Makna Petasan Di Tahun Baru Imlek, Catatan Ringan Syafaruddin DaEng Usman

Editor: Redaksi author photo
Petasan adalah ikon untuk merayakan Tahun Baru atau Imlek
KALBARNEWS.CO.ID (PONTIANAK) - Petasan adalah ikon untuk merayakan Tahun Baru atau Imlek. Petasan tidak hanya menciptakan kemeriahan, tapi juga merupakan hiburan dan melambangkan harapan akan kebahagiaan dan nasib baik. 

Menyalakan petasan adalah kebiasaan tradisional China, yang bisa berlangsung berhari-hari selama Perayaan Musim Semi. Pada malam tahun baru, dentuman besar bisa didengar di mana-mana, baik di kota maupun di desa, menghidupkan perayaan. 

Menurut catatan sejarah, petasan berasal dari obor yang dibuat dari bilah bambu. Membakar bambu membuat suara letupan keras, maka istilah bambu meledak atau “Bao Zhu” dibuat. Meskipun bambu ini kemudian diganti oleh bubuk mesiu, istilah “bambu meledak” tetap ada. 

Petasan pertama kali digunakan untuk mengusir roh jahat dan siluman. Menurut “Shen Yi Jing”, dahulu kala ada roh bernama “Shan Sao” tinggal di gunung. Ia berbentuk manusia, tapi hanya setinggi satu kaki lebih dan hanya punya satu kaki. 

Roh ini tidak takut pada manusia. Siapa pun yang bertemu dengannya akan terserang hawa panas dan dingin, lalu mati tak lama kemudian. 

Menurut legenda, “Shan Sao” turun dari gunung sekitar waktu tahun baru. Suatu musim dingin, seorang petani naik ke gunung untuk memotong bambu, dan ia merasa kedinginan dan lapar ketika pulang ke rumah, maka ia beristirahat dan menyalakan api dengan kepingan bambu. Karena takut melihat Shan Sao, petani itu menjatuhkan bambunya dan lari. 

Namun, makhluk itu bahkan lebih takut pada suara gemeretak daripada api, ia kabur dan menghilang di gunung dalam sekejap. Sejak itu, pada hari pertama Tahun Baru ketika ayam berkokok, setiap keluarga berusaha menghalau Shan Sao dengan api menyala dan suara keras yang dihasilkan dengan membakar bambu di halaman. Meskipun ini hanya legenda, ide menakuti siluman dan roh jahat masih berlangsung. 

Menurut legenda lain pula, ada monster dengan kepala seperti singa dan tubuh seperti kerbau yang disebut “Nian”.

Ia tinggal di laut dalam, tapi sekitar waktu Tahun Baru, ia akan meneror penduduk desa dengan memakan hasil panen mereka, ternak, dan bahkan orang-orang desa. 

Suatu ketika, saat sedang menyerang, monster itu terlihat berlari menjauh dari rumah yang sedang menggantung sepotong baju merah di luar, dan kemudian dari cahaya. Sejak itu, orang desa mengetahui bahwa makhluk itu takut pada suara keras, warna merah, dan cahaya yang terang. 

Sejak itu, sebelum Tahun Baru, orang akan menempelkan syair, menyalakan petasan, menggantung lampion merah, menyalakan api di halaman, dan membuat bunyi-bunyian keras dengan memotong daging untuk mengusir monster. 

Begitu Nian kembali ke laut, orang akan keluar rumah, merayakan dan saling menyalami dengan “Gong Xi” karena mereka berhasil melewati gangguan Nian atau “Guo Nian Guan” memunculkan kebiasaan “Guo Nian”. 

Selama Dinasti Song, petasan diberi desain baru. Tabung kertas digunakan menggantikan bambu. Berisi bubuk mesiu, tabung kertas itu ditempelkan banyak sumbu. Petasan yang dibuat dari jerami bahkan menghasilkan suara yang lebih lama. 

Ini dikenal sebagai perasan tenun atau “Bian Pao” karena digantung bersama, atau petasan cambuk karena suaranya nyaring seperti melecutkan cambuk.

Yang paling rumit adalah petasan yang dibungkus dengan kertas merah. Ketika dinyalakan, serpihan kertas merah akan tersebar di lantai. Ini membawa makna bagus yaitu seluruh lantai merah atau “Man Di Hong”. 

Petasan bahkan menjadi semakinpopuler selama Dinasti Ming dan Qing. Penggunaan petasan meluas di luar fungsinya sebagai pengusir roh jahat. 

Juga digunakan dalam peristiwa rakyat seperti Menerima Dewa atau “Yingshen”, pemujaan atau ritual sembahyang, dan pada perlombaan. Petasan juga bisa dilihat dalam peristiwa gembira seperti perkawinan, ulang tahun atau inagurasi bisnis. 

(Penulis Syafaruddin DaEng Usman, peminat kajian sejarah dan budaya, dari berbagai sumber).

Editor : Aan

Share:
Komentar

Berita Terkini