KALBARNEWS.CO.ID (PONTIANAK) - Kalian mau percaya or not, sile ya, wak. Sekarang, duduk yang rapi, tangan di atas meja, dan segelas kopi tanpa gula, siapkan. Ini klarifikasi istri sang menteri yang kemarin ramai di-ghibah-in sejagat nusantara. Klarifikasi Sang Istri Menteri Nyatakan Tak Gunakan Uang Negara
Sebuah panggung klarifikasi digelar di hadapan semesta birokrasi. Di tengah sorotan lampu yang menyilaukan nurani publik, berdiri sosok Agustina Hastarini, atau nama artinya, Tina Astari, seorang ibu, seorang pendamping menteri, dan tokoh protagonis dalam saga paling epik yang pernah menimpa sebuah festival anak.
Ia tidak datang dengan rombongan pejabat, tidak membawa koper penuh amplop negara. Ia hanya membawa satu hal, klarifikasi. Seperti Socrates di hadapan pengadilan Athena, Tina melantunkan kebenaran dengan nada yang menggetarkan lembaran etika publik.
Perjalanan ke Eropa bukan pelesiran dinas, katanya. Bukan tur diplomatik yang dibalut batik. Ia pergi mendampingi anaknya yang berusia dua belas tahun menari di festival budaya Euro Folk 2025, bukan karena status, tapi karena cinta. Cinta seorang ibu yang tak rela sang anak menghadapi panggung internasional sendirian, meski risikonya adalah dicibir semesta netizen dan diseret ke pusaran surat berkop.
Tentang uang? Biaya hotel, tiket, konsumsi, semuanya berasal dari kantong pribadi. Bukan dari anggaran negara, bukan dari laci kementerian, apalagi dari sekre yang gemar mengetik surat sakti. Ia membayar sendiri. Ia terbang lebih awal, tanggal 29 Juni. Sementara surat kementerian bertanggal 30 Juni. Surat itu muncul seperti epilog yang terlambat, menciptakan kerancuan antara realitas dan kebiasaan administratif yang kadang lebih imajinatif dari novel fantasi.
Tina, sang ibu biasa yang kebetulan menjadi istri menteri, mengaku tak tahu-menahu soal surat Kementerian UMKM yang menyulap keberangkatannya jadi misi diplomatik. Ia tidak meminta dibuatkan, tidak menerima fasilitas, tidak membaca satu pun kalimat salam dari kedutaan. Bahkan bisa jadi, ia lebih sibuk mengecek suhu tubuh anaknya ketimbang isi surat dari sekretaris kementerian.
Ketika publik bergemuruh menuntut penjelasan, ketika opini bertarung di medan komentar media sosial, Tina memilih jalan terhormat. Ia menyerahkan seluruh bukti pembayaran kepada suaminya, Maman Abdurrahman, yang kemudian mendatangi KPK bukan sebagai pejabat, tapi sebagai suami yang ingin menjaga nama baik istri dan anaknya. Sebuah aksi yang terasa seperti babak akhir film epik, di mana sang pahlawan bukan membawa senjata, melainkan lembar bukti pembayaran dan kalimat jujur.
Klarifikasi ini bukan sekadar membela diri. Ia adalah puisi yang menyerang absurditas birokrasi. Sebuah pernyataan bahwa tidak semua perjalanan yang melibatkan istri menteri harus diiringi surat dinas dan dukungan dari tujuh kedutaan. Bahwa menjadi keluarga pejabat bukan berarti kehilangan hak untuk menjadi manusia biasa.
Dalam klarifikasinya, Tina telah menciptakan sebuah bab baru dalam filsafat kejujuran birokratik. Bahwa surat yang lahir tanpa sepengetahuan sang subjek bisa menjadi metafora paling dramatis dari institusi yang terlalu percaya pada stempel. Bahwa klarifikasi, di negeri kita, tak pernah cukup hanya satu paragraf. Ia harus menyentuh nurani, mengguncang logika, dan kadang membuat kita tertawa getir karena absurditasnya terlalu nyata.
Begitulah Tina, sang ibu yang berdansa di tengah badai, mengajarkan bahwa kejujuran bisa tetap gemilang, meski di tengah surat berkop yang tersesat.
Di akhir kisah, kita tidak tahu siapa yang menulis surat itu, tapi yang jelas, surat tersebut telah menulis ulang batas antara negara dan keluarga. Klarifikasi pun kini tidak lagi tentang benar atau salah, melainkan tentang siapa yang paling pandai menggunakan metafora kejujuran.
Kita pun belajar satu hal, dalam birokrasi, absurd bukanlah kebetulan, melainkan sistem. Selamat datang di Republik Klarifikasi, tempat di mana etika bergumul dengan eksistensi surat berkop.
#camanewak
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar