Ketua DPD RI A LaNyalla Mahmud Mattalitti |
Pendapat
tersebut disampaikan LaNyalla saat menyampaikan pidato utama dalam Focus Group
Discussion Amandemen ke-5 UUD 1945: Penghapusan Ambang Batas Pencalonan
Presiden dan Membuka Peluang Calon Presiden Perseorangan di Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Pontianak, Rabu (27/10/2021).
“Saya
mengajak insan kampus untuk memantik diskusi konstitusi agar pada akhirnya
pemerintah dan DPR RI serius membahas dan menakar Presidential Threshold secara
rasional. Agar rakyat tidak dihadapkan pada dua pilihan sehingga demokrasi semakin
sehat,” kata LaNyalla.
LaNyalla
menegaskan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden tidak
ada dalam konstitusi. Yang ada adalah ambang batas keterpilihan presiden.
“Beberapa
waktu lalu saya membuka FGD di kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Dari
tiga narasumber dalam FGD itu, semuanya mengatakan dalam konstitusi yang ada
adalah ambang batas keterpilihan, bukan ambang batas pencalonan,” katanya.
Mengapa ada
batas keterpilihan, lanjut LaNyalla, karena untuk menyeimbangkan antara
popularitas dengan prinsip keterwakilan yang lebih lebar dan menyebar. Itu
diatur dalam UUD hasil amandemen di Pasal 6A Ayat (3) dan (4).
Sedangkan
terkait pencalonan, UUD hasil amandemen jelas menyatakan tidak ada ambang
batas. Karena dalam Pasal 6A Ayat (2) disebutkan; “Pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik
peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”
Namun
kemudian semakin salah kaprah dengan lahirnya Undang-Undang tentang Pemilu,
yang malah mengatur tentang ambang batas pencalonan. Yaitu Undang-Undang Nomor
7 Tahun 2017 tentang Pemilu, perubahan dari Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008.
Dalam
Undang-Undang tersebut, di Pasal 222 disebutkan; “Pasangan Calon diusulkan oleh
Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi
persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau
memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR
sebelumnya”.
“Jadi selain
memberi ambang batas yang angkanya entah dari mana dan ditentukan siapa, di
Pasal tersebut juga terdapat kalimat; “pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”. Ini
membuat komposisi perolehan suara partai secara nasional atau kursi DPR
tersebut diambil dari komposisi lama atau periode 5 tahun sebelumnya,” tutur
Mantan Ketua Umum PSSI itu.
Menurut
LaNyalla pasal tersebut aneh dan menyalahi Konstitusi. Undang-Undang Pemilu
tersebut jelas bukan Derivatif dari Pasal 6A UUD hasil amandemen.
“Jadi selama
Undang-Undang ini berlaku, maka Pilpres tahun 2024 mendatang, selain masih
mengunakan ambang batas pencalonan, juga menggunakan basis suara pemilu tahun
2019 kemarin. Atau basis hasil suara yang sudah “basi”. Padahal di tahun 2024,
ada partai baru peserta pemilu. Lantas apakah mereka tidak bisa mengajukan
pasangan capres dan cawapres. Padahal amanat konstitusi jelas memberikan hak
pengusung kepada partai politik peserta pemilu,” ujarnya.
Melihat
fakta-fakta yang ada, LaNyalla berharap FGD yang dilakukan DPD bisa menjadi
pemantik kesadaran seluruh elemen bangsa, khususnya kalangan terdidik di
perguruan tinggi, untuk memikirkan secara serius masa depan bangsa ini, demi
Indonesia yang lebih baik. Demi Indonesia yang mampu mewujudkan Keadilan Sosial
Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
“Itulah
alasan saya datang ke kampus-kampus untuk berbicara soal konstitusi. Karena
sejak dilantik sebagai Ketua DPD RI pada Oktober 2019 lalu hingga saat ini saya
sudah keliling ke 33 Provinsi di Indonesia. Hingga menemukan kesimpulan bahwa
semua permasalahan di daerah sama. Mulai dari persoalan sumber daya alam daerah
yang terkuras, hingga kemiskinan, setelah saya petakan, ternyata akar
persoalannya ketidakadilan sosial,” tegasnya. (tim liputan).
Editor : Aan