Ketika Bangsa Menolak Membaca Demi Kebahagiaan Instan
KALBARNEWS.CO.ID (PONTIANAK) - Nama akunnya @fenti. Ia berkomentar di tulisan saya berjudul, "Dunia Pendidikan Berduka, 11 Guru PAUD Meninggal." Tulisan ini udah dibaca 4,4 juta. Fenti komen, "makanya anak paud ga usah outingclass jauh" biar sama orgtuanya masing" ajah refresingnya." Ia hanya baca judul, tak baca sampai tuntas. Ia menyangka 11 guru sedang outingclass, padahal sedang takziah. Tak ayal akun Fenti ini diserbu netizen hampir tiga ribu orang. Ia pun dibully habis-habisan. Kadang kasihan juga sih. Apa pointnya? Malas membaca. Hanya baca judul doang. Inilah yang mau saya kupas sambil seruput kopi, wak!
Setiap 17 Mei, langit literasi di Indonesia konon bersinar lebih terang. Konon, ya. Sebab meski Hari Buku Nasional diperingati dengan penuh gegap gempita di jagat maya, dengan spanduk digital, postingan penuh kata mutiara, dan tagar #AkuMembaca, realitasnya buku tetap sepi, tertindih remote TV dan notifikasi dari aplikasi gosip.
Mari kita mulai dari fakta yang menampar peradaban. Berdasarkan data UNESCO, Indonesia pernah menempati posisi ke-60 dari 61 negara dalam hal minat baca. Itu artinya, hanya satu tingkat di atas bangsa yang mungkin sedang sibuk menggali literasi dari batu cadas. Kita harus bangga, karena bangsa ini berhasil menjaga tradisi mulia, mencetak buku tapi tidak membacanya. Koleksi buku dijadikan hiasan dinding, properti foto estetik, bahkan tatakan gelas kopi. Sebuah simbolisme budaya, literasi sebagai dekorasi.
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, berulang tahun di tanggal yang sama. Ia lahir tahun 1980, dan sejak itu ia berdiri megah laksana candi digital, penuh dengan koleksi agung dari para filsuf, penyair, dan pengarang hebat. Namun apa daya, generasi kini lebih mengenal lokasi konser boyband Korea ketimbang lokasi Perpusnas. Jika pun datang, kemungkinan besar karena acara seminar yang menyediakan sertifikat dan konsumsi.
Kita memang hidup di era digital. Buku bisa dibaca dari gawai, dari tablet, dari laptop, bahkan dari kulkas pintar yang entah kenapa bisa koneksi Wi-Fi. Tapi tetap saja, minat baca tenggelam dalam tsunami konten.
Setiap harinya, masyarakat Indonesia lebih memilih menghabiskan rata-rata 8 jam menatap layar, bukan untuk membaca tulisan Rosadi Jamani (sombong amat), melainkan untuk menyimak drama perselingkuhan artis A, skandal selebgram B, dan konten mukbang C yang makan mie pedas level 100 sambil menangis palsu.
Metode read aloud pun kini diperkenalkan. Ini metode membaca keras-keras kepada anak-anak agar mereka tumbuh mencintai literasi. Tapi di lapangan, yang terjadi justru orang tua yang read aloud ke anak, lalu anak read allowed untuk main game karena katanya, “udah bosan dengar cerita kancil.” Kancil pun menyerah, mengundurkan diri dari dunia dongeng, digantikan oleh karakter game yang bisa menembakkan laser dari mata.
Setiap Hari Buku Nasional, kampanye literasi mendadak mekar bagai bunga di musim semi. Ada donasi buku ke pelosok, diskusi sastra, dan kunjungan ke perpustakaan. Tapi seperti diet karbohidrat pasca-Lebaran, semuanya musiman. Setelah tanggal 17 lewat, buku kembali dilupakan, ditinggal seperti mantan yang tidak membalas chat.
Tapi jangan bersedih, wahai kaum literat minoritas. Masih ada harapan, walau setipis pembatas buku. Selama masih ada satu manusia yang membaca bukan demi tugas sekolah, selama masih ada satu jiwa yang membuka halaman demi membuka cakrawala, maka dunia ini belum benar-benar tamat.
Selamat Hari Buku Nasional. Bacalah. Meski hanya satu paragraf. Satu kalimat. Satu kata. Karena dari satu kata bisa lahir peradaban. Dari satu peradaban, semoga lahir generasi yang tahu bahwa membaca itu bukan kutukan kuno, tapi tanda bahwa kita masih... berusaha menjadi manusia.
#Camanewak
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalba