HAM di Dunia Digital Jadi Tanggung Jawab Baru Sejak Usia Dini

Editor: Redaksi author photo

Binardi Rizi, S.Kom.ASN Kementerian HAM Kalimantan Barat
KALBARNEWS.CO.ID (PONTIANAK) Di tengah perkembangan teknologi yang semakin pesat, ruang digital telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, termasuk bagi anak-anak dan remaja. 


Interaksi mereka tidak lagi terbatas pada lingkungan fisik seperti sekolah atau rumah, melainkan meluas hingga ke dunia maya melalui media sosial, aplikasi percakapan, dan berbagai platform digital lainnya. Perubahan pola interaksi ini membawa banyak manfaat, namun juga menghadirkan potensi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang sering terjadi tanpa disadari.


Selama ini, pelanggaran HAM lebih banyak dipahami sebagai tindakan yang bersifat fisik atau terjadi secara langsung. Namun, dalam realitanya saat ini, pelanggaran HAM juga dapat terjadi di ruang digital, seperti perundungan siber, ujaran kebencian, atau tindakan merendahkan martabat orang lain melalui unggahan atau komentar. 


Ironisnya, sebagian besar pelanggaran tersebut justru dilakukan oleh anak-anak yang belum memahami bahwa interaksi digital juga menuntut penghormatan terhadap martabat manusia.


Anak-anak di ruang digital memiliki dua kedudukan sekaligus. Pertama, mereka adalah kelompok yang perlu mendapat perlindungan. Mereka memiliki hak atas privasi, serta bebas dari segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan di ruang siber. 


Kedua, mereka dapat menjadi pelaku dugaan pelanggaran HAM, meskipun dalam banyak kasus dilakukan tanpa niat jahat atau tanpa pemahaman yang memadai.


Tindakan seperti menyebarkan foto teman tanpa persetujuan, membuat meme dari wajah seseorang, memberikan komentar merendahkan, atau menyebarkan informasi pribadi orang lain sering kali dianggap sebagai hal biasa di kalangan anak muda. 


Padahal, tindakan tersebut merupakan bentuk pelanggaran hak atas martabat, reputasi, dan privasi. Kurangnya edukasi tentang HAM di dunia digital menyebabkan anak-anak tidak menyadari konsekuensi dari setiap tindakan mereka di dunia maya.


Terdapat beberapa faktor yang membuat anak-anak rentan melakukan pelanggaran tanpa kesadaran etis:


Pertama, sifat anonim dan jarak emosional di internet. Ketidakhadiran interaksi tatap muka membuat empati menurun. Anak-anak tidak melihat reaksi atau perasaan orang lain ketika mereka menulis komentar atau membagikan sesuatu. 


Kedua, budaya digital yang mengutamakan popularitas. Budaya “viral”, “lucu”, dan “ramai” sering kali menjadi tolok ukur yang lebih penting daripada etika dan kepatuhan terhadap nilai kemanusiaan. Ketiga, minimnya edukasi HAM dalam konteks digital. 


Sekolah, keluarga, maupun lingkungan masyarakat lebih fokus pada etika di dunia nyata, sementara nilai kemanusiaan yang sama juga harus diterapkan di ruang virtual. 


Keempat, normalisasi perilaku negatif di internet. Anak-anak sering melihat orang dewasa bertindak serupa di ruang digital, sehingga menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar atau boleh ditiru.


Di ranah digital, identitas seseorang bisa rusak hanya karena satu unggahan. Reputasi bisa hancur dalam hitungan menit. Privasi bisa hilang hanya karena satu foto yang disebarkan tanpa izin. Semua ini adalah bagian dari HAM, tetapi kerap dipandang sepele oleh anak-anak dan remaja.


Penting untuk ditegaskan bahwa melanggar privasi orang lain, menyudutkan seseorang di media sosial, atau menyebarkan ujaran kebencian adalah pelanggaran HAM yang nyata. Dan dampaknya tidak kalah serius dibanding kekerasan fisik di dunia nyata. 


Trauma mental, tekanan psikologis, hingga kehancuran masa depan dapat terjadi. Karena itu, pendidikan HAM sejak dini harus diberikan bukan hanya untuk melindungi anak dari ancaman dunia digital, tetapi agar mereka tidak tumbuh menjadi generasi yang “terbiasa” melanggar hak orang lain.


Ruang digital membutuhkan warga yang tidak hanya cakap teknologi, tetapi juga memiliki integritas, empati, dan kesadaran kemanusiaan. Mengajarkan HAM digital kepada anak-anak berarti membekali mereka untuk menjadi generasi yang bertanggung jawab, yang mampu menghormati orang lain meski hanya berinteraksi melalui layar.


Anak-anak perlu diarahkan untuk menjadi “pahlawan digital” yaitu mereka yang menjaga ruang digital tetap aman, positif, dan menghargai martabat sesama. 


Dengan pendidikan HAM yang komprehensif dan dimulai sejak dini, kita dapat mencegah mereka menjadi pelaku pelanggaran, dan pada saat yang sama melindungi mereka dari berbagai risiko di dunia maya.


Untuk mencegah lahirnya perilaku yang merugikan orang lain di ruang digital, pendidikan HAM bagi anak-anak perlu diberikan sejak dini. Pendidikan ini tidak hanya menekankan apa yang tidak boleh dilakukan, tetapi juga menanamkan kesadaran bahwa setiap tindakan digital memiliki dampak nyata pada kehidupan seseorang.



Pada akhirnya, membangun ruang digital yang lebih manusiawi adalah tanggung jawab bersama. Namun tanggung jawab itu harus dimulai dari langkah paling dasar: mengajarkan anak untuk tetap menjaga nilai-nilai kemanusiaan, di mana pun mereka berada termasuk di dunia digital. (Binardi Rizi, S.Kom.ASN Kementerian HAM Kalimantan Barat)


 

 

Share:
Komentar

Berita Terkini