Wina Armada Sukardi Advokat dan wartawan senior |
“Kita mulai
di pengadilan. Sebelum acara di pengadilan dimulai, hakim bakal menanyakan dan
memeriksa mana Berita Acara Sumpah (BAS), kartu advokat dan kartu organisasi
advokat. Sekarang untuk advokat dapat beracara di pengadilan harus memiliki BAS
atau pengangkatan sebagai advokat sebelum UU advokat berlaku, kalau sudah jadi
advokat sebelum UU Advokat lahir, Semuanya
harus diperlihatkan aslinya, Gak boleh
foto copynya, Setelah ada aslinya diperlihatkan, barulah boleh
diserahkan fotocopynya,” ujarnya.
Kenapa
advokat diminta menunjukan asli
keabsahannya sebagai advokat, sedangkan
jaksa dan hakim sebagai sesama penegak hukum tidak? Karena advokat tidak
dipercaya, Apakah Takut si advokat berbohong, sebenarnya dia belum berhak
praktek beracara di pengadilan, tapi mengaku sudah jadi advokat.
“Kalau cuma
foto copynya saja, dapat saja dipalsukan oleh advokatnya. Stigma advokat
profesi tukang kibul (suka berbohong)
membuat semua identitas dan kelengkapan surat sebagai advokat harus ditunjukan
aslinya. Tak ada usaha bikin praktis,
misal cukup mempergunakan barkot
atau kode no BAS dan sebagainya.
Konstruksi berpikirnya, “jangan sampai ketipu oleh advokat,” tegasnya lagi.
Sementara
jaksa yang ikut sidang yang sama, diamsumsikan sudah dipastikan benar, gak
mungkin bohong. Jadi gak perlu ditanya mana surat tugasnya, apakah surat
tugasnya benar atau tidak, ada kesalahan administrasinya atau tidak, sudah tidak perlu dan tidak penting ditanya. Jaksa sudah terjamin pasti benar, tidak seperti
advokat yang perlu dicurigai dari awal.
Apalagi
hakimnya. Siapa pula yang mau bertanya mana surat ketetapan dari ketua PN yang
menunjuk majelis hakim yang mengadili suatu perkara. Kalau kemudian hakimnya
diganti, mana pula bukti surat
keterangan pergantiannya.
Ah, hakim
kan, itu yang mulia, gak perlu disangsikan lagi, malah gak boleh sampai dicek
segala kemuliaannya (Kalau ada hakim
yang terima suap, cuma dianggap segelintir, dan itu pun lantaran pengaruh buruk
setan). Selebihnya hakim pasti orang baik. Jadi gak perlu keabsahan surat
tugasnya dipersoalkan. Lain dengan advokat, dipandang sering bohong, jadi harus
bener-bener dicros cek. Stigma terhadap advokat begitu.
Advokat juga
profesi yang sudah biasa “dizholimi” di pengadilan. Diagendakan dan disuruh
sidang pukul 10 pagi, sidangnya baru mulai jam 16.00 atau bahkan setelah
magrib, advokat gak punya hak marah atau protes. Sudah dipandang lumrah tugas
advokat menanti tanpa kepastian. Urusan kerugian waktu dan materil, itu sudah
dianggap menjadi derita advokat. Kan advokat strata penegak hukum terendah,
jadi boleh diperlakukan semaunya. Alasannya macam-macam. Hakimnya banyak
perkara lain yang masih harus diperiksa. Jaksanya belum datang dan sebagainya.
Bahkan barusan saja terjadi, setelah sidang ditunda dua minggu dan ditunda lagi
tiga minggu, pada harinya, si hakim bilang keputusannya sedang dibuat,
sementara si hakim ketua sidang sudah di ruang sidang.
“Entah siapa
yang buat keputusannya. Advokat gak boleh protes. Gak boleh tanya-tanya kenapa begitu. Pokoknya
advokat di pengadilan kasta terbawah. Jadi, kalau menerima perlakuan tak adil,
ya selama ini dinilai wajar-wajar saja,” ungkap Wira.
Soal
keputusan juga suka-suka hakim. Sidang boleh panjang dengan menghadirkan ahli,
berbagai bukti dan kesimpulan bahkan sidang berlangsung sampai sampai setahun,
eh pas keputusan cukup dianggap tidak dapat diterima (NO) karena kurang pihak
(biar pihak yang kurang itu sudah dihukum pidana) atau salah objek karena
tulisan tidak tepat dan sebagainya. Kenapa gak dari awal saja diputusin waktu eksepsi, sehingga gak
usah sampai begitu panjang, itu sepenuhnya otoritas mutlak hakim, gak peduli
advokat sudah minta klien kekuar duit banyak untuk Ahli, bukti dan sebagainya.
Apalagi cuma waktu advokat yang terbuang. Semua bukan tanggung jawab moral
hakim, tapi “derita elo” wahai advokat.
Demikian juga
kalau hakim setelah menguraikan berbagai hal dan sampai kesimpulan, eh,
ternyata putusanny gak sesuai dengan uraiannya. Sudahlah advokat harus mahfum
saja. Kalau gak setuju silakan naik banding.
Menurut UU
Advokat, para advokat berhak medampingi klien dimana dan pada tingkat apapun,
tapi di KPK advokat sama sekali tidak boleh mendampingi klain waktu diperiksa. Alasannya, korupsi itu
kejahatan luar biasa. Lho, apa urusannya
kejahatan luar biasa dengan menghilangkan hak advokat yang diberikan UU untuk
mendampingi klain? Gak penting alasan apa atau apa hubungannya, pokoknya SOP di
KPK ditetapkan gak boleh. Selesai.
Soalnya kan
advokat suka kasih saran yang mempersulit penyidikan. Soal kewajiban advokat
membela klainnya, hari gini cuma dipandang utopia saja. Walhasil advokat juga
sah kalau dicuragai bakal memberikan celah-celah hukum yang dapat menjadi
penolong tersangka. Advokat itu seakan moster di sisi penjahat.
Jadi gak
boleh mendampingi klain di KPK. Gak ada urusan SOP dapat mengalahkan UU
melanggar hukum atau tidak. Malah, konon kabarnya, Kejaksaan juga bakal
menerapkan aturan yang sama dengan KPK. Kalau di KPK boleh advokat tidak dapat
mendampingi klain, kenapa kejaksaan gak boleh? Soalnya advokatnya gak perlu
perlu ditanya, apalagi diminta pendapatnya , lebih lagi persetujuannya.
Advokat
aparat penegak hukum kasta terbawah, gak perlu diperhatikan keberadaannya.
Boleh diabaikan.
Advokat
menurut UU Advokat, punya hak imunitas, khususnya waktu membela klainnya.
Tapi dalam
prakteknya, hak imunitas ini boro-boro
dihormati, diakui oleh sesama aparat penegak hukum juga tidak. Memang kalau hak imunitas yang diberikan oleh
UU disingkirkan, para advokat mau apa? Bisa apa?
Terkait ini
tak tik dan strategi membela klain, dianggap omong kosong saja. Upaya semacam
itu banyak dimaknai advokat “memghalang-halangi” atau “menghambat” penegakkan
hukum.
Jadi kalau
advokat punya tak tik dan strategi membela klain, langsung dituding advokat
melakukan kejahatan menghambat atau menghalangi penegakan hukum.
Pekerjaan
advokat yang mungkin mendapat “dukungan” dari sesama aparat penegak hukum,
paling jadi “markus” alias makelar kasus.
Menghubungi
polisi, jalsa dan atau hakim dengan klain, dan mengatur berapa biaya yang
ditentukan. Itu pun masih dengan satu kecurigaan, biaya-biaya itu sudah di markup oleh advokat.
Bukankah stigmanya mana ada advokat yang jujur. Itu capnya.
Aneh bin
ajaibnya, para advokat pun relatif tidak ada yang “protes,” konon lagi
“berontak” pada keadaan seperti ini Para advokat lebih suka mengurus dan
menambah jumlah anggota organisasinya.
Memang
sesama organisasi advokat sedang dibiarkan saling cakar. Saat ini semakin banyak saja organisasi
advokat. Mereka membuat semakin mudah menjadi advokat. Setidaknya saat ada 40
organisasi advokat, dan akan semakin banyak lagi. Makanya lantaran sibuk
mempersoalkan urusan internal organisasi, advokat sulit membela sesama advokat
yang sedang dikriminalkan, Advokat, oh advokat.* (Sumber : Jaringan Media Siber
Indonesia).
Editor : Aan