KALBARNEWS.CO.ID (KUBU RAYA) – Program pemberdayaan masyarakat dalam pencegahan kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Kubu Raya mulai membuahkan hasil. Dalam kurun 2020, karhutla di Kubu Raya terbilang sangat minim.
Bupati Kubu Raya Muda Mahendrawan menyebut hal itu antara lain disebabkan mulai masifnya kesadaran kolektif masyarakat di desa-desa. Ia menilai hal tersebut tak lepas dari upaya berbagai pihak dalam mengedukasi dan melibatkan masyarakat pada pencegahan karhutla.
“Karena
edukasi yang diberikan dari berbagai pihak terkait seperti akademisi,
organisasi nonpemerintah atau NGO, dan penguatan-penguatan dari pemerintah
sendiri mulai tingkat pusat, provinsi, kabupaten, hingga desa,” ujar Muda
Mahendrawan di Sungai Raya.
Muda
menyebut pemerintah desa juga punya peran strategis dalam upaya pencegahan
karhutla. Sebab pemerintah desa bersama masyarakatnya menjadi pihak yang paling
dekat dengan lokasi di mana karhutla biasa terjadi. Sehingga pemetaan yang
dilakukan desa terkait ancaman karhutla lebih tepat.
“Mereka
sudah berusaha menavigasi dan memitigasinya. Bagaimana langkah-langkah
persiapannya sudah dikepung bersama, termasuk dengan unsur TNI, kepolisian, dan
otoritas lainnya. Kita melihat bahwa navigasi itu sudah komprehensif,”
tuturnya.
Ia
menjelaskan keluarga di rumah tangga-rumah tangga juga punya kontribusi dalam
upaya pencegahan karhutla. Yakni melalui pemanfaatan lahan-lahan tidur sehingga
menutup ruang terjadinya karhutla. Hal itu dilakukan warga karena adanya
perubahan perspektif dalam menyikapi kondisi lahan gambut. Di mana sebelumnya
gambut kerap dipersepsikan sebagai kondisi tanah yang sulit diolah.
“Kita ubah
perspektifnya bahwa gambut itu bukan kutukan tapi justru berkah. Karena dari
dulu perspektifnya bahwa gambut itu berat. Namun setelah diedukasi dengan
banyak cara bahwa gambut bisa diolah dengan baik, bisa menghasilkan
tanaman-tanaman produksi dan punya nilai pemberdayaan ekonomi rumah tangga,
maka optimisme pun muncul,” jelasnya.
Terkait
peran korporasi atau perusahaan dalam penanganan karhutla, Muda mengatakan hal
itu telah menjadi bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan. Sebab karhutla
punya dampak serius pada banyak sektor kehidupan, termasuk yang berkaitan
dengan perusahaan. Mulai dari dampak sosial, kesehatan, ekologis, hingga
ekonomi. Dan berbagai dampak tersebut juga berpotensi merugikan perusahaan yang
ada.
“Karena
masyarakat terganggu dan menjadi ancaman perusahaan terkait stabilitas. Maka
kita ajak perusahaan semua untuk melihatnya dalam perspektif yang sama, yaitu
tanggung jawab sosial perusahaan. Artinya melakukan langkah-langkah mitigasi
itu perlu pelibatan masyarakat yang ada dipandang sekaligus sebagai langkah CSR
untuk pemberdayaan dan penguatannya,” jelasnya.
Adapun peran
pemerintah daerah, lanjutnya, dilakukan dengan membuat masyarakat mengisi
lahan-lahan yang ada dengan berbagai kegiatan produktif. Sehingga bisa
sekaligus menjadi upaya mitigasi bencana karhutla.
“Misalnya
program telur ayam untuk ibu hamil dan PAUD. Masyarakat memelihara ayam dan menanam
jagung di lahan yang ada. Jadi output-nya buat kesehatan dan pendidikan dan
tanam jagung sekaligus untuk mitigasi bencana. Kemudian telurnya dibeli
puskesmas dan kelembagan pendidikan di bawah sebagai makanan tambahan ibu hamil
dan anak-anak,” terangnya.
Kepala
Bidang Perlindungan Konservasi SDA dan Ekosistem Dinas Lingkungan Hidup
Provinsi Kalimantan Barat Marcelinus Rudy mengatakan hampir sepanjang 2020
karhutla nyaris tidak ada. Jika pun ada, maka terjadi dalam skala-skala kecil.
Menurut dia, di Kalimantan Barat karhutla memang sulit dihindari. Karena secara
tradisi masyarakat masih cenderung membuka areal pertanian dengan menggunakan
api. Pembukaan secara mekanis belum dapat dilakukan oleh warga sebab berbiaya
mahal.
“Di 2020 ini
memang kejadian kebakaran minim. Di samping kondisi cuaca yang mendukung,
walaupun kemarau tapi kemaraunya basah, juga program-program dari pemerintah
daerah yang gencar karena belajar dari kejadian karhutla di 2019. Dari awal
kita selalu ingatkan masyarakat agar hati-hati menggunakan api dan sedapat
mungkin ketika membuka lahan tidak menggunakan api,” paparnya.
Marcelinus
mengatakan kejadian karhutla 2019 telah menyadarkan masyarakat untuk lebih
terkendali dalam membuka lahan. Di mana saat ini lahan dibuka dengan terlebih dahulu
membuat sekat-sekat bakar dan melapor kepada aparat setempat. Sehingga kemudian
warga bersama kepala desa akan bersama-sama menjaga areal yang dibakar agar
tidak merembet ke areal lainnya. Ia mengungkapkan adanya Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang lingkungan hidup memungkinkan masyarakat untuk membakar
maksimal dua hektare lahan. Hal itu diperjelas dengan Peraturan Gubernur
Kalimantan Barat Nomor 103 Tahun 2020 tentang pembukaan areal lahan pertanian
berbasis kearifan lokal. Hal itu bertujuan melindungi masyarakat yang di
daerah-daerah pedalaman masih membuka areal pertanian dengan sistem bakar.
“Nah, ini
perlu dilindungi. Kenapa? Karena banyak kejadian di 2019 lalu ketika mereka
buka lahan terus datang aparat mereka malah lari. Akibatnya api justru tidak
terkendali. Dengan adanya peraturan gubernur ini, masyarakat membuka arealnya
dengan melapor dulu ke aparat desa setempat. Aparat kepolisian juga akan turun
menjaga sehingga api bisa terkendali,” terangnya.
Ia menilai
hadirnya peraturan gubernur membuat masyarakat menjadi lebih sadar. Tidak lagi
membakar lahan secara diam-diam. Sehingga pembakaran pun dapat terkendali.
“Peraturan
gubernur ini pada 2021 nanti akan dijadikan peraturan daerah. Mudah-mudahan
2021 bisa ketuk palu untuk melindungi masyarakat lokal yang masih tradisional
ini,” harapnya.
Marcelinus
menyebut minimnya kejadian karhutla juga tak terlepas dari sikap tegas
pemerintah daerah terhadap korporasi yang melakukan pembakaran lahan. Di mana pada 2019 lalu ada 157 perusahaan
yang terdiri atas 109 perusahaan perkebunan dan 48 perusahaan kehutanan yang
terkena sanksi.
“Berkat
adanya sanksi dari gubernur, pada 2020 ini perusahaan-perusahaan yang
beraktivitas di kalbar sudah sangat peduli dengan isu karhutla. Di
perusahaan-perusahaan kehutanan sarana prasarana pengendalian karhutlanya sudah
dipenuhi sesuai aturan menteri. Begitu juga di perusahaan perkebunan sarprasnya
juga dilengkapi,” jelasnya.
Ia
menambahkan, ada satu kendala yang masih dihadapi khususnya oleh perusahaan
perkebunan, yakni pembangunan menara api dan embung air yang dipersyaratkan
untuk setiap 500 hektare lahan.
“Nah, ini
yang kadang masih belum bisa dipenuhi oleh perusahaan perkebunan meski sudah
banyak juga yang melakukannya. Sehingga memang di setiap perusahaan sudah ada
brigade-brigade pengendalian kebakarannya. Baik di perusahaan perkebunan maupun
kehutanan. Ada regu inti dan regu pendukung yang terdiri atas karyawan
perusahaan yang memang sudah dilatih,” ungkapnya. (tim liputan).
Editor : Aan