Trump Usulkan Pemindahan Warga Gaza, Mesir dan Yordania Menolak

Editor: Redaksi author photo

Trump Usulkan Pemindahan Warga Gaza, Mesir dan Yordania Menolak

KALBARNEWS.CO.ID (GAZA) - 
Warga Palestina dengan tegas menolak rencana pemindahan populasi yang diusulkan oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Mereka menegaskan tidak akan meninggalkan tanah kelahiran mereka, meskipun terus menghadapi tekanan dari Israel, sekutu utama AS.


Trump sebelumnya mengajukan gagasan untuk merelokasi warga Gaza ke negara-negara tetangga seperti Mesir dan Yordania, dengan dalih meningkatkan stabilitas keamanan di kawasan tersebut. Pernyataan tersebut memicu kecaman dari berbagai pihak yang menilai gagasan ini sebagai bentuk pengusiran massal dan pelanggaran terhadap hak-hak rakyat Palestina.


Kritik terhadap usulan Trump semakin menguat mengingat kebijakan pemukiman Israel yang semakin agresif di wilayah Gaza. Banyak pihak menilai bahwa solusi yang diusulkan Trump bukan hanya tidak realistis, tetapi juga mengabaikan sejarah panjang penderitaan rakyat Palestina serta hak mereka atas tanah yang telah mereka diami selama berabad-abad.


Keteguhan Warga Gaza untuk Bertahan


Saqr Maqdad, seorang warga Gaza Utara, menegaskan bahwa ia tidak akan pergi, meskipun kehancuran melanda wilayahnya. Menurutnya, setiap jengkal tanah Gaza memiliki sejarah dan kenangan yang tak tergantikan.


“Gagasan relokasi yang disebutkan Trump hanyalah angan-angan. Setelah semua yang kami alami, apakah dia pikir kami akan meninggalkan rumah kami begitu saja? Ini tanah kami, dan kami akan tetap di sini,” katanya kepada Al Jazeera, Selasa 28 Januari 2025.


Pendapat serupa diungkapkan Abu Suleiman Zawaraa, seorang petani di Khan Younis, Gaza Selatan. Meskipun ladangnya hancur akibat serangan Israel, ia tetap kembali menanam zaitun dan jeruk. Baginya, meninggalkan Gaza bukanlah pilihan.


“Kami telah bertahan dari serangan, kehancuran, dan kehilangan. Namun, itu tidak akan membuat kami menyerah. Hidup di antara puing-puing adalah tantangan yang kami hadapi dengan tekad,” ungkapnya.


Sejak Israel melancarkan serangan ke Gaza pada 7 Oktober 2023, lebih dari 46.700 warga Palestina tewas, termasuk 18.000 anak-anak. Hampir 1,9 juta orang mengungsi, sementara infrastruktur kota mengalami kerusakan parah.


Data menunjukkan bahwa 92% jalan utama dan 84% fasilitas kesehatan hancur akibat serangan tersebut. Layanan dasar seperti air bersih dan listrik juga sangat terbatas, memperburuk krisis kemanusiaan yang dialami warga Gaza.


Mengingat Nakba dan Menolak Sejarah Terulang


Abu Suleiman menegaskan bahwa pengalaman pahit Nakba tahun 1948 masih membekas dalam ingatan warga Palestina. Pada saat itu, sekitar 750.000 warga Palestina dipaksa meninggalkan rumah mereka setelah berdirinya Israel.


“Kami memahami betul apa yang terjadi saat itu. Mereka yang pergi tidak pernah kembali. Kami tidak akan membiarkan sejarah terulang kembali,” tegas Abu Suleiman.


Banyak warga Gaza yang tetap memilih bertahan, meskipun ada peluang untuk meninggalkan wilayah tersebut. Mereka menganggap mempertahankan tanah air sebagai bagian dari identitas dan perlawanan mereka.


Israa Mansour, seorang ibu empat anak yang kini tinggal di tenda darurat setelah rumahnya hancur, juga menolak gagasan relokasi.


“Kami memilih bertahan bukan karena tidak punya pilihan, tetapi karena ini adalah rumah kami,” ujarnya.


Namun, ia menegaskan bahwa untuk dapat bertahan, warga Palestina membutuhkan dukungan berupa akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan bantuan kemanusiaan.


“Tidak mungkin kami diminta bertahan tanpa dukungan dasar. Rakyat Gaza butuh bantuan agar bisa melanjutkan perjuangan mereka,” pungkasnya.


Trump Kembali Tegaskan Usulan Relokasi


Presiden AS Donald Trump kembali menegaskan tekadnya untuk memindahkan warga Palestina keluar dari Jalur Gaza ke lokasi yang dianggap "lebih aman" seperti Mesir atau Yordania.


Pernyataan tersebut kembali menuai kritik dari berbagai pihak.


Pada Senin, 27 Januari 2025 waktu setempat, Trump kembali mengemukakan idenya setelah sebelumnya, pada Sabtu 25 Januari 2025, ia menyatakan bahwa Gaza harus "dibersihkan" setelah perang panjang antara Israel dan Hamas yang telah berlangsung lebih dari 15 bulan, menjadikan wilayah tersebut seperti "area penghancuran".


Saat ditanya mengenai gagasannya itu, seperti dilaporkan AFP, Rabu 29 Januari 2025, Trump mengatakan bahwa ia ingin warga Palestina di Gaza tinggal di tempat yang lebih aman, tanpa gangguan dan kekerasan.


"Anda tahu, jika Anda melihat Jalur Gaza, yang sudah bertahun-tahun menjadi neraka... selalu ada kekerasan yang terkait dengan wilayah itu," ujarnya kepada wartawan.


Ketika ditanya lebih lanjut mengenai dampak gagasannya terhadap solusi dua negara, Trump menyatakan bahwa ia akan segera bertemu dengan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu.


"Dia akan datang ke sini untuk bertemu dengan saya," ucapnya.


Trump juga mengungkapkan bahwa ia telah berbicara dalam beberapa hari terakhir dengan Raja Yordania Abdullah II dan Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi, yang selama ini menolak pemindahan warga Palestina dari Jalur Gaza.


"Saya berharap dia mau menampung beberapa. Kita telah banyak membantu mereka, dan saya yakin dia akan membantu kita. Seperti yang mereka katakan, ini adalah lingkungan yang sulit, tapi saya pikir dia akan melakukannya, dan saya pikir Raja Yordania juga akan melakukannya," ujar Trump merujuk pada al-Sisi.


Mesir dan Yordania Tolak Relokasi Warga Gaza


Pemerintah Mesir dan Yordania dengan tegas menolak gagasan Trump untuk merelokasi warga Gaza. Otoritas Kairo mendukung penuh hak masyarakat Gaza untuk tetap tinggal di tanah mereka sendiri. Menteri Luar Negeri Yordania, Ayman Safadi, juga secara tegas menolak pemindahan paksa warga Palestina.


Presiden Palestina Mahmoud Abbas turut menyampaikan penolakan keras terhadap segala bentuk rencana yang bertujuan menggusur warga Palestina dari Jalur Gaza.


“Warga Palestina tidak akan meninggalkan tanah dan tempat-tempat suci mereka,” tegas Abbas.


Hampir seluruh penduduk Gaza, yang berjumlah sekitar 2,4 juta jiwa, telah mengungsi akibat perang yang berlangsung sejak Oktober 2023.


Saat ini, gencatan senjata selama enam pekan sedang diberlakukan di Jalur Gaza, melibatkan pertukaran sandera Hamas dengan tahanan Palestina.


Situasi di wilayah tersebut masih sangat rentan, dengan banyak pihak yang menuntut solusi damai yang berkelanjutan bagi rakyat Palestina. Gagasan pemindahan populasi dinilai bukan solusi yang adil dan justru semakin memperumit konflik yang telah berlangsung selama puluhan tahun. (Tim Liputan).

Editor : Lan

Share:
Komentar

Berita Terkini