Pengamat Kepolisian, Irjen Pol Purn Sisno Adiwinoto |
KALBARNEWS.CO.ID (JAKARTA) – Terungkapnya kejahatan penggunaan alat rapid test yang digunakan kembali oleh oknum petugas Kimia Farma yang berhasil diungkap Polri di Bandara Sukarno Hatta dan bandara Kualanamu Medan baru-baru ini perlu penanganan serius.
Hal itu
diungkapkan Pengamat Kepolisian, Irjen Pol Purn Sisno Adiwinoto, Ia mengatakan perlu
penindakan tegas terhadap kejahatan penggunaan alat rapid tes bekas, kejahatan
biasa yang dampaknya sangat serius
Bahwa
kejahatan yang sekalipun tergolong kejahatan biasa, namun apabila dampak yang
ditimbulkannya berpotensi mengakibatkan kerugian materi dan korban jiwa baik
secara kualitatif maupun kuantitatif, tentu menarik perhatian masyarakat yang
umumnya menuntut agar keadilan ditegakan secara optimal melalui pemberian sanksi yang berat sepadan dengan perbuatan
yang dilakukan para pelakunya.
Terkait
dengan kasus tersebut, konfrensi Pers Polri yang telah menjelaskan tentang
kegiatan penegakan hukum yang dilakukan Polri baik dari aspek modus operandinya
maupun latar belakang pelakunya, telah mendapatkan tanggapan yang positif baik
dari masyarakat luas maupun pemerintah.
“Namun di
sisi lain muncul kesan adanya ketidak-adilan dalam penanganan kasus ini karena
para pelakunya, hanya diancam hukuman maksimal 6 tahun, bahkan ada yang
berpendapat seharusnya para pelakunya dikenakan sanksi hukuman sepuluh tahun
penjara atau penjara seumur hidup karena akibat yang ditimbulkannya dapat
membahayakan jiwa manusia dan berpotensi menularkan virus Covid 19 secara
langsung,” terang Irjen Pol Purn Sisno Adiwinoto.
Irjen Pol
Purn Sisno Adiwinoto menjelaskan sesuai semangat POLRI PRESISI, maka dalam
melakukan tindakan hukum terhadap para pelakunya, dan yang harus dilakukan
Polri adalah mengungkap jaringan pelaku sampai tuntas ke akar-akarnya. jangan
hanya pelaku tingkat pelaksana bawahnya saja tapi harus sampai pada pelaku
utama (master mind) nya, termasuk menelusuri aliran dana hasil kejahatannya
melalui TPPU untuk menciptakan efek jera yang deteren.
Selain itu
perlu dijatuhkan Vonis yang dapat menciptakan efek jera kepada para pelaku
sesuai asas "Salus populi suprema lex esto" (keselamatan masyarakat
adalah hukum tertinggi) yang dapat menjadi pertimbangan bagi hakim dalam
memutuskan berat ringannya vonis di pengadilan berdasarkan mensrea (niat) dan
kepedulian para pelakunya terhadap akibat yg ditimbulkan bagi keselamatan jiwa
para korbannya.
Menggunakan
rapid tes antigen bekas dapat berakibat fatal bagi masyarakat, apalagi lingkup
distribusinya yang sangat luas, sehingga pelakunya seharusnya mendapatkan
hukuman yang maksimal. Dengan demikian tuntutan rasa keadilan bagi masyarakat
akan dapat terpenuhi, selain untuk menimbulkan
efek deteren yang kuat bagi calon pelaku baru lainnya untuk memcegah perbuatan
yang serupa.
Untuk itu
sebaiknya Polri bertindak tegas dan keras terhadap para pelaku kejahatan berat
tersebut yang telah melakukan pemalsuan peralatan test antigen Covid-19, agar
dapat menunjukkan kepada masyarakat bahwa peran Polri sebagai penegak hukum
yang berkeadilan, memberi rasa aman dan mengayomi masyarakat dapat diwujudkan.
Tentunya
proses penanganan perkara yang dilakukan oleh Polri akan sempurna apabila pada
akhirnya pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal berdasarkan ketentuan hukum
yang berlaku.
Namun
demikian, untuk dapat menentukan vonis
yang setimpal kepada para pelakunya adalah merupakan ranah penuntut umum dan
hakim, karena dalam Criminal Justice System ada Institusi selain Polri yaitu Kejaksaan dan Kehakiman. Hakimlah
yang pada akhirnya memiliki kewenangan untuk menjatuhkan hukuman yang serimpal
kepada para pelakunya.
“Kita semua
berharap agar “asas Salus populi suprema lex esto, keselamatan masyarakat
adalah hukum tertinggi" dapat menjadi pedoman dalam membuat sebuah
keputusan hukum,” tegas Irjen Pol Purn Sisno Adiwinoto
Selain itu,
dari aspek normatif penggunaan peralatan rapid test Antigen bekas yang
dilakukan petugas Kimia Farma baik di Bandara Kualanamu, Sumatera Utara maupun
Bandara Soekarno Hatta dapat dikenakan
Undang-undang kesehatan dengan ancaman hukuman 10 tahun atau
Undang-undang perlindungan konsumen dengan ancaman hukuman 5 tahun.
Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang mengatur larangan memproduksi atau
mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar
dan/atau persyaratan keamanan khasiat atau kemanfaatan dan mutu dengan ancaman
pidana 10 tahun.
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang mengatur larangan bagi
pelaku usaha memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang
tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dalam
ketentuan perundang-undangan dengan ancaman pidana 5 tahun.
Pengenaan
sanksi kumulatif yang berdasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum tersebut akan dapat
memberikan sanksi yang setimpal bagi para pelakunya. Kini saatnya bagi aparat
penegak hukum untuk mencegah agar kejadian serupa tidak terjadi lagi diseluruh
Indonesia. (Sumber : IJP Purn Drs Sisno Adiwinoto MM./Pengamat Kepolisian,
Anggota ISPPI, Penasihat KBPP Polri, Ketua Penasihat Ahli Kapolri).
Editor : Ej