Pameran “Redam” Dan Diskusi Publik, Upaya KM Kalbar |
Pameran dengan tema ‘Redam’ dan Reda
serta diskusi publik bertema ‘Bedah Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021’
adalah satu dari sekian banyak rangkaian agenda yang dilakukan.
‘Redam’ dan ‘Reda’ bergabung menjadi REDAM merupakan pameran yang menampilkan pameran, lukisan, ilustrasi, foto hingga patung. REDAM sendiri dimaksudkan agar suara-suara yang teredam dapat dikeluarkan dan meredakan kegelisahan.
Pameran kolektif ini bertujuan untuk
menyarakan keresahan dan mengalurkan ekspresi sebagai respon atas maraknya
kasus kekerasan terhadap perempuan dan situasi kritis dalam hal penanganan
serta pencegahan dinegeri ini.
Pameran ini dilakukan bersamaan dengan
diskusi publik, turut hadir Rustam yang merupakan Rektor IKIP PGRI Pontianak
serta bertindak sebagai keynote speaker dalam diskusi tersebut. Selain itu,
hadir pula empat pemantik dalam diskusi bedah Permendikbudristek No. 30 Tahun
2021 tersebut seperti Arniyanti (Pegiat Gemawan), Putriana (Ketua Rumah
Perempuan dan Anak Kalbar), Mahrus Agustian (Ketua Rumah Diskusi Kalbar) serta
Fitri Radiantini (Ketua KOHATI Badko Kalbar). Diselenggarakan di Bermuda Café,
Jl. Pulau We Pontianak. Selasa, (7/12/2021).
Apresiasi diberikan oleh Rustam, Rektor
IKIP PGRI Pontianak kepada Koalisi Muda Kalbar serta seluruh pegiat isu
kemanusiaan yang ada dan menyelenggarakan kegiatan tersebut. Lebih jauh,
sebagai pimpinan di institusi pendidikan ia juga turut mendorong serta
mendukung Permendikbudristek yang sedang dibedah bersama dalam diskusi.
Pola dan Budaya Patriarkis di Indonesia
Putriana, Ketua Rumah Perempuan dan
Anak Kalbar dalam pemaparannya menyoroti tentang pola dan budaya patriarki yang
masih berkembang dimasyarakat hingga saat ini.
“Di Indonesia hingga saat ini, pola
yang masih berkembang adalah desain masyarakat patriarki sehingga yang menjadi
pandangan adalah dalam perspektif laki-laki. Laki-laki diberi otot dan juga
kekuatan yang lebih daripada perempuan, selain itu mainset lain adalah
laki-laki lekat dengan karir sedangkan perempuan identik dengan dapur. Hal ini
yang membuat perempuan dianggap sebagai makhluk yang lemah,” ungkapnya.
Lebih jauh, ia juga turut memberikan
contoh dari budaya patriarkis yang berkembang hingga menyebabkan terjadinya
kekerasan seksual. Menurutnya, saat ini memang sudah banyak ditemukan perempuan
bekerja dipabrik, namun karena perempuan selalu diidentikkan dengan pekerjaan
domestik sehingga bekerjanya perempuan dipabrik dianggap sebagai varian dari
pekerjaan rumah tangga. Perempuan di publik hanya memenuhi hierarki bawah
sehingga kalah kuasa dari laki-laki.
“Berdasarkan hal ini, laki-laki punya
potensi melakukan kekerasan seksual kepada perempuan. Hal ini karena perempuan
kalah secara visik maupun secara kuasa. Hal ini tidak terlepas terjadi di ruang
terbuka publik, oleh senior kepada juniornya, oleh atasan kepada pegawainya,
oleh pula dosen terhadap mahasiswinya,” tutur Putri lebih jauh.
Ia juga menambahkan bahwa maraknya KS
adalah karena seksualitas yang menyudutkan perempuan juga, seperti keperawanan
yang identik dengan perempuan. Misal, dalam sebuah kejadian ketika perempuan
hendak menjadi istri dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) bahkan harus dites
terlebih dahulu keperawanannya. Termasuk, iklan-iklan dimedia yang juga
menonjolkan perempuan sehingga seksualitas perempuan selalu disudutkan.
Ia juga menyoroti perihal banyaknya
kontra dari Permendikbud dengan anggapan akan melegalkan zinah di kampus karena
adanya frasa persetujuan korban, sehingga muncul pernyataan dibolehkan jika
dilakukan secara suka sama suka.
Menurut Putri, yang diatur dalam Permen
adalah kekerasan, sedangkan suka sama suka tidak ada potensi kekerasan. Orang
atau kelompok yang kontra hanya melihat frasa suka sama suka saja, padahal
kekerasan seksual juga bagian dari zinah. Meraba-raba perempuan yang bukan
muhrim adalah perbuatan yang mendekati zinah. Dalam Al-Quran juga disebutkan
agar jangan mendekati zinah, kekerasan seksual adalah zinah yang berarti tidak
diperbolehkan, apalagi pemaksaan seksual dan lain sebagainya adalah bagian dari
zinah pula.
“Jadi Permendikbud ini sebenarnya ingin
mengendalikan potensi zinah dalam kekerasan itu. Ada banyak zinah dalam
kekerasan itu, model-modelnya pelecehan dan lain sebagainya yang tidak dilihat
oleh mereka yang kontra,” terangnya.
Perempuan Dukung Perempuan
Dukungan terhadap korban kekerasan juga
turut diberikan oleh KOHATI Badko Kalimantan Barat. Dalam pemaparannya pada
diskusi, Fitri Radiantini yang merukan ketua OKP tersebut menyatakan bahwa
perempuan perlu dukungan khusus dalam kasus kekerasan. Upaya tersebut salah
satunya dengan cara mendorong dan mendukung Permendikbud yang baru saja
diluncurkan oleh pemerintah.
“Melalui kampanye 16 Hari Anti
Kekerasan Terhadap Perempuan menunjukkan bahwa kita dengan adanya
Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021,” ungkapnya.
Ia juga turut menyoroti perihal data
yang menunjukkan bahwa kini 77% kekerasan seksual terjadi di kampus, namun 66%
dari korban tidak berani untuk mengadukan kasusnya dan tidak mendapatkan
pelayanan dalam penyelesaian kasus. Menurutnya, hal ini penting untuk disoroti sehingga perlu adanya Permendikbud
tersebut.
“Sebagai OKP keperempuanan, kami konsen
mendukung Permen ini, kami juga senantiasa memberikan edukasi utamanya kepada
perempuan, hal ini karena biasanya perempuan ketika mendengar kata seksual atau
misalnya payudara dianggap sebagai hal yang malu atau tabu sehingga informasi
dan edukasi harus diberikan,” bebernya.
Mahrus: Laki-Laki Juga Banyak yang
Menjadi Korban KS
Kasus kekerasan seksual dapat terjadi
dimana saja dan menimpa siapa saja. Potensi menjadi korban tidak hanya terjadi
pada perempuan, namun juga laki-laki dan gender lainnya. Hal tersebut
diungkapkan Mahrus Agustian yang merupakan ketua Rumah Diskusi Kalbar.
“Jangan membatasi konteks bahwa
kekerasan seksual adalah hanya perempuan saja, saat ini laki-laki juga banyak
yang menjadi korban,” tegasnya.
Sebagai organisasi kepemudaan, Mahrus
turut menyayakan bahwa Rumah Diskusi komitmen dalam mendorong Permen yang ada
melalui cara mengawal pembentukan satgas yang bersih dari unsur KS dilingkup
kampus khususnya IKIP PGRI Pontianak.
“Rumah Diskusi mendorong dibentuknya
satgas anti kekerasan seksual. Sekarang yang penting adalah mereka yang
terlibat dan menjadi bagian dari satgas adalah mereka yang bersih, bukan bagian
dari predator-predator kampus,”.
“Saya mengajak seluruh yang hadir dalam
forum ini untuk bersama-sama kita kawal satgas yang bersih dan sesuai dengan
perspektif korban kedepannya,” ujarnya
Tubuh Adalah Otoritas Masing-Masing
Arniyanti, Pegiat Gemawan telah
beberapa kali menjadi pendamping dalam penanggan kasus KS di Pontianak. Ia
membenarkan bahwa selama ini kasus KS kerap sulit untuk diungkap karena
berbagai faktor seperti halnya intimidasi dan lain sebagainya masih kerap
terjadi. Oleh karenanya penting mendukung adanya Permendikbud yang ada.
Ia juga menggarisbawahi bahwa menjadi
pelaku atau korban dalam KS sangat mungkin terjadi pada siapa saja. Jika tidak
ada aturan yang mengatur, bukan tidak mungkin hal serupa akan semakin besar
namun dengan penanganan yang berlarut.
Lebih jauh, ia juga menyatakan bahwa konteks
kekerasan seksual yang ada tidak hanya menjangkau laki-laki, saat ini banyak
pula perempuan yang menjadi pelaku KS sehingga menambah edukasi dan menjaga
diri penting untuk dilakukan. “Tubuhmu adalah otoritas dirimu,” pungkas Arni.
Penulis: Tim Dokumentasi KM Kalbar
Editor : Aan