Ketua Umum DPP LDII KH. Chriswanto Santoso |
“Krisis
pangan ini belum terlalu terasa efeknya secara signifikan di tanah air, namun
kita harus bersiap menghadapinya,” ujar Ketua Umum DPP LDII KH. Chriswanto
Santoso.
Ia
mengingatkan, perang kali ini menjadi alarm pentingnya kemandirian, ketahanan,
dan kedaulatan pangan. Walhasil, swasembada pangan bukan lagi jargon atau hanya
cita-cita, tapi jadi tujuan bangsa Indonesia.
Menurutnya,
dukungan sumber daya alam dan iklim Indonesia, memungkinkan sepanjang musim
untuk bercocok tanam merupakan modal yang tidak dimiliki sebagian besar negara
di dunia.
KH
Chriswanto juga mengatakan pangan yang menyentuh kelangsungan hidup rakyat
Indonesia, saat ini terus diimpor. Ia menyontohkan gula, beras, jagung, hingga
kedelai yang merupakan komoditas asli Indonesia, bahkan dibudidayakan jauh
sebelum Indonesia ada.
“Tapi
kenyataannya, hari ini masih diimpor karena produksi dan konsumsi tak imbang.
Tempe yang jadi lauk sehari-hari kedelainya masih impor,” tegasnya.
Menurutnya,
sejak 2018, ketahanan pangan dijadikan salah satu dari delapan program kerja
utama LDII. Ia mengingatkan, persoalan pangan menjadi sangat politis.
“Pangan bisa
jadi alat penekan bangsa lain. Misalnya, negara produsen menolak ekspor dengan
alasan untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri. Dan itu bisa menyebabkan harga
pangan global naik,” jelasnya.
Komoditas
seperti jagung dan kedelai, kerap pula diubah menjadi biodiesel. Isu bahan
bakar tersebut, juga menyebabkan harga pangan dunia melambung.
“Kami
mendorong ketahanan pangan dimulai dari unit paling kecil, yakni keluarga,”
ujar KH Chriswanto Santoso.
Ketahanan
Pangan Keluarga
Hal senada
disampaikan Ketua DPP LDII yang juga peneliti masalah pangan, Prof. Rubiyo
mengatakan ketahanan pangan dimulai dari keluarga, karena bila setiap keluarga
mampu mencukupi pangannya sendiri, maka terbentuk ketahanan pangan masyarakat.
“Selain itu,
keluarga mengetahui apa yang mereka butuhkan dan bagaimana mendapatkan atau
memproduksi di sekitar rumah mereka,” tegasnya.
Menurut
Rubiyo, untuk memproduksi pangan, tiap keluarga bisa memanfaatkan pekarangan
dan tak perlu halaman yang sangat luas atau bisa dengan menerapkan model urban
farming.
Dengan
mengetahui kebutuhan dan cara mengolahnya, ketahanan dan ketersediaan pangan
bahkan kedaulatan pangan Indonesia dapat tercipta.
Ia
mencontohkan, teknologi saat ini sangat memungkinkan untuk memproduksi pangan
sendiri, dari hidroponik, pot, dan untuk kebutuhan protein bisa beternak ikan.
“Semua itu
bisa dilakukan dengan memanfaatkan pekarangan rumah,” ujarnya.
Mengenai
krisis pangan global, bisa diantisipasi rakyat Indonesia dengan kembali kepada
kearifan lokal.
“Swasembada
pangan tahun 1980-an itu bagus, hanya saja mereka yang mengkonsumsi jagung,
gaplek, dan sagu berubah mengkonsumsi beras hanya karena takut dibilang miskin.
Lambat laun berubah pula budayanya,” ujarnya.
Agroekosistem
negara Indonesia dan terdiri dari banyak suku, menurutnya memiliki kearifan
lokal berupa makanan pokok yang sifatnya spesifik, dan secara turun temurun
diusahakan. Menurutnya, bila jagung, umbi-umbian, sagu, dan pisang bisa diolah
sedemikian rupa bisa menghasilkan pangan yang berkualitas.
“Selain itu
juga mempunyai nilai tambah dan sekaligus memiliki daya saing. Mampu mencukupi
kebutuhan karbohidrat dan protein sekaligus,” ungkapnya.
Rubiyo
mengatakan ketahanan pangan yang dimulai dari keluarga dan melakukan
diversifikasi sumber pangan lokal, mampu menciptakan swasembada dan kedaulatan
pangan. Dengan demikian, krisis pangan dunia bisa dihadapi dan diadaptasi
dengan baik. (SAN/tim liputan).
Editor :
Heri