Tantangan Profesionalisme Polri Itu Bernama Integritas |
Adanya
kasus “Sambogate” membuat profesionalitas Korps Bhayangkara dipertanyakan.
Apakah institusi yang kini berusia 76 tahun itu sudah profesional dalam
menjalankan tugas pokok dan fungsinya atau belum melangkah maju menyongsong era
Police 4.0.
Sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri pada Pasal 13
tentang tugas pokok Polri, yakni memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada
masyarakat.
Selain
amanat undang-undang, pergerakan Polri juga sesuai dengan visi dan misi
pimpinannya yang saat ini dipegang oleh Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo
dengan mengusung slogan Polri yang Presisi.
Presisi
merupakan abreviasi dari PRediktif, responSIbilitas, dan transparanSI
berkeadilan, melalui 16 program prioritas Kapolri.
Terlepas
dari kasus ”Sambotgate”, profesionalisme Polri memang masih perlu ditingkatkan.
Catatan
pada integritas sumber daya manusia (SDM) Polri, bila diukur secara kompetensi
dan kapabilitas kualitas SDM semakin meningkat, tetapi tidak
diimbangi dengan integritas.
Indikasi
profesionalitas Polri itu bisa dilihat dari tingkat kepuasan publik pada
pelayanan, perlindungan dan pengayoman pada masyarakat. Tingkat kepercayaan
masyarakat itu seiring dengan menurunnya indeks kepuasan publik pada pelayanan,
perlindungan dan pengayoman tersebut.
Profesionalisme
Polri dilihat dari dua hal, yakni ahli yang bertindak etis. Polri adalah ahli,
tetapi permasalahan “Sambogate” ditemukan banyak pelanggaran tidak etik
dilakukan anggota Polri.
Untuk
itu, jika SDM Polri menjadi rujukan, maka mantan Kapolri Jenderal Hoegeng Imam
Santoso adalah teladan sebagai polisi yang bersih.
Polisi
yang bersih harus berangkat dari sikap mental yang bertindak etis, tidak
memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri sendiri dengan cara menindas,
memeras, kemudian ber-KKN.
Sidang
Etik
Kapolri
Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo dalam unggahan di akun Instagram resmi
miliknya pada Senin (12/9) lalu, menegaskan tidak akan memberikan teguran yang
kedua kali bagi anggotanya yang kedapatan melanggar. Begitu ada laporan, sanksi
tegas berupa pemberhentian, sudah di depan mata.
Ketegasan
ini harus dilakukan. Jenderal bintang empat itu beralasan ketegasan itu untuk
melindungi 430 ribu personel Polri dan 30 ribu PNS yang telah bekerja untuk
membangun institusi Polri menjadi lebih baik dari masa ke masa.
Kapolri
memang harus mencopot, harus menindak terhadap anggotanya yang melakukan
pelanggaran-pelanggaran dan ini terus diulang-ulang karena sebagai pemimpin dia
tentu sayang pada 430.000 polisi yang telah bekerja dengan baik dan 30.000 PNS
yang juga bekerja dengan baik.
Meskipun langkah
tegas Polri dalam melakukan sidang etik terhadap anggotanya yang terlibat
“Sambogate” dirasa belum cukup dalam rangka membenahi muruwah institusi Polri
untuk mewujudkan profesionalitas, namun hal itu dapat memberikan efek jera,
terlebih kasus “Sambogate” mendapat sorotan penuh masyarakat dari berbagai
lapisan.
Bentuk
ketegasan itu dilaksanakan dengan menyidangkan para terduga pelanggar etik
kasus “Sambogate”, dan beberapa personel yang melakukan pelanggaran pidana
maupun perbuatan tercela lainnya di sejumlah wilayah, seperti Kasat Narkoba
Polresta Kerawang yang diberhentikan dengan tidak hormat karena terlibat dalam
peredaran narkoba.
Dalam
kasus “Sambogate” dari 97 orang personel yang diperiksa, sebanyak 35 personel
diduga melanggar etik terkait tidak profesional dalam penanganan tempat
kejadian perkara (TKP) meninggalnya Brigadir J di rumah dinas Irjen Pol Ferdy
Sambo di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan. Mereka ada yang melakukan
pelanggaran etik berat, etik sedang dan etik ringan.
Kasus
“Sambogate” membuka tabir bahwa banyak anggota polisi yang semakin profesional
untuk menangani rekayasa kasus. Hal ini dibuktikan dengan 97 personel
kepolisian yang diperiksa oleh Inspektorat Khusus (Itsus) Polri terkait kasus
Brigadir J.
Tidak
hanya kasus “Sambogate” yang menjadi catatan, sangat mungkin bakal ada banyak
anggota yang terkait dengan upaya membangun narasi-narasi bohong bila dilakukan
pengembangan (penyelidikan) lebih lanjut, terlebih dengan munculnya bagan Konsorsium
303 atau mafia tambang, narkoba dan lain sebagainya.
Semua pihak mencatat sidang etik, karena dari tujuh
tersangka obstruction of justice, baru empat orang yang
menjalani sidang dan dijatuhi sanksi PTDH, sisanya tiga orang pelanggar
menunggu jadwal sidang yang diselang-seling dengan pelanggar etik sedang dan
ringan. Terlebih lagi, para terduga pelanggar mengajukan banding atas putusan
PTDH yang dijatuhkan Ketua Komisi KKEP.
Sidang
etik adalah langkah yang tepat untuk menjawab keraguan dan ketidakpercayaan
publik kepada Polri.
Pengawasan
melekat
Membangun
SDM yang berkualitas dan memiliki integritas adalah satu paket yang tidak bisa
dipisahkan. Pembangunan SDM tentunya bukan untuk menciptakan “manusia setengah
dewa” yang tidak bisa salah. Perlu diciptakan sistem yang bisa mengontrol
sumber daya dan sistem pengawasan yang bisa memastikan bahwa sistem kontrol
tersebut bisa berjalan sesuai harapan.
Sistem
kontrol tersebut adalah perangkat aturan, pembagian tugas, distribusi
kewenangan, termasuk distribusi pengawasan. Sementara sistem pengawasan
meliputi siapa mengawasi siapa. Sistem pengawasan ini tidak bisa hanya
diserahkan pada internal, karena pengawasan internal sangat rawan konflik
kepentingan yang bisa menjauhkan objektivitas.
Makanya
perlu pengawasan eksternal yang kuat dan independen.
Permasalahan
utama terkait SDM Polri saat ini bukan pada rekrutmen. Meskipun rekrutmen ini
juga masih harus terus ditingkatkan. Pendidikan dan pelatihan juga sudah sangat
memadai.
Persoalan SDM saat ini justru terjadi setelah pendidikan dan
pelatihan. Paparan lingkungan kerja yang buruk, tidak adanya merit system dan
minimnya pengawasan, sementara kewenangan Polri sangat besar membuat budaya
militeristik yang masih terbawa sampai saat ini mengakibatkan arogansi dan
penyelewengan-penyelewengan yang keluar dari tugas pokok dan fungsi Polri.
Sementara itu, peningkatan profesionalitas Polri tidak terlepas
dari pembinaan dan pengawasan. Untuk pembinaan adalah tanggung jawab internal
kepolisian, termasuk pengawasan, tetapi aspek pengawasan juga penting untuk
dikedepankan dengan melibatkan pengawasan oleh publik, salah satunya adalah
memperkuat kelembagaan Kompolnas, dengan kewenangan paksa yaitu pro justicia untuk
melakukan penyelidikan.
Juga
pengawasan terkait dengan internal kepolisian dengan melibatkan publik, yaitu
KKEP dan juga usulan Birowasidik tidak di bawah Kabareskrim, tetapi langsung di
bawah Kapolri dengan menaikkan statusnya menjadi bintang dua setara dengan
Kadiv Propam.
Yang
harus ditekankan dalam meningkatkan profesionalisme Polri adalah perubahan
budaya polisi untuk tidak arogan, tidak sewenang-wenang, menjauhkan diri dari
sikap hedonis mencari kekayaan secara tidak sehat dengan melindungi
praktik-praktik kejahatan, seperti Konsorsium 303 dan permainan perkara di
reserse. Kinerja reserse perlu diawasi oleh pimpinan Polri dengan melibatkan
publik. (Sumber : Kantor Berita ANTARA).
Editor
: Heri