Rosadi: Hari Kebebasan Pers Di Tengah "Matinya Jurnalisme"

Editor: Redaksi author photo
Ilustrasi Matinya Jurnalisme

KALBARNEWS.CO.ID (PONTIANAK) - Walau sudah lama tak jadi jurnalis, namun jiwa jurnalisme saya masih membara. Jari ini selalu gatal untuk menulis ketimpangan sosial. Zaman sudah berubah, banyak media tutup. Apakah ini gejela "matinya jurnalisme?" Sambil seruput kopi, mari kita bedah Hari Kebebasan Pers.

 

Setiap 3 Mei 2025, Hari Kebebasan Pers. Tapi alih-alih pesta, mari kita kirim karangan bunga. Karena jurnalisme, sahabat kita yang dulu lantang dan tegas, kini telah tiada. Mati pelan-pelan. Tanpa headline. Tanpa breaking news. Tanpa suara sirene. Ia meninggal di antara berkas PHK, memo internal, dan notifikasi "akun ini telah diverifikasi".

 

Jurnalisme bukan dibunuh dalam satu malam. Ia disayat perlahan oleh pisau-pisau halus bernama efisiensi, algoritma, dan self-branding. Siapa butuh media sekarang? Narasumber sudah bisa jadi penyiar, redaktur, editor, sekaligus bintang utama, semua dari satu ringlight dan akun Instagram. Menteri tak perlu wawancara, cukup vlog. Polisi tak perlu konferensi pers, cukup TikTok. Lembaga cukup punya channel YouTube dan admin yang bisa main Canva.

 

Lantas, jurnalis? Mereka jadi pengikut yang memantau akun resmi, menanti rilis, lalu menulis ulang dengan judul yang bisa bersaing dengan konten gosip dan giveaway. Investigasi? Terlalu mahal. Narasi kritis? Tak ada sponsor. Maka kita lihat berita macam, “Anak Kucing Jatuh dari Kasur, Netizen Gemas” dilengkapi galeri dan infografis.

 

Sementara itu, tsunami PHK melanda ruang redaksi. Kompas TV? 150 orang dirumahkan. CNN Indonesia TV? 200 karyawan pulang tanpa naskah perpisahan. MNC Group? 400 jiwa kehilangan ID card redaksi. Republika, TVRI, Viva.co.id, semuanya satu per satu menutup pintu bagi para penjaga kebenaran.

 

Ada yang bilang ini disrupsi digital. Tapi lebih tepatnya ini pembantaian institusional. Dulu, wartawan digadang-gadang sebagai pilar demokrasi. Kini, mereka lebih dekat ke status pengangguran terdidik. Dulu wartawan mengangkat suara rakyat. Kini, mereka malah sibuk memperbaiki CV dan mencari kerja di bidang “content strategy” atau “public relation” bekerja untuk pihak yang dulu mereka kritisi.

 

Ironi? Bukan. Ini tragedi. Tragikomedi malah. Sebab di tengah krisis ini, kita masih merayakan “Hari Kebebasan Pers” seolah semuanya baik-baik saja. Seolah jurnalisme tak sedang diinfus. Padahal, yang bebas sekarang bukanlah pers, tapi personal account. Yang viral bukan kebenaran, tapi siapa yang paling pandai menari dengan nada algoritma.

 

Kita menyaksikan dunia di mana CEO bisa langsung berkhotbah lewat LinkedIn tanpa takut dipelintir wartawan. Di mana bintang sinetron lebih dipercaya sebagai sumber informasi medis. Di mana pejabat menyebut “hoaks” lebih cepat dari media bisa mengecek fakta.

 

Lalu apa kabar jurnalis? Mereka yang tersisa kini harus multitugas, mengetik, mengambil gambar, ngedit, posting, bikin caption, bales komentar, sambil menahan lapar karena honor belum cair. Mereka bukan lagi wartawan, tapi war-tawan yang berperang setiap hari demi bertahan hidup di industri yang bahkan lupa siapa yang dulu membesarkannya.

 

Namun seperti biasa, harapan selalu jadi ending favorit. Masih ada mereka yang menulis demi nurani, bukan trending. Masih ada ruang-ruang kecil di mana jurnalisme belum sepenuhnya padam, media komunitas, blog jujur, akun-akun kecil yang lebih peduli pada fakta dari FYP. Mereka tak besar. Tapi mereka adalah lilin terakhir dalam ruang yang makin gelap.

 

Mari kita rayakan Hari Kebebasan Pers 2025 bukan dengan seremonial, tapi dengan kesadaran, bahwa jika kita tak menjaga jurnalisme hari ini, besok yang akan mati bukan sekadar profesi, tapi kemampuan kita membedakan kebenaran dari kebohongan.

 

Selamat jalan, Jurnalisme. Semoga engkau tidak hanya dikenang sebagai korban zaman, tapi kelak bangkit sebagai suara nurani yang tak bisa dibungkam. #camanewak

 

Penulis : Rosadi Jamani (Ketua Satupena Kalbar)

Share:
Komentar

Berita Terkini