Koalisi Asia Pasifik Digital Prosperity For Asia Ajak Pemerintah Indonesia Dukung Moratorium E-commerce WTO
KALBARNEWS.CO.ID (JAKARTA) -- Menjelang
Konferensi Tingkat Menteri World Trade Organization ke-13
(MC13) , koalisi Digital Prosperity for Asia (DPA) minggu ini
mengirimkan surat kepada Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, dan
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia untuk mendukung kelanjutan
Moratorium WTO mengenai Bea Cukai Transmisi Elektronik (WTO Moratorium on
E-Commerce).
Sebagai asosiasi industri yang mewakili UMKM digital di kawasan Asia-Pasifik, DPA menyerahkan surat tersebut atas nama anggotanya dan perwakilan industri yang akan terkena dampak jika Moratorium tersebut ditiadakan. (21 Februari 2024).
Moratorium E-commerce WTO menyatakan bahwa negara anggota WTO
tidak boleh mengenakan bea masuk pada transmisi elektronik. Anggota WTO
menyetujui dan mengadopsi Moratorium ini secara berkala sejak tahun 1998 dan
akan dipertimbangkan untuk kembali diperpanjang pada WTO MC13 yang akan
berlangsung 26-29 Februari.
Surat DPA mengadvokasi ekosistem peraturan yang memudahkan akses
terhadap layanan digital bagi lebih dari dua puluh juta UMKM
di semua sektor industri di Indonesia, khususnya bagi bisnis yang ingin
memanfaatkan teknologi baru di berbagai fungsi dan bidang seperti pembayaran
digital, pembuatan konten, game online, dan kecerdasan buatan (artificial
intelligence). Dengan maraknya transmisi digital di berbagai sektor,
pencabutan Moratorium ini akan berdampak luas terhadap semua sektor industri
di Indonesia.
Ekonomi digital Indonesia saat ini berhasil menduduki
peringkat pertama di ASEAN dan adalah mesin pertumbuhan nasional di masa depan.
Dengan Perjanjian Kerangka Kerja Ekonomi Digital ASEAN (ASEAN Digital
Economy Framework Agreement), Indonesia diproyeksikan akan
mencapai nilai US$400 miliar hanya
dari ekonomi digitalnya. Digitalisasi adalah penggerak dari pertumbuhan ini
yang memainkan peran penting dalam mendukung gerakan
progresif Indonesia menuju kesejahteraan.
Dengan berlakunya Moratorium ini, perusahaan-perusahaan di Indonesia dapat mengakses teknologi yang dapat meluncurkan mereka ke kancah global. Banyak bisnis lokal yang menjadi kunci untuk perkembangan ekonomi Indonesia memerlukan dukungan berkelanjutan dari teknologi impor dalam operasionalnya, seperti industri utama ekspor nasional termasuk minyak bumi dan batu bara yang mengandalkan teknologi cloud untuk efisiensi, akurasi, dan keamanan operasional.
Platform layanan online di Indonesia,
termasuk dua decacorn dan beberapa startup teknologi unicorn,
juga bergantung pada cross-border data flow untuk
mengembangkan dan mengekspor produk dan layanan mereka ke luar negeri. Banyak
sektor lain juga berpotensi terkena dampak, termasuk pertanian, energi
terbarukan, dan industri hiburan.
Menurut hasil riset OECD pada tahun
2019, hambatan perdagangan digital melalui pembatasan kepabeanan terhadap
produk digital dan aliran data berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi yang
lebih besar dibandingkan pendapatan yang diperoleh melalui bea masuk. Dengan
mengenakan tarif, Indonesia akan kehilangan 160 kali lipat dari PDB
yang dapat dikumpulkan, sementara kerugian negara dari pajak diperkirakan 23
kali lebih besar dibandingkan pendapatan tarif.
Melalui surat ini, DPA mendorong
pemerintah Indonesia untuk meninjau kembali peran akses lintas batas
dalam mendukung UMKM digital di Indonesia dan memperkuat ekonomi
nasional.
DPA adalah asosiasi industri beranggotakan perusahaan-perusahaan
digital skala kecil, menengah, dan start-up di wilayah Asia
Pasifik yang berinovasi untuk mendukung perluasan akses teknologi digital di
semua sektor. (Tim Liputan)
Editor : Aan