LDII Harap Medsos Menjadi Sarana Sumbang Pemikiran |
"Problematika
permasalahan kebangsaan, saya yakin pemerintah tidak bisa bekerja sendirian
melainkan memerlukan sumbangsih dari rakyatnya termasuk pemikiran-pemikiran
konstruktif, " ujarnya kepada KALBARNEWS.CO.ID, Kamis 6 Desember 2021.
Masukan
pemikiran konstruktif itu dapat dilakukan melalui media sosial (medsos).
"Ada sebuah media yang bisa dimanfaatkan dalam memberikan pemikiran kepada
pemerintah yakni melalui media sosial," tegas dia
Dengan
demikian, pemerintah mendapat masukan yang jernih agar pembangunan untuk
mewujudkan keadilan sosial tercapai, “Kita selalu mempertanyakan bisakah
demokrasi menyejahterakan dan adil kepada masyarakat? Hal itu bisa terjadi bila
ruang publik kita jernih oleh masukan-masukan yang kontributif, bukan
hujatan-hujatan,” tegasnya.
Sebagai
organisasi dakwah, LDII akan terus mendorong seluruh elemen masyarakat
memanfaatkan ruang publik bernama media sosial dengan bijak. Bila saat ini,
media massa mencari informasi dan sensasi dari media sosial, pemerintah pun
sebenarnya butuh masukan dari media sosial. Untuk itu LDII mengajak seluruh
masyarakat Indonesia, memanfaatkan media sosial sebagai pusat informasi yang
mendidik.
“Sekali lagi
media sosial jangan diisi dengan sampah, kalau sampah yang masuk, sampah pula
yang keluar. Bila dulu kala media massa adalah cermin budaya masyarakatnya,
kini media sosial jadi representasi masyarakat. Maka jagalah media sosial,
jangan sampai statusmu di medsos jadi harimaumu,” imbuhnya.
Inilah salah
satu upaya untuk mengisi konten-konten medsos dengan hal-hal yang positif .
Mengingat tanpa disadari ada fenomena peran media mainstrem diambil alih oleh
medsos.
"Peran
media sosial, telah menggeser peran media mainstream. Contohnya, bila dulu
terdapat kajian televisi dan koran menjadi guru atau acuan, kini media sosial
mengambil alih posisi tersebut,” ujarnya
Ironinya,
sambung Rulli, narasi-narasi media sosial makin sulit dipertanggungjawabkan,
karena banyak sampahnya ketimbang mengedukasi.
“Media massa
dengan segala bias atau ketidaknetralannya, masih menggunakan metode
verifikasi, cek ricek dan liputan dua sisi. Sementara media sosial, semua boleh
bicara seolah-olah semuanya pakar. Bisa saja anak SMP habis baca sesuatu di
medsos, mendebat seorang profesor,” ungkapnya.
Persoalan
utama, sebagai ruang publik, media sosial sangat demokratis sekaligus sangat
liberal.
Sementara
pada sisi lain, kontrol dari pemerintah berupa Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
“Di lain
sisi ada pembatasan kebebasan berekspresi yang menurunkan kualitas demokrasi,
namun di sisi lain bila tidak dikontrol akan membahayakan keutuhan bangsa,”
tegas dia.
Bagaimana
solusinya? Ditegaskan Rulli, tidak harus meniru pemikiran barat dalam membangun
ruang publik yang kontributif.
Menurutnya
kebebasan berekspresi di Amerika Serikat dan Eropa kini diuji dengan ketidakpuasan.
“Problem
ketidakterwakilan pemilih oleh wakil rakyat di negara-negara maju, menyebabkan
gerakan 99 persen di Amerika dan Prancis, akibatnya kerusuhan menjadi-jadi,”
paparnya.
Kerusuhan di
jalanan New York dan Paris, dikendalikan melalui media sosial di mana
hujatan-hujatan dalam bungkus kebebasan berbicara dan berekspresi membuat
kekerasan terjadi.
“Pada titik
ekstrem, Facebook terbukti dijadikan alat koordinasi dalam perang sipil di
Suriah dan kudeta di Mesir,” tegas Rulli.
Oleh
karenanya, dia menyebut kesadaran seluruh rakyat Indonesia dalam mengisi media
sosial mereka dengan sikap kritis yang mengedukasi menjadi sangat penting.
“Jangan
memaknai kritik tersebut sebagai kubu-kubuan, bermusuhan, berseberangan, dan
oposan. Mereka yang netral dan kritis bila terus menerus dirundung atau
di-bully, akhirnya bakal diam. Bila mereka diam, siapa yang rugi?” tambah
Rulli. (santo).
Editor : Aan