Bukhori, M.Pd Wakil Ketua Bid Kaderisasi GP Ansor Kalbar |
KALBARNEWS.CO.ID (PONTIANAK) – Pengurus Wilayah (PW) Gerakan Pemuda (GP) Ansor Kalimantan Barat bekerja sama dengan Yayasan Penelitian dan Pengamalan Pancasila Kalimantan Barat laksanakan diskusi Mahasantri Mengaji Ke-2 dengan tema “Relasi Agama, Negara dan Pancasila” melalui aplikasi Zoom Meeting, Senin (25/10/2021).
Hadir sebagai
pemateri diskusi Mahasantri Mengaji Bukhori, M.Pd Wakil Kepala Bidang
Kaderisasi Pimpinan Wilayah Gerakan Pemuda Ansor Provinsi Kalimantan Barat,
dalam pemaparannya secara umum, ada tiga paradigma utama relasi antara agama
dan negara yakni Sekuleristik, Formalistik, dan Substantivis.
Menurutnya
paradigma sukeleristik menitikberatkan pada pemisahan antara pemilahan bipolar
antara urusan agama dan negara yang masing-masing memiliki wilayahnya sendiri.
Agama berkenaan dengan persoalan-peroslan yang menyangkut personal seseorang
dimana negara tidak perlu ikut campur dalam urusan tersebut. Dalam sejarah
Islam, Turki menjadi salah satu contoh negara yang menerapkan paradigma
sukeliristik ini.
Sedangkan
paradigma formalistik menempatkan agama sebagai plartform resmi dalam kehidupan
bernegara dengan kata lain agama tidak bisa dipisahkan dari negara. Dalam
konteks Islam seringkali dikenal istilah “Inna al-Islam Din Wa ad-daulah”
dimana menurutnya Islam juga berbicara tidak hanya urusan agama tetapi juga
urusan negara.
Dengan kata
lain, negara menurut paradigma ini harus berlandaskan agama. Dalam
konteks Islam, paradigma ini sering dipopulerkan oleh kelompok-kelompok
trans-nasional yang mengusung konsep formalisasi syariat Islam.
Sedangkan
paradigma Substantivis memandang bahwa relasi agama dan negara bersifat
simbiosis mutualistik yakni hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara keduanya.
Menurutnya,
negara dalam paradigma ini nilai-nilai agama hendaknya harus tercermin dalam
kehidupan bernegara. Dalam konteks Islam, paradigma ini dianut salah satunya
oleh Negara Indonesia.
“Para Ulama
Islam sepakat bahwa dalam Islam, sistem pemerintahan itu dipandang sebagai
sarana (Wasilah) dalam mencapai kemaslahatan. Dalam Islam tidak ditemukan
dalail-dalil Qat’Iy yang menyebutkan secara jelas mengenai sistem dan bentuk
pemerintahan tertentu. Sehingga, manusia diberikan kewenangan untuk menentukan
pola mana yang cocok sesuai dengan Maqasid Syariat yakni tujuan-tujuan dalam
syariat,” Ujarnya yang juga merupakan Kaprodi Ilmu al-Quran dan Tafsir ini.
Oleh sebab
itu, terkait konsep politik Islam dalam konteks hukum Islam masuk dalam Fiqih
Muammalah (Hukum Sosial) yakni Fiqih Siyasah (Fiqih Politik).
Dalam
konteks Islam, tujuan bernegara itu didasarkan pada Maqasid Syariah yakni Hifz
Aql (Terpeliharanya Akal), Hifz Din (terpeliharanya agama), Hifz Maal
(Terpeliharanya Harta), Hifz Nafs (Terpeliharanya Jiwa), serta Hifz Nasl
(terpeliharanya keturunan). Selama negara masih mengayomi kelima hal itu maka
apapun bentuk pemerintahannya itu sudah sejalan dengan dengan konsep Islam.
“Menurut
al-Mawardi dalam kitab al-Ahkam ash-Shulthaniyah, setidaknya ada dua fungsi
utama negara yakni Hirasatu ad-Din (menjaga agama) serta Siyasatu ad-Dunya
(mengatur kehidupan dunia),” jelasnya.
Dalam
konteks Indonesia negara terlibat aktif menjaga kebebasan beragama bagi para pemeluknya.
Selai itu negara juga menjamin kehidupan warga negaranya melalui peningkatan
kualitas ekonomi dan pendidikan.
Dalam
diskusi tersebut, hadir pula Dr. Muhammad Syaifullah, M.Pd serta Dr. Basuki
Wibowo, M.Pd selaku akademisi IKIP PGRI Pontianak yang menjadi narasumber pada
kegiatan tersebut. Kegiaatan ini didukung oleh LTN PWNU Kalbar, Pengurus
Komisariat PMII IKIP PGRI Pontianak, SAPMA Komisariat IKIP PGRI Pontianak serta
Rumah Dialog Nusantara. (fauzi/tim liputan).
Editor : Aan