan tentara Jepang kepada bangsa Indonesia baik secara damai ataupun dengan jalan kekerasan. Dengan UU 1945/1 KND pada tingkat keresidenan, kabupaten dan kota dinaikkan derajatnya menjadi aparatur pemerintahan daerah di bidang legislatif dan ekskutif (Gie, 1993: 59). Walaupun UU 1945/1 terutama mengatur kedudukan dan kekuasaan KND, UU ini dapat dianggap sebagai peraturan desentralisasi yang pertama dari Republik Indonesia. UU ini menetapkan adanya 3 jenis daerah (keresidenan, kota, dan kabupaten) yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 18 UUD 1945 dengan istilah “daerah besar dan kecil” (Gie, 1993: 59). Pada konsiderannya memang UU 1945/1 mengingat kepada pasal 18 UUD 1945 itu dan sebagaimana terbukti dari riwayat pertumbuhannya pasal termaksud merupakan ketentuan desentralisasi (Purbopranoto, 1960: 113, Koesnoprodjo, tt: 29) 

Ternyata bahwa UU 1945/1 mengatur penyelenggaraan desentralisasi dalam Negara Republik Indonesia, khususnya di Jawa dan Madura, dengan ciri-ciri antara lain daerah yang ditetapkan menjadi daerah otonom ialaha keresidenan, kota dan kabupaten, daerah-daerah itu diberi otonom Indonesia yang berdasarkan kedaulatan rakyat, otonom ini luas sifatnya karena merupakan wewenang mengatur semua urusan daerh asal tidak bertentangan dengan perundang undangan yang lebih tinggi tingkatnya, dan daerah-daerah mempunyai keuangan sendiri dengan kemungkinan mendapat bantuan dari pemerintah pusat (Gie, 1993: 60). Walaupun penjelasan UU 1945/1 menyatakan bahwa otonomi yang diberikan kepada daerah-daerah adalah otonomi Indonesia, tampaklah pengaruh-pengaruh dari masa Hindia Belanda. Suatu kemajuan lain sejak proklamasi kemerdekaan dan pelaksanaan UU 1945/1 ialah mulai dipergunakannya istilah-istilah Indonesia yang seragam bagi pengertian-pengertian di bidang desentralisasi.

Setelah Perang Dunia II berakhir, sejak September 1945 tentara Sekutu yang diwakili Inggris datang di Indonesia untuk mengurus pemindahan tentara Jepang dan pengembalian tawanan perang Sekutu. Tetapi kedatangan tentara Inggris ini diikuti oleh pemerintah Hindia Belanda lengkap dengan kekuatan militernya. Hal ini berdasarkan perjanjian 28 Agustus 1945 antara Kerajaan Inggris dan Belanda yang antara lain bermufakat bahwa di wilayah bekas Hindia Belanda setelah diambil opera dari Jepang akan dilangsungkan Pemerintahan Militer Sekutu. Pemerintahan ini akan dibantu oleh pejabat-pejabat pemerintahan Hindia Belanda yang sedapat mungkin mengurus pemerintahan sipil (S 1946/111) (Gie, 1993: 109). 

Dengan siasat itu berangsur-angsur Pemerintah Hindia Belanda sesudah Perang Dunia II menegakkan kembali aparaturnya di Indonesia. Setelah tentara Inggris meninggalkan Indonesia, pemerintah Hindia Belanda telah dapat memegang kekuasaan di wilayah Indonesia bagian Timur (Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Irian Barat dan Sunda Kecil) dan beberapa kota di Jawa dan Sumatera. Pemerintah Hindia Belanda yang bermaksud menjajah kembali Indonesia menghadapi kenyataan bahwa di Indonesia telah berdiri suatu negara Republik Indonesia. Setelah melalui pelbagai perundingan, akhirnya pada 23 Maret 1947 oleh kedua pihak ditandatangani Perjanjian Linggajati. Dalam perjanjian itu disetujui bahwa pemerintah Indonesia dan Belanda akan bersama-sama mengusahakan terbentuknya Negara Indonesia Serikat yang terdiri atas Negara Republik Indonesia, Negara Kalimantan (Borneo), dan Negara Timur Besar. Antara Negara Indonesia Serikat dan Negara Belanda kemudian akan diadakan suatu persekutuan. Kesemua ini diharapkan sudah selesai sebelum 1 Januari 1949 (Gie, 1993: 109). 

Untuk menaati Perjanjian Linggajati, pemerintah Republik Indonesia menetapkan PenPem 1947/2 yang menghapuskan jabatan-jabatan Gubernur Propinsi-propinsi Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Sunda Kecil. Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag menghasilkan persetujuan tentang pembentukan suatu Republik Indonesia Serikat (dalam RIS itu Republik Indonesia menjadi salah satu negara bagiannya), pemulihan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Indonesia, dan pembentukan suatu Uni Indonesia—Belanda. Kesemua ini berlangsung pada 27 Desember 1949. 

DESENTRALISASI DI KALIMANTAN

Berdasarkan perjanjian antara Kerajaan Inggris dan Belanda (S 1946/111), di wilayah bekas Hindia Belanda untuk sementara dijalankan Pemerintahan Militer Sekutu. Pemerintahan ini dibantu oleh Netherlands Indies Civil Affairs Officers yang mengurus pemerintahan sipil. Dengan ini maka di wilayah Indonesia yang didatangi tentara Sekutu untuk mengurus pemindahan tentara Jepang dan tawanan Sekutu terdapatlah Netherlands Indies Civil Administration (NICA). 

Pemerintahan NICA mula-mula terdiri atas seorang Staff Officer NICA dan beberapa Commanding Officer NICA (CO-NICA). Menjelang akhir September 1945 Staff Officer NICA diganti dengan beberapa Chief Commanding Officer (CCO-NICA) yang memegang jabatan gubernur, sedngkan CO-NICA merangkap sebagai residen. Jabatan asisten residen dulu dipegang oleh Sub Commanding Officer NICA (S 1945/5). Pucuk pimpinan Pemerintah Hindia Belanda sesudah perang dipegang oleh Luitenant Gouverneur Generaal (LGG), jabatan ini dipegang oleh Dr HJ van Mook (S 1945/104). LGG dengan persetujuan Raad van Departementshoofden memegang kekuasaan legislatif, yaitu menetapkan ordonantie yang umumnya harus ditetapkan bersama-sama Volksraad. Berdasarkan  Overgangsbesluit Algemeen Bestuur Nederlandsch Indie (S 1944/1), LGG berwenang menyimpang dari ketentuan-ketentuan tentang pemerintahan Hindia Belanda dulu yang termaktub dalam Indische Staatsregeling dan perundang-undangan lainnya (Gie, 1993: 121). Setelah tentara Sekutu meninggalkan Indonesia, semua kekuasaan diserahkan kepada Pemerintah Hindia Belanda. Di Indonesia bagian Timur pasukan Inggris yang terakhir berangkat dari Makassar pada 1 Juli 1946, untuk wilayah ini NICA diganti dengan Algemeen Regeringscommissaris vor Borneo en de Groote Oost yang memegang kekuasaan gubernur (S 1946/64 dan 70). Dalam Nopember 1948 jabatan LGG dihapuskan, untuk Indonesia kemudian diadakan Hoge Vertegenwoordiger van de Kroon in Indonesie (S 1948/272). Jabatan ini dipegang oleh Dr JM Beel.

DESENTRALISASI BARU 

Tindakan desentralisasi pertama yang dilakukan oleh rezim Pemerintah Hindia Belanda ialah menetapkan Voorloopige Voorzieningen met Betrekking tot de Bestuursvoering in de Gewesten Borneo en de Groote Oost (S 1946/17) (Gie, 1993: 122). Peraturan ini membuka kemungkinan pembentukan daerah-daerh otonom yang pada asasnya tunduk kepada perundang-undangan dulu yang berlaku bagi zelfbesturende landschappen, groepsgemeenschap, stadsgemeente, dan locaal ressort. Daerah-daerah otonom bentukan baru itu terkenal dengan nama neolandschap, neogroepsgemeenschap, neostadsgemeente, dan neolocaal resort (Wolhoff, 1955: 24).

Neolandschap disebut juga quasilandschap (landschap pura-pura) atau oneigenlijke landschap (landschap tidak sehati). Hal ini adalah karena walaupun disebut landschap, daerah itu bukanlah landschap sesungguhnya yang mempunyai raja. Neolandschap adalah suatu daerah otonom yang dibentuk seperti daerah-daerah otonom lainnya. Lainlah halnya dengan landschap sejati yang merupakan kekuasaan asli Indonesia yang diakui oleh pemerintah Hindia Belanda, sedang bedanya neolandshap dengan daerah-daerah otonom lainnya ialah bahwa kedudukan dan kekuasaannya berdasarkan Zelfbestuursregelen 1938 yang semula dimaksudkan untuk mengatur kedudukan dan kekuasaan kerajaan-kerajaan asli Indonesia (Gie, 1993: 125, Kuipers, 1949: 17—20).

Berdasarkan S 1946/17, di Kalimantan (khususnya yang menjadi Kalimantan Barat kemudian, pen) dibentuklah neolandschappen yang berikut: Kapuas Hulu (S 1946/59), Meliau (S 1946/59) dan Tanah Pino (S 1946/59). Sebelum perang daerah ini merupakan suatu groepsgemeenschap. Pada pembentukan daerah-daerah otonom di atas, sekaligus ditetapkan untuk masing-masing sebuah majelis yang akan memegang kekuasaan pemerintahan daerah. Para anggota majelis itu untuk pertama kali diangkat oleh residen-residen di Kalimantan yang sedapat mungkin disesuaikan dengan pendapat penduduk di daerah yang bersangkutan. Jumlah anggota majelis itu berbeda untuk tiap-tiap daerah. Majelis untuk Meliau terdiri atas seorang ketua dan 2 anggota. Majelis-majelis Kapuas Hulu dan Tanah Pino terdiri atas seorang ketua dan 4 anggota (Gie, 1993: 129). 

Sebagian besar neolandschap di Kalimantan kemudian bergabung dengan tetangganya menjadi daerah otonom yang lebih besar. Neolandschappen Kapuas Hulu, Meliau dan Tanah Pino bersama-sama dengan 12 Zelfbesturende Landschappen di Kalimantan Barat bergabung menjadi suatu Federasi Kalimantan Barat (Keputusan Bersama 20 Oktober 1946 Nomor 20/L, terakhir diperbaharui dengan Keputusan 10 Mei 1948 Nomor 25/L). Susunan dan tugas wewenang federasi ini diatur dalam suatu anggaran dasar yang ditetapkan oleh Dewan Daerah Kalimantan Barat pada 22 September 1947 (Keputusan Nomor 179/DW). Stadsgemeente yang pernah dibentuk oleh landschap di Kalimantan berdasarkan S 1946/27 hanyalah sebuah, yaitu Pontianak. Ini dibentuk dengan Keputusan Sultan Pontianak 14 Agustus 1946 (JC 1946/24). Walikota landschapgemeente ini diangkat pula oleh Sultan (Gie, 1993: 129).

Setelah dapat kembali ke Indonesia, pemerintah Hindia Belanda mencari siasat untuk dapat tetap mempertahankan kekuasaannya seperti sediakala. Pucuk pimpinan pemerintah ini LGG dr HJ van Mook akhirnya mencetuskan gagasan tentang pembentukan suatu negara serikat (Gie, 1993: 161). Sebagai langkah pertama, pemerintah Hindia Belanda menyelenggarakan konperensi di Malino (Sulawesi) pada 15—25  Juli 1946. Dalam konperensi ini wakil-wakil dari wilayah yang telah dikuasai kembali oleh Belanda bertukar pikiran tentang hari depan Negara Indonesia. Salah satu hasil Konperensi Malino ialah resolusi yang “... memutuskan dengan suara bulat untuk menyusun kembali tatanegara Hindia Belanda sebagai sebuah federasi yang meliputi seluruh Indonesia (Negara Serikat Indonesia), yang terdiri dari bagian-bagian (negara-negara) yang berlingkungan luas yang mempunyai kewenangan-kewenangan pemerintahan sendiri yang sebesar-besarnya, yang di dalam bagian-bagian tersebut akan disusun atau dipertahankan suatu desentralisasi dalam resrot-resort otonom, sesuai dengan hasrat berbagai golongan rakyat yang merupakan kesatuan-kesatuan ditinjau dari segi etnologi, kebudayaan, serta ekonomi, pada umumnya terhadap ressort-ressort ini, baik bagi daerah swapraja maupun bagi daerah bukan swapraja akan dipakai otonomi swapraja sebagai asas bagi kewenangan-kewenangan otonom ressort-ressort tersebut ...” (Ronde Tafel Conferentie, 1949: 85).

Sebagai langkah berikutnya pemerintah Hindia Belanda mengadakan konperensi di Pangkalpinang (Bangka) pada 1—12 Oktober 1946, yang diajak berunding ialah golongan minotireit. Konperensi Pangkalpinang menyetujui kesimpulan Konperensi Malino tentang pembentukan negara federal di atas. Pada 2—24 Desember 1946, pemerintah Hindia Belanda mengadakan konprensi yang ketiga di Denpasar (Bali). Pembentukan suatu Negara Indonesia Serikat sudah menjadi kepastian. Dalam Konperensi Denpasar lahirlah negara bagian pertama dari negara federal yang akan dibentuk itu, yaitu Negara Indonesia Timur (Gie, 1993: 162). 

Selanjutnya mulai 1947 sampai 1949 pemerintah Hindia Belanda meneruskan usahanya membentuk satuan-satuan ketatanegaraan yang akan menjadi bagian dari Negara Federasi Indonesia. Demikianlah berturut-turut terbentuk Negara Sumatera Timur (S 1947/217), Negara Madura (S 1948/42), Negara Pasundan (S 1948/95), Negara Sumatera selatan (S 1948/204) dan Negara Jawa Timur (S 1948/303). Selain satuan-satuan tersebut di atas yang berkedudukan sebagai negara bagian, masih ada lagi 9 satuan kenegaraan yang tegak sendiri (zelfstanding staatkundig eenheid). Ini merupakan satuan-satuan yang ikut serta dalam pembentukan Negara Indonesia Serikat dan merupakan pula bagian-bagiannya. Hanya satuan-satuan ini berhubung dengan perkembangannya belum dijadikan negara bagian, tetapi haknya adalah sama seperti 6 negara bagian tersebut di muka. Satuan-satuan tersebut ialah Dayak Besar (S 1946/134), Kalimantan Tenggara (Asalnya 3 neolandschap yang dibentuk dengan S 1947/3 dan kemudian bergabung menjadi suatu federasi), Bangka (S 1947/123), Belitung (S 1947/124), Riau (S 1947/125), Daerah Banjar (S 1948/14), Kalimantan Timur (Ini juga suatu federasi dari beberapa daerah yang lebih kecil yang pembentukannya yang pasti terjadi pada 4 Februari 1948), Daerah Istimewa Kalimantan Barat (S 1948/58). Satuan kenegaraan ini disebut Daerah Istimewa karena dalam statutnya ditentukan (S 1948/58) pasal 3: “... Jikalau suatu permulaan telah dibuat guna pembentukan Negara Serikat Indonesia dan pembentukan Uni Belanda—Indonesia sebelumnya suatu negara Kalimantan dibentuk, Kalimantan Barat akan pada pembentukan itu bekerjasama atas dasar kedudukan yang sederajat dan dengan hak-hak yang sama sebagai sebuah negara ...), dan Jawa Tengah (S 1949/69) (Gie, 1993: 163).

Suatu tindakan lain untuk mempersiapkan negara federal itu ialah pembentukan Voorlopige Federale  Regering van Indonesie dengan S 1948/62. Tetapi yang dinamakan Pemerintah Federal Sementara ini ternyata tetap LGG dengan Kepala-kepala Departemen dulu, ditambah dengan Procureur Generaal Hooggerechtshof dan Secretaris van Staat yang tidak mengepalai sesuatu departemen.

Menurut pasal 2 Konstitusi RIS, negara federal ini tersusun atas 7 negara bagian dan 9 satuan kenegaraan yang tegak sendiri ditambah dengan Negara RI yang menjadi salah satu negara bagian RIS. Negara-negara bagian dan satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri itu disebut juga daerah bagian dari RIS. Masing-masing daerah bagian RIS tersusun atas daerah-daerah otonom yang berbeda satu sama lain. Satuan Kenegaraan Daerah Istimewa Kalimantan Barat tersusun atas 12 zelfbesturende landschappen dan 3 neolandschappen yang bergabung dalam suatu ikatan federasi. Di luar wilayah RI antara 1945—1949 pemerintah Hindia Belanda (termasuk negara-negara ciptaannya) telah menciptakan beraneka warna daerah otonom. Pola pemerintah daerah model baru itu dapat dibedakan sebagai berikut: Zelfbesturende landschap (umumnya meneruskan apa yang telah ada sebelum perang dengan sedikit perubahan), Neolanfschap, Federasi Zelfbesturende Landschappen, Federasi Zelfbesturende Landschappen dengan Neolandscahppen, Federasi Neolandschappen, Neogroepsgemeenschap, Neostadsgemeente, Landschapsgemeente, Herstelde Stadsgemeente, Herstelde Regentschap, Daerah, Komisariat Daerah, dan Distrik Federal (Gie, 1993: 167). 

Zelfbesturend Landschap ada 132, di Kalimantan Barat ada 12, masing-masing Kubu, Landak, Mempawah, Matan, Pontianak, Sambas, Sanggau, Sekadau, Simpang, Sintang, Sukadana, Tayan. Federasi Zelfbesturende Landschappen dengan Neolandschappen di Kalimantan, dalam Federasi Kalimantan Barat terdiri atas Neolandschappen Kapuas Hulu, Meliau dan Tanah Pino dengan 12 Landschappen tersebut tadi. Dan Landschapsgemeente Pontianak. Menurut S 1946/17 sebetulnya ,asih dimungkinkan pembentukan suatu jenis daerah lain, yaitu neolocaal district. Tapi daerah seperti ini tidak pernah dibentuk oleh pemerintah Hindia Belanda. 

Menjelang akhir 1949 gagasan LGG van Mook tentang pembentukan negara federal Indonesia menjadi kenyataan. Pembentukan itu menempuh perjalanan yang berliku-liku, membutuhkan waktu tidak kurang daripada 4 tahun, memakan korban jiwa dan mengalirkan darah yang tidak sedikit, serta menelan biaya yang sangat besar. Begitu legalistis alam hidup aparatur pemerintah Hindia Belanda sehingga semua tindakan harus bersendikan sesuatu peraturan hukum. Bahkan perubahan dalam hubungan politik yang berlangsung di Indonesia disebutnya dengan istilah nieuwe rechtsorde (tertib hukum baru) dalam pembicaraan-pembicaraan maupun perubahan Konstitusi Kerajaan Belanda. Ini menunjukkan betapa takutnya pemerintah Belanda sejak sebelum perang sampai kemudian terhadap istilah politik kalau-kalau sampai dikenal oleh rakyat jajahannya, apalagi kalau sampai dijalankan. Andaikata alam pikiran sebelum perang itu sudah berubah, mungkin pemerintah Hindia Belanda tidak akan segan-segan untuk mempergunakan semboyan Naar de nieuwe politieke orde (kearah tertib politik baru) (Gie, 1993: 176).

DALAM RANGKA RIS 

Konstitusi RIS pasal 192 menetapkan bahwa peraturan-peraturan UU dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada tetap berlaku selama belum dicabut, ditambah atau dirubah. Berdasarkan ini maka segenap perundang-undangan desentralisasi dari masa sebelum RIS tetap berlaku. Dengan demikian tiap-tiap negara bagian dan satuan kenegaraan yang tegak sendiri dari RIS tersususun atas daerah-daerah otonom seperti semula (Gie, 1993: 185). Kedudukan zelfbesturende landschappen diatur tersendiri dalam Konstitusi RIS dan juga dalam persetujuan antara Indonesia dan Belanda. Sewaktu penyusunan Konstutusi RIS di Nederland, dicari-cari istilah Indonesia untuk menggantikan zelfbestuur/zelfbestured landschap, akhirnya Prof Dr Mr H Muhammad Yamin dapat menemukan istilah swapraja untuk pengganti perkataan Belanda itu (Poerwokoesoemo, 1953: 16).

Pasal 3 Persetujuan Perpindahan Antara Indonesia dengan Belanda dan Pasal 65 Konstitusi RIS pada pokoknya ketentuan-ketentuan di sana mengandung prinsip-prinsip di mana RIS mengakui swapraja sebagai daerah yang mempunyai kedudukan istimewa dalam lingkungannya, kedudukan swapraja diatur oleh negara bagian RIS yang bersangkutan dengan kontrak, swapraja tidak dapat dihapuskan atau diperkecil apabila swapraja tidak menyetujuinya, kalaupun swapraja akan dihapuskan atau diperkecil bertentangan dengan kehendaknya, ini hanya dapat dilakukan dengan UU RIS dalam mana dinyatakan bahwa kepentingan umum menuntut penghapusan/pengecilan dan memberi kuasa kepada negara bagian untuk menjalankan hal itu (Gie, 1993: 187). Selama berlangsungnya RIS swapraja-swapraja yang telah ada tetap berlangsung seperti sediakala. Hanya dalam prakteknya tidak pernah ada negara bagian yang mengadakan kontrak dengan swapraja dalam bentuk perjanjian tertulis (Ranawidjaja, 1955: 13).

Negara-negara bagian dan satuan-satuan kenegaraan yang tegal sendiri ciptaan Belanda yang bersama-sama merupakan RIS tidak pernah berakar dalam sanubari rakyat. Sebagian terbesar rakyat Indonesia tidak pernah sungguh-sungguh menginginkan suatu negara federal, melainkan Negara Kesatuan sebagaimana tercantum dalam UUD 1945. Oleh karena itubelum cukup 1 bulan umur RIS, di daerah-daerah timbullah pergolakan-pergolakan yang menuntut dibubarkannya negara federal dan dibentuknya suatu Negara Kesatuan Republik Indonesia (Gie, 1993: 191). 

Berdasarkan desakan rakyat, pemerintah Daerah Istimewa Kalimantan Barat menyerahkan penyelenggaraan tugas pemerintahannya kepada pemerintah RIS. Dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri RIS 24 Mei 1950 Nomor BZ 17/2/47 seluruh tugas pemerintahan Kalimantan Barat diserahkan kepada Residen RIS di Pontianak. Kemudian untuk memungkinkan pembubaran sesuatu negara bagian, ditetapkan UUDar 1950/11 tentang tata cara perubahan susunan kenegaraan dari wilayah RIS. Berdasarkan UUDar ini Presiden RIS dan wilayahnya digabungkan pada Negara Bagian Republik Indonesia. Demikianlah sejak Maret 1950 berturut-turut dibubarkan daerah-daerah bagian tersebut. Pada 15 Agustus 1950 keluarlah UU RIS 1950/7 tentang perubahan Konstitusi Sementara RIS menjadi Undang Undang Dasar Sementara RIS (LN 1950/56, TLN 37). UU ini mulai berlaku pada 17 Agustus 1950. Pada hari ulang tahun kelima proklamasi berdirilah Negara Kesatuan RI, sedang negara-negara bagian RI, NIT dan NST serta satuan kenegaraan Lkalimantan Barat bersama-sama bubar (Gie, 1993: 192).

Setelah pemulihan kedaulatan, barulah Pemerintah RI dapat mencurahkan kembali perhatiannya dalam bidang desentralisasi. Dasar hukumnya sudah ada, yaitu UU 1948/22, tinggal melaksanakannya saja. Langkah pertama yang dilakukan pemerintah RI ialah membentuk propinsi otonom dan daerah istimewa setingkat propinsi. 

UU 1948/22 pasal 3 dan 4 menetapkan  bahwa pemilihan dan penggantian anggota DPRD ditetapkan dengan UU. Untuk memenuhi ketentuan ini, pada 19 Juni 1950 keluarlah UU 1950/7 tentang pemilihan anggota DPRD propinsi dan daerah-daerah di dalam lingkungannya. Pelaksanaan UU ini diatur lebih lanjut dalam PP 1950/36 (Gie, 1993: 221). Pada pokoknya UU ini menganut sistem pemilihan bertingkat untuk pemilihan anggota DPRD propinsi, kabupaten, dan kota besar. Dalam tahap pertama dipilih dulu pemilih-pemilih, kemudian barulan para pemilih itu memilih anggota-anggota DPRD. Pemilihan yang langsung terhadap anggota DPRD oleh rakyat hanya berlangsung pada kota kecil atau desa (Gie, 1993: 221).

UU 1948/2 pasal 46/3 memuat ketentuan peralihan bahwa selama UU pemilihan belum ada atau selama pemilihan menurut UU pemilihan belum dapat dijalankan, maka pembentukan DPRD dan DPD dilakukan menurut cara yang ditetapkan dalam PP (Gie, 1993: 221). Pemerintah terpaksa menetapkan PP 1950/39 karena pemilihan menurut UU 1950/7 yang ruwet dan memakan waktu lama belum mungkin dilaksanakan. Oleh karena itu, untuk sementara perlu dibuat peraturan darurat yang memungkinkan pembentukan DPRD-DPRD dengan cara yang lebih sederhana dan cepat, agar daerah-daerah otonom yang mulai berdiri pada 15 Agustus 1950 dengan segera mempunyai aparatur pemerintahannya.

Penghapusan daerah-daerah bagian RIS dan pembentukan NKRI tidak mempengaruhi kelangsungan daerah-daerah otonom dalam lingkungan masing-masing daerah bagian itu, yang hapus hanyalah satuan-satuan yang langsung menyusun negara federal tersebut (Gie, 1993: 248). Oleh karena itu, pada 17 Agustus 1950 di seluruh Indonesia terdapat bermacam-macam daerah otonom. Di Kalimantan (Barat kemudian nanti), antara lain landschap Kubu, Landak, Mampawah, Matan, Pontianak, Sambas, Sanggau, Sekadau, Simpang, Sintang, Sukadana, Tayan, dan neolandschap Kapuas Hulu, Meliau dan landschapsgemeente Pontianak. Selain daerah-daerah otonom di muka, di seluruh Indonesia masih terdapat persekutuan-persekutuan masyarakat adat yang menyelenggarakan pemerintahan daerah. Pemerintah Hindia Belanda dulu menyebut persekutuan-persekutuan masyarakat adat itu Inlandschegemeente. Setelah Indonesia merdeka, pemerintah RI belum banyak melakukan tindakan untuk mengatur pemerintahan desa. Hanya beberapa peraturan yang ada diubah seperlunya untuk menyesuaikannya dengan keadaan dan asas kerakyatan (Gie, 1993: 256).

Sejak proklamasi memang telah ada rencana-rencana mengenai pembinaan dan pendinamisan masyarakat desa, misalnya dari Mohammad Hatta (1945-1946), Kasimo (1947) dan Susanto Tirtoprodjo (Kattenburg, 1951: 1). Dalam UU 1948/22 pemerintah RI merencanakan untuk menjadikan desa dan daerah-daerah lainnya yang sejenis sebagai daerah otonom tingkat terbawah menurut susunan yang modern. Tetapi, rencana ini belum pernah dilaksanakan (Gie, 1993: 257). Juga pemerintah Hindia Belanda dan negara-negara ciptaannya belum pernah mengadakan perubahan yang asasi terhadap susunan pemerintahan persekutuan-persekutuan masyarakat adat yang ada.

Menurut Prof Dr Mr H Muhammad Yamin (tt: 217) persekutuan-persekutuan itu yang dianggapanya sebagai daerah otonom tingkat III ialah 47.305, dan Supardan (Supardan, 1955: 99) mencatat bahwa di Indonesia terdapat 41.392 desa dengan perincin di Kalimantan ada 5.741 desa (Gie, 1993: 258).

MENUJU PROPINSI KALIMANTAN BARAT

Pada saat berdirinya NKRI, Kalimantan masih merupakan sebuah propinsi administratif berdasarkan PP (RIS) 1950/21. Setelah terlambat 2 tahun lebih, dalam Januari 1953 pemerintah menetapkan UU-Dar 1953/2 (LN 1953/8 dan TLN 351). Ini membentuk Propinsi Kalimantan yang otonom berdasarkan UU 1948/22. Walaupun Kalimantan merupakan bekas daerah-daerah bagian ciptaan pemerintah Hindia Belanda, pemerintah RI memperlakukan UU 1948/22 di wilayah tersebut. Ini dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Piagam Persetujuan Pemerintah RIS dan RI 19 Mei 1950 yang menetapkan bahwa sebelum diadakan perundang-undangan kesatuan, segenap peraturan yang ada tetap berlaku, tapi di mana mungkin diusahakan supaya perundang-undangan RI yang berlaku (Gie, 1994: 22).

Jumlah anggota DPRD Propinsi Kalimantan ialah 30 orang, sedang DPD-nya 5 orang (pasal 3). Bilamana karena sesuatu hal DPRD tida ada atau tidak dapat menjalankan tugasnya, maka hak kekuasaannya dijalankan oleh DPD. Bila DPD juga tidak ada atau tidak dapat menjalankan tugasnya, maka hak kekuasaan Pemerintah Daerah Propinsi dijalankan oleh KD bersama-sama dengan suatu badan pemerintah (sebanyak-banyaknya 5 orang) yang diangkat oleh Menteri Dalam Negeri dari partai-partai politik atas usul KD (pasal 4) (Gie, 1993: 22). 

Berbeda dengan propinsi-propinsi di Jawa dan Sumatera, maka Propinsi Kalimantan tidak usah menunggu ditetapkannya peraturan-peraturan tentang pelaksanaan penyerahan urusan-urusan di atas. Sejak saat pembentukannya propinsi ini boleh seketika menyelenggarakan urusan-urusan itu. Bila ini tidak mungkin, maka tugas-tugas itu untuk sementara dijalankan oleh pegawa-pegawai kementerian yang bersangkutan (pasal 83).

Dalam penjelasan umum UU Dar 1953/2 pemerintah berjanji apabila keadaan sudah mengizinkan akan meninjau kemungkinan pemecahan Kalimantan menjadi beberapa propinsi. Janji ini ditepati. Dengan UU 1956/25 (LN 1956/65 dan TLN 1106) dibentuklah propinsi-propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Jumlah anggota DPRD-nya masing-masing tetap angka minimum (30 orang), sedang DPD-nya ditetapkan sekurang-kurangnya 3 dan sebanyak-banyaknya 5 orang, tidak termasuk KD (Gie, 1993: 25). 

Mengenai hal-hal yang ditetapkan menjadi urusan propinsi pada umumnya adalah sama seperti ketentuan dalam UU Dar 1953/2 dengan tambahan urusan sosial (membimbing urusan sosial) dan urusan perindustrian (mengembangkan industri kecil dan kerajinan rumah tangga).

Pada waktu merencanakan pembentukan 3 propinsi di Kalimantan itu, pemerintah telah mempunyai pula maksud untuk menciptakan propinsi yang ke 4, yaitu Kalimantan Tengah. Tetapi, mengingat keadaan keuangan negara, besarnya penghasilan yang dapat dipungut oleh masing-masing propinsi itu serta kekurangan peralatan pemerintah dan tenaga-tenaga tehnis yang cakap, maka pembentukan propinsi yang ke 4 itu ditunda selambat-lambatnya sampai 3 tahun (TLN 1106: 3, Gie: 1993: 27). 

Bersama-sama dengan pembentukan Propinsi Kalimantan tahun 1953, pemerintah menetapkan pula UU Dar 1953/3 (LN 1953/9, TLN 352) tentang pembentukan resmi daerah-daerah kabupaten/daerah istimewa tingkat kabupaten/kota besar dalam lingkungan daerah Propinsi Kalimantan. Daerah-daerah (di Kalimantan Barat, pen) yang dibentuk itu ialah (Gie, 1993: 27): Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Sambas, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Sintang dan Kota Besar Pontianak. 

Jumlah anggota DPRD masing-masing daerah di atas berkisar antara 18 hingga 30 orang. Bagi kabupaten jumlah itu ditetapkan berdasarkan perhitungan 15.000 penduduk memperoleh seorang wakil, mengingat tipisnya penduduk di Kalimantan. Sedang DPD-nya terdiri atas 3—5 anggota, tidak termasuk KD. Kepada masing-masing daerah itu diserahkan urusan-urusan tata usaha daerah, kesehatan, pekerjaan umum, pertanian, kehewanan, perikanan darat, pendidikan pengajaran dan kebudayaan, urusan-urusan lainnya berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam peraturan lama.

UU Dar 1953/3 memberikan pula kebebasan kepada daerah-daerah di atas untuk atas inisiatif sendiri mengatur dan mengurus segala sesuatu yang menurut sifatnya termasuk rumah tangga daerah masing-masing (pasal 46) (Gie, 1993: 28). 

Sebagaimana diketahui UU 1948/22 menganut metode-metode pembatasan pekerjaan daerah yang zakelijk dan yang hierarchis. Pada pembentukan daerah-daerah dalam 1950 tampaknya titik berat diletakkan pada zakelijkke taakafbakening. Tetapi, dalam 1953 terjadi titik balik pada pendirian pemerintah. Selainnya perincian urusan daerah (yang dapat seketika diselenggarakan tanpa menunggu penyerahan yang nyata), kepada daerah-daerah yang dibentuk di Kalimantan diperkenankan atas inisiatif sendiri yang bebas menyelenggarakan segala urusan yang termasuk kepentingan daerah. Sebagai pembatasan terhadap inisiatif yang bebas itu dinyatakan agar daerah memperhatikan ketentuan-ketentuan pasal 28 UU 1948/22, yaitu hierarchische taakafbakening (Gie, 1993: 47).

Pada pembentukan daerah-daerah dalam 1956 di Kalimantan, tampaknya tekanan telah beralih kepada metode pembatasan pekerjaan yang hierarchis itu. Sesuatu daerah berhak menyelenggarakan segala urusan yang belum diselenggarakan oleh pihak atasan. Perincian urusan yang tercantum dalam UU pembentukan agaknya kini hanya dijadikan petunjuk agar daerah mengetahui apa yang dapat seketika dikerjakannya mulai saat pembentukannya (Gie, 1993: 47). 

Dengan terbentuknya kabupaten-kabupaten di Kalimantan, maka semua neolandschap dalam wilayah bekas daerah-daerah bagian (RIS) Kalimantan Barat menjadi hapus, ini ialah Kapuas Hulu, Meliau dan Tanah Pino. Tetapi, swapraja-swapraja tetap berlangsung. UU Dar 1953/3 tidak menghapuskan swapraja-swapraja yang ada (Gie, 1993: 47, Soenarko, 1955: 88). Hal ini pun secara tak langsung disinggung dalam UU 1956/25 pasal 91/1 yang menetapkan bahwa urusan-urusan rumah tangga swapraja-swapraja yang ada dlam wilayah daerah otonom Propinsi Kalimantan Barat yang menurut ketentuan-ketentuan dalam undang undang ini adalah termasuk urusan rumah tangga propinsi, dengan sendirinya beralih dalam tangan pemerintah daerah otonom propinsi yang bersangkutan. Suatu hal baru yang perlu dicatat ialah penggunaan secara resmi untuk pertama kalinya istilah daerah swatantra sebagai sinonim daerah otonom dalam PP 1952/33 (Gie, 1993: 49). 

Sebagai warisan masa yang lampau, Negara Kesatuan RI mempunyai aneka warna daerah otonom di seluruh Indonesia. Ini ditambah dengan daerah-daerah yang dibentuk sejak Agustus 1950. dengan demikian pada waktu mulai berlakunya UU 1957/1, terdapatlah berbagai daerah otonom berdasarkan UU 1948/22, UU SIT 1950/44, dan perundang-undangan desentralisasi lainnya. Dalam mengatur kedudukan daerah-daerah itu menurut UU 1957/1, UU ini membedakan daerah-daerah itu dalam 3 golongan (Gie, 1993: 137): daerah-daerah otonom yang dibentuk berdasarkan UU 1948/22, Kotapraja Jakarta Raya warisan masa RIS, daerah-daerah yang menyelenggarakan otonomi berdasarkan UU SIT 1950/44 dan perundang-undangan desentralisasi lainnya.

UU 1957/1 pasal 73 menetapkan bahwa daerah-daerah berdasarkan UU 1948/22 tidak perlu dibubarkan dan dibentuk baru, melainkansejak saat berlakunya UU 1957/1 dianggap menjadi daerah-daerah berdasarkan UU baru itu. Dalam hal ini kedudukannya diatur sebagai berikut: propinsi/daerah istimewa setingkat propinsi menjadi daerah swatantra/ daerah istimewa tingkat I, kabupaten/daerah istimewa setingkat kabupaten menjadi daerah swatantra/daerah istimewa tingkat II, dan kota besar dan kota kecil semuanya menjadi kotapraja. Di Kalimantan sesuai dengan desakan rakyat, pemerintah membentuk Dasting I Kalimantan Tengah dengan UU Dar 1957/10 (LN 1957/53, TLN 1284) yang kemudian ditetapkan sebagai UU 1958/21 (LN 1958/62, TLN 1622). Dengan demikian di Kalimantan terdapat 4 dasting I. 

Kemudian dengan UU 1959/27 (LN 1959/72, TLN 1820) ditetapkanlah UU Dar 1953/3 menjadi UU. Dalam UU penetapan ini sekaligus dibentuk daerah-daerah baru dalam lingkungan masing-masing dasting I. dalam keseluruhannya sejak 1959 di Kalimantan terdapatlah daerah-daerah Dasting I Kalimantan Barat meliputi Dasting II Kapuas Hulu, Dasting II Ketapang, Dasting II Pontianak, Dasting II Sambas, Dasting II Sanggau, Dasting II Sintang, dan Kotapraja Pontianak (Gie, 1993: 141). 

KRONIK MENUJU PROPINSI KALIMANTAN BARAT

Dengan surat Nomor 6/RS/50 tanggal 26 Juni 1950, residen Kalimantan Barat dengan persetujuan pemerintah pusat membentuk Badan Pertimbangan Kalimantan Barat yang berkedudukan di Pontianak. Badan ini bertugas menyampaikan baik atas permintaan residen maupun atas inisiatif sendiri berupa pertimbangan-pertimbangan dan anjuran mengenai soal-soal di lapangan pemerintahan Kalimantan Barat. Residen telah menunjuk sebanyak 7 orang anggota Badan Pertimbangan masing-masing Uray Bawadi, dr M Sudarso, M Adnan, R Mochtar Hadikusuma, SH Marpaung, A Mawardi Djafar dan FC Palaunsoeka. Dalam surat keputusan residen tersebud dijelaskan residen menimbang lagi bahwa anggota Badan Pertimbangan yang dimaksudkan ditunjuk sebanyak-banyaknya 7 anggota dari calon-calon berwarga negara Indonesia yang diajukan oleh organisasi-organisasi yang mewakili aliran-aliran politik atau golongan di Kalimantan Barat. 

Dibentuknya Badan Pertimbangan ini oleh pemerintah pusat dimaksudkan sebagai untuk memenuhi keinginan-keinginan yang timbul dari berbagai aliran politik khususnya dan masyarakat di Kalimantan Barat pada umumnya, dan Badan Pertimbangan ini bersifat sementar sampai terbentuknya badan yang berdasarkan UU. Adapun keanggotaannya dipilih setelah mendengar anjuran Komite Nasional Kalimantan Barat tentang cara memilih anggota Badan Pertimbangan tersebut. Mereka yang diusulkan oleh Komite Nasional Kalimantan Barat sesudah oleh badan ini diadakan permusyawaratan dengan golongan-golongan dan aliran-aliran yang belum tergabung di dalamnya. Dan juga mengingat lagi penyerahan kekuasaan-kekuasaan Badan Pemerintahan kepada Residen Kalimantan Barat dan keputusan Menteri Dalam Negeri RIS Nomor BZ 17/2/47 tanggal 24 Mei 1950 yang menetapkan penyerahan kekuasaan-kekuasaan yang dimaksudkan. 

Sebagaimana telah maklum bahwa pembentukan Propinsi Kalimantan Barat telah dapat dipastikan karena Undang Undang pembentukan sudah diselesaikan oleh parlemen dan saat ini tinggal menunggu saat berlakunya Undang Undang tersebut. Dalam beberapa waktu yang lalu menghadapi kesibukan pembentukan DPRD Peralihan Kabupaten-kabupaten di daerah ini dan seterusnya ikut pula dalam menghadapi persiapan membentuk DPRD Peralihan Propinsi Kalimantan Barat, maka dengan adanya Undang Undang pembentukan propinsi Kalimantan Barat tersebut persiapan dan perhatian dipusatkan untuk menyusun apa yang nantinya diperlukan bagi pemerintah daerah otonom propinsi Kalimantan Barat. 

Dengan adanya UU Nomor 14 Tahun 1956 pemerintahan daerah otonom propinsi Kalimantan Barat tidak akan merupakan pemerintahan tunggal. Karena itu sesuai dengan bunyi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1956 pasal 1 dan 2, dengan keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor Des 2/26/37 tanggal 23 Nopember 1956 telah diangkat untuk daerah ini masing-masing Tadjuddin Fatah (Masjumi), HS Massoeka Djanting (Partai PD), SH Marpaung (PNI), Joeliaswaneti (NU), M Arsjad Muslim (PSI) dan Ja’ Achmad (PIR) sebagai anggota Panitia Persiapan Pembentukan Dewan Perwakilan Rakjat Daerah Peralihan Propinsi Kalimantan Barat. 

Pada tanggal 23 Nopember 1956 dengan suratnya Nomor Des 2/26/37 Menteri Dalam Negeri menetapkan Panitia Persiapan DPRD Peralihan  Propinsi Kalimantan Barat sebagai Panitia Persiapan Pembentukan DPRD Peralihan Propinsi Kalimantan Barat terdiri dari 6 orang yaitu Tadjuddin Fattah (Masjumi), HS Massoeka Djanting (Partai Persatuan Daya), SH Marpaung (PNI), Joeliaswaneti (NU), M Arsjad Muslim (PSI), dan Ja’ Achmad (PIR). Pada tanggal 25 Nopember 1956 Panitia Persiapan telah mengadakan rapatnya bertempat di ruang kantor keresidenan Kalimantan Barat untuk memilih seorang Wakil Ketua yang akan memimpin sidang-sidang selanjutnya yang diperlukan, sementara menunggu Kepala Daerah Propinsi Kalimantan Barat yang menjadi Ketua dari panitia tersebut berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1956 Pasal 2 ayat 1 dan 2. Dalam pemilihan yang dilangsungkan itu, anggorta panitia persiapan telah menyetujui HS Massoeka Djanting dari Partai PD untuk menjadi Wakil Ketua. 

Dengan kawat Menteri Dalam Negeri Nomor Des 2/26/41 tanggal 24 Nopember 1956 dan kawat Gubernur Kalimantan Nomor Des 2537/1-3-U tanggal 26 Nopember 1956 ditujukan kepada Residen Kalimantan Barat K Ng Bambang Soeparto untuk meresmikan berdirinya Panitia Persiapan tersebut, maka tanggal 1 Desember 1956 di Pontianak atas nama Menteri Dalam Negeri residen melantik dan menyatakan dengan resmi panitia dimaksud. 

Pada tanggal 28 Nopember 1956 anggota panitia persiapan mengadakan rapat untuk mengesahkan sidang yang lalu dan menentukan kiskosion kursi DPRD Peralihan yang diperlukan, yaitu 15.556 dari 466.672:30. Pada tanggal 1 Desember 1956 pukul 9 pagi anggota panitia persiapan dilantik oleh Residen Kepala Daerah Kalimantan Barat atas nama Menteri Dalam Negeri di Gedung Pertemuan Kota Besar Pontianak, seterusnya sore jam 16 sidang diteruskan untuk mengadakan perincian pembagian kursi-kursi kepada masing-masing partai yang akan memperoleh keanggotaan di DPRD Peralihan Propinsi Kalimantan Barat sesuai dengan jumlah suara yang didapatnya dan hasil bagi seluruhnya adalah:

Sedangkan partai-partai atau organisasi-organisasi dan calon-calon perseorangan lainnya tidak mendapat, baik dalam pembagian pertama maupun kedua karena suara-suara yang didapatnya tidak mencukupi kiskosion yang telah ditetapkan. Pada tanggal 3 Desember 1956 Panitia Persiapan telah mengirimkan instruksi kepada partai-partai yang bersangkutan supaya selambat-lambatnya dalam waktu 10 hari nama-nama dari masing-masing partai yang akan duduk di DPRD Peralihan Propinsi Kalimantan Barat, baik selaku calon tetap maupun selaku calon cadangan, sudah harus diterima oleh panitia persiapan untuk diteruskan kepada Menteri Dalam Negeri guna disahkan seperlunya. 

Pada tanggal 15 Desember 1956 panitia persiapan dengan suratnya Nomor 1/Pan/KB/56 menyampaikan nama-nama calon dan berita acara kepada residen Kalimantan Barat. Tanggal 17 Desember 1956 dengan surat Nomor 2/Pan/KB/56 laporan lengkap disampaikan panitia persiapan kepada Menteri Dalam Negeri di Jakarta yang tembusannya dikirim kepada residen Kalimantan Barat dan Gubernur Kalimantan di Banjarmasin. Seterusnya pada tanggal 21 Desember 1956 Residen Kalimantan Barat  dengan suratnya Nomor 1370/Des-5 mengawatkan nama-nama tersebut tadi kepada Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya pada tanggal 24 Desember 1956 laporan lengkap dari residen Kalimantan Barat dengan suratnya Nomor 1394/Des-5 telah dikirim kepada Menteri Dalam Negeri untuk maksud yang sama dan segera mendapat surat keputusannya. 

Tanggal 18 Januari 1957 di Pontianak dilantiklah anggota DPRD Peralihan Propinsi Kalimantan Barat berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor Des 2/1/29 tanggal 5 Januari 1957 dan berakhirlah panitia persiapan yang telah bekerja sejak 23 Nopember 1956. Adapun keanggotaan DPRD Peralihan yang dilantik tersebut masing-masing:

Dengan dilantiknya anggota DPRD Peralihan Propinsi Kalimantan Barat pada 18 Januari 1957 selesailah pekerjaan yang ditugaskan kepada Panitia Persiapan. (Penulis : Syafaruddin Dg Usman Sejarawan Kalimantan Barat).

Editor : Aan

Share:
Komentar

Berita Terkini