Ilmuwan Belanda Menguji Amonia Sebagai Bahan Bakar Laut

Editor: Redaksi author photo

Ilmuwan Belanda Menguji Amonia Sebagai Bahan Bakar Laut
KALBARNEWS.CO.ID (BELANDA)Sekelompok peneliti dari Universitas Amsterdam untuk pertama kalinya dalam sejarah memfokuskan diri pada studi tentang manfaat penggunaan amonia sebagai bahan bakar laut dibandingkan bahan bakar minyak untuk pengiriman barang. Mereka ingin memahami apakah amonia benar-benar dapat menggantikan bahan bakar bunker tradisional.


Organisasi Maritim Internasional (IMO) telah menetapkan sasaran ambisius bagi industri ini: setidaknya 20% penurunan emisi CO2 pada tahun 2030 dan 70% penurunan pada tahun 2040, netralitas karbon pada tahun 2050. 


Pada saat yang sama sekitar 99% bahan bakar laut saat ini dibuat dari bahan baku fosil. Masa pakai satu kapal adalah 25 tahun, oleh karena itu, pengenalan teknologi bebas karbon atau rendah karbon menjadi relevan saat ini.


Amonia dipandang sebagai salah satu bahan bakar potensial untuk beralih ke teknologi "bersih". Berbeda dengan hidrogen, amonia tidak memerlukan penyimpanan pada suhu yang sangat rendah, tidak mengandung karbon, dan sudah diproduksi massal — terutama untuk pupuk. 


Ide penggunaan amonia sebagai bahan bakar bukanlah hal yang baru: pada masa Perang Dunia ke-2, amonia digunakan untuk mengisi bahan bakar bus di Belgia saat terjadi kekurangan minyak. Sejak saat itu, minat terhadap amonia meningkat secara berkala, dan semakin kuat dengan latar belakang tujuan iklim yang diadopsi dalam Perjanjian Iklim Paris.


Namun, amonia memiliki kekurangan yang cukup jelas: bersifat racun, suhu pembakarannya rendah, suhu penyalaan otomatisnya tinggi, dan rentang mudah terbakarnya sangat sempit. Selain itu, zat berbahaya — nitrogen oksida (NOx), nitrogen oksida (N₂O), dan sisa-sisa amonia itu sendiri — dapat masuk ke atmosfer jika pembakarannya tidak sempurna. 


Untuk meningkatkan kinerja pembakarannya, para ilmuwan mengusulkan untuk menggunakan amonia yang dicampur dengan sedikit bahan bakar diesel atau hidrogen dalam skema bahan bakar ganda.


Dalam proses penelitian mereka, para peneliti Belanda mengeksplorasi dua opsi pembangkit listrik on-board yang menggunakan amonia: mesin pembakaran internal, dan kombinasinya dengan sel bahan bakar oksida padat (SOC). 


Mereka membandingkan biaya kepemilikan penuh untuk kendaraan tersebut dengan kendaraan yang menggunakan bahan bakar minyak dengan memperhitungkan biaya pembangunan, biaya bahan bakar, dan biaya perawatan selama 25 tahun pengoperasian.


Hasilnya menunjukkan bahwa bahkan dalam skenario yang paling optimis, yaitu, dengan kinerja mesin yang tinggi (hingga 55%) dan harga amonia yang rendah, biaya kepemilikan kendaraan tersebut akan menjadi 19–25% lebih mahal dibandingkan dengan biaya kepemilikan kendaraan tradisional. 


Alasan utamanya adalah biaya bahan bakar yang tinggi. Pilihan dengan menggunakan sel bahan bakar ternyata bahkan lebih mahal. Sel bahan bakar hanya dapat menjadi hemat biaya jika harga bahan bakar sangat tinggi atau kinerja mesin pembakaran internal buruk. Pada saat yang sama, porsi CAPEX untuk kapal atau tangki bahan bakar ternyata agak kecil: hampir semua kenaikan biaya terkait dengan harga amonia.


Para peneliti menyimpulkan bahwa amonia dapat menjadi alternatif yang kuat untuk bahan bakar minyak hanya dalam dua kondisi: penurunan harga amonia yang signifikan dan penerapan pajak karbon yang tinggi. 


Tanpa subsidi, harga amonia harus di bawah 28 sen per kilo, atau harga bahan bakar minyak harus naik dua kali lipat (hingga USD 1,4 per kilo), tetapi ini hanya mungkin jika pajak karbon sebesar USD 200 per satu ton CO₂.


Oleh karena itu, menurut peneliti Belanda, aplikasi amonia tetap menjadi pilihan dekarbonisasi yang menarik, tetapi penggunaan praktis bahan bakar ini tidak hanya memerlukan terobosan teknologi, tetapi juga regulasi pemerintah yang ketat. (Tim Liputan)

Editor : Aan

Share:
Komentar

Berita Terkini