![]() |
| Bayu, M.Pd (Dosen Universitas Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas (UNISSAS) |
KALBARNEWS.CO.ID (SAMBAS) - Dalam beberapa tahun terakhir, dunia pendidikan telah mengalami perubahan yang sangat cepat. Teknologi digital, kecerdasan buatan, kurikulum baru, hingga pergeseran budaya belajar generasi sekarang menjadi tantangan yang tidak dapat dihindari. Guru tidak lagi hanya berperan sebagai penyampai pelajaran, tetapi sebagai fasilitator, pendamping, dan pembimbing karakter di tengah derasnya arus informasi. Perubahan zaman ini menuntut adaptasi, kreativitas, dan kemampuan literasi digital yang semakin tinggi dari seorang pendidik.
Namun di balik inovasi dan transformasi pembelajaran, ada satu nilai yang tidak boleh bergeser: integritas guru. Ketika metode mengajar, perangkat pembelajaran, dan sistem penilaian silih berganti, maka kejujuran, profesionalitas, dan moralitas guru harus tetap teguh. Di era di mana pengetahuan dapat dicari hanya dengan mengetik di mesin pencari, keberadaan guru bukan hanya untuk memberikan jawaban, tetapi menjadi teladan dalam proses mencari jawaban.
Saat ini kita menyaksikan tantangan moral dalam dunia pendidikan semakin nyata. Mulai dari praktik plagiarisme akademik, budaya instan dalam belajar, hingga perilaku tidak etis dalam penilaian dan evaluasi. Sebagian siswa kini lebih tertarik mencari nilai daripada proses. Sebagian orang tua pun lebih menuntut hasil daripada menghargai perjuangan. Di tengah kondisi seperti ini, guru harus berdiri sebagai pembawa cahaya kebenaran dan kedisiplinan.
Guru yang berintegritas bukan hanya guru yang pintar, tetapi guru yang mampu memegang amanah pendidikan dengan penuh tanggung jawab. Mereka tidak tergoda memberikan nilai secara tidak proporsional demi pujian atau tekanan. Mereka tidak berhenti mengajar hanya karena materi sulit atau fasilitas kurang mendukung. Mereka tetap mengedepankan etika meski sistem sering kali tidak berpihak pada perjuangan mereka.
Ironisnya, di sejumlah daerah guru masih berhadapan dengan realitas yang tidak ideal: keterbatasan sarana, minimnya pelatihan berkelanjutan, hingga status kesejahteraan yang belum merata. Tapi di antara keterbatasan itu, tak sedikit guru yang tetap setia menjalankan tugasnya dengan sepenuh hati. Mereka mengajar sambil belajar, membimbing sambil mendidik diri sendiri agar tetap relevan dengan zaman.
Generasi hari ini hidup di era layar dan algoritma. Mereka membutuhkan guru yang bukan hanya mampu mengajar, tetapi mendampingi, memahami, dan mengarahkan mereka pada penggunaan teknologi dengan bijak. Guru bukan lagi pusat pengetahuan, tetapi pusat nilai. Karena pada akhirnya, karakter tidak bisa diajarkan mesin, tetapi membutuhkan sentuhan manusia sentuhan seorang pendidik.
Momentum Hari Guru seharusnya tidak sekadar upacara, potret formal, atau sekadar ucapan seremonial. Ini adalah waktu untuk merenung: apakah guru kita sudah didukung? Apakah sistem pendidikan memberi ruang martabat dan profesionalitas bagi guru? Apakah masyarakat sudah menempatkan guru pada posisi terhormat sebagaimana mestinya?
Jika bangsa ini ingin menghasilkan generasi unggul, maka kita harus mulai dari memperkuat posisi gurunya. Memberikan pelatihan berkualitas, memastikan kesejahteraan, menyediakan ruang kreativitas, dan menempatkan guru dalam posisi terhormat bukanlah pilihan melainkan keharusan.
Pada akhirnya, perubahan zaman mungkin tak bisa dihentikan, tetapi integritas guru harus tetap kokoh. Selama guru masih menjadi sumber teladan, maka pendidikan akan tetap hidup, dan masa depan bangsa masih memiliki harapan. Karena sejatinya, masa depan suatu bangsa tidak hanya ditentukan oleh siapa yang memimpin hari ini, tetapi oleh siapa yang mendidik generasi yang akan memimpin esok hari.
Penulis : Bayu, M.Pd (Dosen Universitas Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas (UNISSAS)
