Merdeka Dari Diskriminasi, Merdeka Dari Kekerasan

Editor: Redaksi author photo
Andy Yentriyani (Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan) Periode Tahun 2020-2025).

KALBARNEWS.CO.ID (PONTIANAK) - Salah satu nilai penting di dalam Konstitusi kita adalah prinsip non diskriminasi. Ini antara lain tampak dalam pernyataan "Melindungi Segenap Bangsa Indonesia" di teks pembukaan UUD NKRI Tahun 1945, yang merupakan pernyataan visi misi kemerdekaan dan pembentukan pemerintahan Indonesia. Ya, untuk segenap bangsa Indonesia, bukan sekalangan kelompok atau sebagian orang.

 

Namun upaya menghapus norma dan praktik diskriminasi dan kekerasan masih menjadi bagian dari perjuangan kita. Termasuk diantaranya diskriminasi berbasis gender, yang berangkat dari konstruksi masyarakat yang membedakan hirarki posisi laki-laki dan perempuan.

 

Karenanya tidak heran perdebatan boleh tidak perempuan jadi pemimpin masih terus didegungkan. Dalam politik praktis, tentangan pada kepemimpinan perempuan melampaui penilaian kemampuan karena hanya menjadi alat untuk perebutan kuasa. Politik praktis ini bisa ada di banyak ruang, bahkan sekedar pemilihan ketua wadah alumni, misalnya.

 

Demikian juga untuk bebas dari kekerasan, apalagi kekerasan seksual. Kondisi merdeka ini sangat sulit dinikmati oleh perempuan yang lebih sering ditempatkan sebagai subordinat dan/atau objek seksual. Ada laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual namun jumlahnya tak sebanding dengan yang perempuan.

 

Tindak kekerasan seksual, khususnya pelecehan seksual terjadi di banyak kesempatan, seperti di lembaga pendidikan, tempat kerja dan ruang publik lainnya. Bentuknya beragam. Ada yang non fisik seperti gurauan, komentar dan siulan, atau mengintip, menguntit dan juga dengan menggunakan media elektronik. Juga dalam bentuk fisik, seperti rabaan, remasan, pemaksaan ciuman atau berbagai bentuk kontak fisik lainnya yang membuat korban merasa tidak nyaman dan direndahkan.

 

Tindakan ini lebih gampang dilakukan oleh mereka yang meyakini kalau perbuatan itu akan dinormalisasi. Artinya, lingkungan sekitar akan menganggap hal yang dilakukan itu biasa atau turut menyudutkan korban sebagai pemicu tindakan, baik karena busana, gerak-gerik atau lainnya. Juga, jika pelaku punya relasi kuasa yang lebih besar sehingga orang akan tidak percaya atau segan untuk mengambil sikap untuk memutus impunitas pelaku.

 

Dalam situasi ini, korban juga akan cenderung membungkam, menghindari pelaku jika dimungkinkan, atau menceritakan ke orang-orang terdekat yang dapat ia yakini. Ada juga yang melapor, tetapi terutama ini jika korban berdaya, memiliki pengetahuan cukup mengenai ke mana laporan harus dilakukan dan mempunyai dukungan dan akses untuk melakukannya.

 

Jika normalisasi pelecehan seksual terjadi di dalam organisasi maka ia akan menjadi lingkungan yang tidak sehat. Ada anggota yang terus merasa tak nyaman dan was-was,  menarik diri karena takut berjumpa dengan pelaku, atau menjadi rumor berkepanjangan.

 

Mengingat situasi ini dapat terjadi di mana saja, saya ingin menggunakan kesempatan ini untuk mengajak warga Kalbar untuk lebih waspada untuk memastikan peristiwa serupa ini tidak terjadi. Jika pun sudah terjadi, maka perlu kita pastikan tidak berulang kembali.

 

Kita bisa lakukan dengan banyak cara. Salah satunya adalah dengan mengedukasi diri untuk dapat turut mengenali, mencegah dan menangani diskriminasi dan kekerasan seksual.

 

Di semua lembaga,  kita perlu merumuskan kode etik dan mekanisme organisasi yang memungkinkan organisasi kita tumbuh menjadi lingkungan yang nyaman, yang bebas dari diskriminasi dan kekerasan seksual. Di lembaga pendidikan dan tempat kerja, ada aturan menteri yang mewajibkan pengembangan mekanisme pencegahan dan penanganan diskriminasi dan kekerasan, sebagai turunan dari UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

 

UU ini juga mengatur sejumlah kewajiban untuk dipenuhi oleh pemerintah daerah di  tingkat provinsi dan kota/kabupaten guna memutus impunitas, memulihkan korban dan mencegah tindakan kembali berulang. Warga Kalbar dapat turut mendorong pemenuhan kewajiban ini, bahkan dimulai sejak tingkat desa.

 

Lingkungan yang nyaman dan aman, bebas dari diskriminasi dan kekerasan seksual, adalah mimpi kemerdekaan dan janji konstitusi yang dapat kita bersama wujudkan.


Dirgahayu RI ke-80, selamat Hari Konstitusi

Penulis : Andy Yentriyani (Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Pada Periode Tahun 2020-2025).

Share:
Komentar

Berita Terkini