Harga Tiket Melonjak, Ini Penjelasan Garuda Indonesia
KALBARNEWS.CO.ID (JAKARTA) – Polemik harga tiket pesawat yang terus meroket selama liburan, terutama pada periode Nataru dan mudik lebaran, kembali menjadi sorotan. Banyak penumpang mengeluhkan tingginya harga tiket, yang meskipun jumlah penerbangan bertambah, tetap tidak membuat tiket pesawat menjadi lebih terjangkau.
Hal tersebut dijelaskan secara terbuka oleh Direktur Utama Garuda Indonesia, Wamildan Tsani Panjaitan, dalam rapat kerja (raker) dengan Komisi V DPR RI pada Kamis, 23 Januari 2025, di Jakarta. Wamildan menyampaikan dua faktor utama yang membuat harga tiket pesawat tetap mahal, meskipun ada peningkatan jumlah penerbangan.
Biaya Avtur dan Harga Sewa Pesawat Jadi Penyebab Utama
Dalam raker tersebut, Wamildan secara gamblang menyatakan bahwa biaya avtur (bahan bakar pesawat) dan harga sewa pesawat menjadi dua komponen terbesar yang membebani maskapai dan menyebabkan harga tiket pesawat menjadi mahal.
“Biaya avtur sendiri, menurut kami sudah memberikan dampak sebesar 35 persen untuk harga tiket pesawat. Kemudian, harga sewa pesawat memberikan kontribusi sekitar 30 persen,” ujar Wamildan.
Ia juga mengungkapkan bahwa biaya sewa pesawat untuk Garuda Indonesia cukup tinggi. Untuk satu pesawat yang disewa selama satu bulan, biayanya bisa mencapai 300 ribu dollar AS.
“Jadi memang dua komponen ini yang paling berat yang kami rasakan dari sisi maskapai,” lanjutnya.
Biaya Layanan Bandara yang Dikenakan Maskapai
Selain dua komponen utama di atas, Wamildan juga menjelaskan bahwa layanan yang diberikan di bandara turut berkontribusi pada tingginya harga tiket pesawat. Setiap maskapai harus membayar biaya terkait dengan berbagai layanan di bandara seperti biaya lepas landas (take-off), pendaratan (landing), sewa ruang, parkir pesawat, dan bea masuk untuk suku cadang pesawat.
“Ada biaya terkait layanan di bandara, seperti take off landing fee yang harus kami bayar dan itu belum termasuk pajak. Jadi semua transaksi yang kami lakukan terkait avtur dan pembayaran jasa pelayanan bandara termasuk sewa ruangan kami di bandara terikat dengan pajak,” kata Wamildan.
Ia juga menyebutkan bea masuk suku cadang pesawat yang masuk ke Indonesia, yang juga dikenakan pajak. Semua biaya ini, menurutnya, semakin membebani maskapai dan pada akhirnya mempengaruhi harga tiket yang dibebankan kepada penumpang.
Garuda Memiliki Margin Tipis karena Konsep Full Service
Salah satu poin yang disorot oleh Wamildan adalah bahwa Garuda Indonesia memiliki margin keuntungan yang sangat tipis karena maskapai ini memilih konsep layanan full service. Sebagai maskapai full service, Garuda Indonesia harus menyediakan layanan makanan dan minuman untuk penumpang, yang tentu menambah biaya operasional.
“Revenue to cost dan cost to revenue kami sangat tipis, hampir mencapai 94 persen. Sedangkan untuk maskapai low cost carrier (LCC) seperti Citilink, margin mereka masih besar, sekitar 84 persen,” jelas Wamildan.
Wamildan menjelaskan bahwa Citilink, sebagai maskapai LCC, menawarkan tarif tiket yang lebih rendah dengan menghapus beberapa layanan penumpang, seperti makanan dan minuman. Hal inilah yang memungkinkan Citilink untuk memiliki margin keuntungan yang lebih besar dibandingkan Garuda Indonesia.
Meskipun Harga Mahal, Garuda Fokus pada Pelayanan
Meski harga tiket pesawat yang tinggi menjadi keluhan banyak orang, Wamildan menegaskan bahwa Garuda Indonesia tetap berkomitmen memberikan pelayanan terbaik kepada para penumpangnya. Meskipun maskapai harus menghadapi tantangan terkait biaya operasional yang tinggi, Garuda akan terus berupaya untuk memberikan pengalaman terbang yang nyaman dan aman bagi setiap penumpangnya.
Pernyataan Wamildan ini membuka wawasan baru bagi publik mengenai tantangan yang dihadapi oleh maskapai penerbangan di Indonesia, khususnya Garuda Indonesia, dalam menjalankan operasionalnya, serta mengungkapkan berbagai faktor yang membuat harga tiket pesawat menjadi mahal di masa-masa liburan. (Tim Liputan).
Editor : Lan