KALBARNEWS.CO.ID
(JAKARTA) - Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) meminta pemerintah
mengevaluasi kebijakan yang mengatur skema kemitraan petani plasma kelapa sawit
karena dinilai tidak relevan lagi dengan kondisi sekarang.SPKS Dorong Pemerintah Evaluasi Skema Kemitraan Petani Plasma
"Skema kemitraan dengan mekanisme penyerahan
lahan dan menempatkan perusahaan sebagai mitra yang mengelola penuh lahan
masyarakat dengan pola bagi hasil sudah tidak relevan lagi, sehingga sudah
seharusnya pemerintah meninggalkan skema seperti ini," kata Kepala
Advokasi SPKS Marselinus Andri dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (22 Desember 2022)
Petani plasma adalah petani kelapa sawit yang
bermitra dengan perusahaan swasta atau pemerintah dalam mengelola perkebunannya.
Andri mengungkapkan temuan utama hasil investigasi
yang dilakukan The Gecko Project (organisasi investigasi soal korupsi,
perubahan iklim, hutan, dan HAM) di perkebunan sawit menunjukkan skema
kemitraan gagal menghasilkan kesejahteraan bagi para petani di desa, dan
sebaliknya berpotensi mengurangi pendapatan dan lahan.
Dalam temuan The Gecko Project 2022, masyarakat
yang terikat dalam skema plasma disebut memperoleh bagian sangat kecil dari
keuntungan yang bisa dihasilkan perkebunan.
Berdasarkan kajian-kajian lepas yang ada, kebun
plasma dapat menghasilkan keuntungan lebih dari Rp22 juta per hektare tiap
tahun. Para petani sawit mandiri, yang menggarap kebun tanpa dukungan
perusahaan perkebunan, bisa mendapat keuntungan lebih dari Rp15 juta per
hektare tiap tahun.
"Namun, dari beberapa kasus plasma yang
mereka selidiki, para petani itu hanya mendapatkan keuntungan rata-rata sekitar
Rp2,5 juta," kata Andri.
Dalam catatan SPKS, pendapatan petani plasma
umumnya sangat rendah dan tidak cukup untuk membayar angsuran utang kredit
akibat rendahnya produksi dari kebun yang dikelola tidak sesuai standar
agronomis yang ditetapkan pemerintah.
“Situasi seperti ini terjadi akibat pengelolaan
plasma yang tidak transparan melalui perjanjian yang cenderung hanya
menguntungkan pihak perusahaan sebagai mitra," kata Andri.
Dia menyebut peran pemerintah dalam melakukan
pengawasan dan evaluasi harus diimplementasikan, misalnya tindakan Penilaian
Usaha Perkebunan (PUP) yang harus diterapkan.
Dari kajian yang dilakukan SPKS pada empat
kabupaten penghasil sawit, lanjut Andri, rata-rata penghasilan petani swadaya
mencapai Rp25 juta per hektar per tahun.
Jumlah tersebut terpaut jauh dengan pendapatan
petani plasma yang seharusnya lebih besar karena pengelolaannya memenuhi
standar pembiayaan serta standar teknis lainnya mulai dari pembangunan,
perawatan, pemanenan untuk menunjang produksi dan produktivitas yang tinggi.
Dalam temuan The Gecko Project, lanjut Andri,
perusahaan besar pembeli minyak sawit seperti NestlĂ©, Unilever, dan Kellog’s
yang memiliki komitmen terhadap keberlanjutan dengan pembelian CPO berdasar
sertifikasi, membeli minyak sawit dari perusahaan-perusahaan yang membagi
sedikit sekali keuntungan untuk masyarakat dalam skema kemitraan.
"Ini tentu saja kritik terhadap pihak RSPO
(Roundtable and Sustainable Palm Oil) yang membiarkan produksi sawit tak sesuai
ketentuan lolos dalam proses sertifikasi. Serta kritik terhadap para pembeli
minyak sawit dan grup perusahaan besar di Indonesia terkait praktik sawit
berkelanjutan, namun ternyata konflik masih terjadi," kata Andri.
Andri menilai RSPO maupun perusahaan pembeli
minyak sawit perlu melakukan evaluasi dan pemberian sanksi yang tegas bagi
perusahaan penerima sertifikat berkelanjutan atau yang menjadi pemasok CPO
yang masih terlibat konflik dengan masyarakat. (Tim liputan)