![]() |
Catatan Teguh Santosa (Mantan Wakil Rektor Universitas Bung Karno) |
KALBARNEWS.CO.ID (JAKARTA) - Mengenang Hari Pancasila, 1 Juni, yang tentu saja akan mengenang pencetusnya yakni Bung Karno (BK). Pada saat bersamaan situasi politik kaum Soekarnois terbelah memanas karena terkesan rivalitas pewaris ideologi Marhaenisme menuai kecemasan publik, antara Puan Maharani dan Ganjar Pranowo.
Klaim Marhaenisme ini baru-baru ini
disematkan Dhaniel Dhakidae, ahli politik, pada PDIP sebagai pewaris sah
Marhaenisme sampai saat ini. Apakah ideologi Marhaenisme itu?
Apakah Puan Maharani versus Ganjar melakukan
rivalitas karena pertarungan tafsir baru ideologi Marhaenisme? Apakah pengikut
Puan dan Ganjar terbelah secara ideologis seperti pengikut Stalinism versus
Trotskyism dulu di Rusia? Atau keterbelahan pengikut Tan Malaka versus BK diawal
Revolusi Kemerdekaan kita?
Meninjau pikiran BK untuk melihat ideologi
Bung Karno sangat penting kita lakukan, karena bagaimanapun, selain kontribusi
pikiran ideologi Bung Karno (BK) sangat besar bagi kemerdekaan dan perjalanan
bangsa, suksesi ideologis via PDIP ke depan juga sangat penting diketahui
rakyat. Pikiran-pikiran Bung Karno berkembang dalam dua tahapan, yakni BK Muda
dan BK Tua.
BK muda adalah fase sebelum dia menjadi
presiden, sedangkan BK tua setelah dia menjadi presiden. Pembagian seperti ini
untuk menyederhanakan saja, bahwa pikiran BK muda lebih sebagai pergolakan
pemikiran, original dan unique. Sedangkan BK tua sudah bercampur dengan pragmatisme
kekuasaan, seperti akomodasi politik dan lainnya.
Pada masa Sukarno muda, tiga fase penting
mengantarkan dirinya sebagai pemikir ideologis. Pertama adalah interaksinya
dengan Tjokroaminoto, kedua adalah pemenjaraan di Sukamiskin, serta ketiga adalah
di masa pembuangan di Ende dan Bengkulu. Kita akan melihat fase-fase ini,
setidaknya sebagai sebuah refleksi ketika pikiran-pikiran si Bung masih murni,
masih perawan.
Dalam fase ini ada tiga naskah besar yang
cukup untuk mewakilinya, yakni pertama esai BK tahun 1926 "Nasionalisme,
Marxisme dan Islamisme", kedua pledoi BK di pengadilan Bandung tahun 1930,
"Indonesia Menggugat" dan
ketiga, esai BK tentang "Islam Sontoloyo". Cukup artinya untuk
melihat utuh pemikiran BK ketika muda tersebut. Marilah kita lihat ideologi BK.
Nasionalisme
Persentuhan politik BK di awal kehidupan
remajanya menghasilkan pluralisme keyakinan politiknya. Pluralisme bukan
pluralistik. Arfandi Cenne dalam Pemikiran Politik Soekarno Tentang Nasakom
(2016) mengatakan itu sebagai eklektik, tapi saya lebih memilih pluralisme.
Pluralisme artinya Sukarno benar-benar
percaya bahwa ada tiga "isme" yang mampu bersatu membebaskan
Indonesia, yakni Islamisme, Marxisme, dan Nasionalisme. Islamisme tentu
merupakan isme awal interkasi BK dengan Tjokroaminoto, guru politik pertama dan
mertuanya diusia belia. Tjokro mengajar Islam sebagai alat pembebasan atas
penderitaan rakyat dan perjuangan pembebasan itu bersifat internasional.
Bersamaan dengan Islamisme, BK berinteraksi
dengan senior-senior anak kos di kediaman Tjokroaminoto, di Surabaya, yang
tumbuh kemudian dalam isme lain, yakni Sosialisme. Tokoh-tokoh utama Sosialisme
adalah, Muso, Sneevliet, Alimin, Tan Malaka, dan Samaun, yang gigih
menggerakkan massa buruh pelabuhan, kereta api dan perkebunan saat itu, sebagai
aktifis Sarekat Islam (SI).
Dalam tubuh SI saat itu ada tokoh-tokoh yang
hanya memanfaatkan SI sebagai "kuda Troya" untuk memasarkan
Sosialisme yang dibawa Henk Sneevliet sebagai ideologi penggerak, namun ada
juga yang meyakini Sosialisme itu sama dengan Islamisme, seperti Haji Misbach
di SI Solo. Di sisi lainnya, Tan Malaka yang komunis, meminta sinergitas politik Islam dan
Komunisme terjadi.
Soekarno ketika mahasiswa di Bandung
berinteraksi dengan tokoh-tokoh yang juga beragam. Selain tokoh-tokoh Islam,
seperti A. Hassan, Persis, bertemu juga tokoh2 nasionalis, seperti pendiri
Indische Partij, Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantara.
Tentang nasionalisme ini juga mungkin karena bersentuhan dengan organisasi Budi
Utomo, Jong Java dan situasi dunia paska perang dunia pertama. Untuk yang
terakhir ini, kekalahan Dinasti Ustmaniyah Ottoman, telah membuat negara-negara
Islam di Arab dan Asia terbagi dalam satuan negara berbasis nasional maupun
tanah air. Istilah cinta tanah air menjadi gerakan di mana-mana melawan
penjajah.
Nasionalisme bagi Bung Karno sesungguhnya
kurang memiliki batas yang jelas. Di satu sisi Bung Karno merujuk pada Ernest
Renan bahwa Nasionalisme terjadi karena kesamaan sejarah dan kesamaan
cita-cita. Dalam terminologi Ben Anderson atau Ernest Gellner, merujuk pada
teori modernitas, kebangsaan itu hanyalah produk modernisasi atau
industrialisasi. Namun, ketika Sukarno menulis "Naar Het Bruine
Front" di tahun 1927, Sukarno merujuk pada pembedaan warna kulit, kulit
putih (asing) versus kulit cokelat (pribumi).
Hal ini merujuk pada teori biologi atau
sosio-biologi. Hitler dulu menggunakan teori biologi ras, yang menerangkan usul
Bangsa Jerman sebagai ras Aria, untuk
membangun nasionalisme Jerman. Namun, menurut BK nasionalisme Hitler adalah
fasis dan Jingoisme, yang dia tidak sepakat.
Nasionalisme digunakan BK untuk mengikat
kelompok ideologis lainnya, dalam persatuan perjuangan. Namun, dalam versi lain
berimpit sebagai Marhaenisme.
Marhaenisme
Marhaenisme adalah nasionalisme versi Bung
Karno. Dalam sebuah versi, Marhaenisme ini menjelaskan tentang konsep
"self-reliance" (kemandirian), tentang sosok yang mengkonsumsi apa
yang diproduksinya. Namun, versi lain, seperti dalam "Indonesia
Menggugat" Marhaenisme juga merujuk pada buruh perkebunan gula yang
tertindas. Kadangkala BK menggunakan istilah Kromo dan Marhaen sebagai substitusi,
kadang keduanya eksis.
Marhaenisme dalam komparasi perjuangan kaum
Buruh di Eropa, dalam pisau bedah Sosialisme ataupun Marxisme tidak berimpit
namun BK memaksakan agar bisa diterima sebagai sebuah tesis. Memang kala itu
Sosialisme di luar eropa, seperti di Rusia, apalagi di negara-negara jajahan,
yang agraris, kesulitan merekonstruksi dialektika sejarah materialisme berbasis petani kecil (bukan buruh) versus kapitalis.
Dalam "Indonesia Menggugat", dengan
sekitar 70 pemikir Barat sebagai referensi, yang digunakan BK menjawab
pertanyaan mengapa dia berjuang dan untuk siapa dia berjuang, BK menunjukkan
vis a vis rakyat tertindas melawan kapitalisme dan imperialisme tidak menggunakan
pisau analisa Marhaenisme.
Mayoritas
pisau analisa yang digunakan adalah sosialisme dan Marxisme. Namun,
ketika menjelaskan kaum Marhaen harus bergerak melawan penjajah secara radikal
dan revolusioner, BK secara "self-proclaimed" coba mensejajarkan atau
mengkomparasi perjuangan kaum buruh di Belanda dengan kaum Marhaen di Indonesia saat itu.
Misalnya, ketika BK menjelaskan soal upah, BK menunjukkan struktur Kapitalisme dan Imperialisme yang meletakkan buruh hanya sebagai penyedia tenaga kerja murah dan sebagai pasar/penyerap kelebihan pasar produk-produk Belanda.
Dalam struktur Kapitalistik, investasi/modal
dan infrastruktur tidak dimaksudkan untuk mensejahterakan rakyat, melainkan
hanya berfungsi untuk mempercepat eksploitasi sumber daya alam saja.
Sukarno memperlihatkan 70 persen hasil
kekayaan penjajahan di bawa ke Belanda. Sebaliknya, upah buruh pabrik gula per
hari saat itu 0,45 gulden untuk lelaki, 0,35 gulden perempuan dan harga beras
0,07 gulden per kg, artinya upah buruh setara dengan 6 kg beras.
Kejahatan imperialisme (tua dan modern) itu,
selain soal akumulasi kapital, penindasan buruh dan pencarian pasar bagi
"over supply" produk-produk di Belanda maupun negara barat, juga
menghancurkan budaya rakyat. BK mengatakan Imperialisme memporak-porandakan
seluruh sistem sosial. Dan kemudian dijustifikasi oleh ahli-ahli sosial barat,
maupun kaum agamawan mereka bahwa sudah sepantasnya penjajahan itu diterima
sebagai bagian mendidik bangsa rendahan seperti Indonesia.
Sukarno menolak persepsi "kasta
rendah" yang coba dibentuk kaum penjajah terhadap rakyat Indonesia.
Dalam perspektif teori post-kolonial, intelektual barat memang dibiayai oleh
kapitalis penjajah untuk melakukan stigmatisasi dan stereotifikasi bangsa kita
sebagai bangsa inferior, kasta rendah, kanibal, tahayul, pemalas dan lainnya.
BK, sebagaiman kemudian hari Edward Said, ahli teori postkolonial, menuduh argumen ahli barat itu, bahwa stigmatisasi
itu memang diperlukan mereka untuk menciptakan ketergantungan permanen, dan
kerusakan total budaya bangsa harus terus menerus dipelihara agar harga diri kita
musnah dan kemandirian, apalagi rasa ingin merdeka, tidak pernah terpikirkan
lagi.
Dari konstruksi di atas, di mana Sosialisme
dipakai sebagai pisau analisa sedangkan Marhaenisme digunakan sebagai isme
pemersatu rakyat kecil terjajah, maka Marhaenisme kemudian berkembang sebagai
mixed atau bercampur antara Nasionalisme dan Sosialisme.
Anti Kapitalisme dan Oligarki
BK, meminjam pikiran Multatuli, telah menunjukkan bagaimana beda imperialisme tua dan modern. Imperialisme tua bagaikan penghisapan di hilir, ketika semua kekayaan terkumpul dari ranting dan cabang-cabang pada pusatnya. Sedangkan imperialisme modern, mesin penghisap itu mempunyai pipa-pipa penghisap langsung ke cabang-cabang dan ranting-rantingnya, sehingga tidak ada yang tersisa.
Era tua meliputi VOC dan kulturstelsel telah
melumpahkan dan melumatkan bangsa kita, termasuk kaum feodal, yang sebelumnya
cukup mewakili kaum menengah pribumi. Namun, imperialisme modern, jaman
"open policy", di mana modal dan investasi menjadi kata kunci,
kehancuran bangsa kita semakin babak belur lagi.
Pada 1870, era kapitalisme modern, ditandai
dengan liberalisasi modal. Negara tidak berhak lagi mengatur siapa yang
mengontrol eksploitasi di bumi kita ini.
Sehabis era kulturstelsel, melalui UU Agraria
(Agrarische Wet) dan UU Perkebunan Gula (Suikerwet), pemilik modal Belanda dan
Eropa bebas berinvestasi. Pada fase ini negara sudah mulai didikte oleh kaum
Oligarki Belanda dan Eropa. Gubernur Jenderal
sudah mulai diatur pemilik modal dalam skenario "return to capital"
yang memanjakan investor.
Jika di Belanda dan Eropa, era ini ditandai
dengan demokrasi, akibat meletusnya Revolusi Prancis, 1879, yang mendorong
kebebasan rakyat berserikat dan berkumpul, sebaliknya tidak terjadi di negeri
jajahan.
Pada pledoinya, BK menunjukkan
Kapitalisme/imperialisme modern ini harus dihancurkan. BK ketakutan jika
Kapitalisme ini terus berlanjut, suatu waktu akhirnya hanya menyisakan sampah.
Indonesia sudah tidak punya kekayaan lagi.
Sebab, dalam analisa Marxian, akumulasi modal
terus menerus dikuasai pemodal, karena surplus kapital (value added) dari
produksi serta hubungan produksi (relations of production) tidak dikontrol oleh
kaum buruh. Dalam penjajahan, kaum Marhaen tidak mengontrol surplus ekonomi
yang dieksploitasi negara dan swasta asing itu.
Menyetir perbandingan gerakan kaum buruh SDAP
Belanda, yang ingin mensejahterakan buruh melalui perebutan kekuasaan negara,
secara legal, BK juga ingin mensejahterakan rakyat melalui perebutan kekuasaan
secara legal, yakni melalui Indonesia merdeka.
Namun, di Belanda legal yang dimaksud adalah
adanya demokrasi, yang mana buruh bebas mengorganisasikan permusuhan dengan
kaum Oligarki dan Kapitalis, termasuk di luar parlemen. menurut BK adalah hak
kaum Marhaen pula memusuhi penjajah dan penjajahan. Namun, pikiran BK ini
menyebabkan dia divonis empat tahun penjara di Bandung.
Sikap terhadap Islamisme
BK muda adalah seorang arsitek yang mampu
meletakkan komponen bangsa yang harus terdesain bersatu. Tentu dia juga arsitek
benaran, alumni ITB.
Islamisme dipercaya BK mempunyai jawaban
untuk melawan penindasan. Namun, BK lebih percaya pada Sosialisme. Tentu saja
ini keniscayaan, karena Islamisme mengalami kemerosotan, setelah kekalahan
Khalifah Ustmaniyah, dalam perang dunia pertama. Sebaliknya, Sosialisme mulai
berjaya, khususnya setelah keberhasilan Revolusi Bolshevik, di Rusia.
Baik di dalam esai "Nasionalisme,
Marxisme dan Islamisme", 1926, Pledoi "Indonesia Menggugat",
1930 maupun surat-surat atau tulisan tentang Islam dari Ende dan Bengkulu,
menunjukkan BK percaya kemampuan ideologi Islam tersebut, sebagai sebuah
"worldview". Misalnya, PSI
(Partai Sariket Islam), sebuah partai yang didirikan Tjokroaminoto, sebagai
kelangsungan Syerikat Islam (SI), sering dikutip BK dalam pledoinya sebagai
Islam yang revolusioner, yang ditiru PNI. Sebaliknya, kritik BK terkait
masyarakat Islam, dan ulamanya, memang acapkali dilontarkannya, terkait yang terpasung dengan Islam sebagai ajaran
ritual semata, yang kurang menggali Islam sebagai ajaran revolusioner.
Persatuan Nasional yang Temporer
Sukarno yang memproklamasikan dirinya dan PNI
radikal serta revolusioner di dalam pledoi "Indonesia Menggugat",
faktanya belum mempunyai basis massa yang jelas. Sebab, PNI baru saja akan
berkembang saat itu untuk menjadi gerakan massa rakyat, meniru metoda Komunis
dan Syerikat Islam. Belanda sendiri menuduh Sukarno dan PNI nya merupakan
kelanjutan PKI (Partai Komunis
Indonesia), yang baru saja dibubarkan Belanda, karena memberontak (1926).
Namun, kehadiran PNI tentu penting untuk mengkonsolidasikan
kekuatan massa aksi di luar penggalangan berbasis Komunisme dan Islamisme. Hal
ini pula yang menjadi kekuatan posisi tawar BK menggalang kekuatan perlawanan
terhadap imperialisme Belanda.
Massa aksi yang dibayangkan BK tentunya bukan massa aksi kaum proletar yang
dilukiskan Karl Marx di Eropa. Tesis Sosialisme atas perebutan kekuasaan akan
terjadi sendirinya dengan bersatunya kaum buruh dan merebut kekuasaan dari kaum
kapitalis, pada fase Kapitalisme yang matang. Atau juga tidak sama dengan yang
dianjurkan Trotskyism untuk kerjasama buruh (dominan) dengan massa petani,
dalam konsep "permanent revolution", di negara model Rusia atau
negara lainnya yang belum berada pada fase industrialisasi.
Jadi, karena jalan revolusi yang dibayangkan BK harus melalui perebutan kekuasaan atau merdeka dengan pemerintahan sendiri, semua kekuatan revolusioner atau radikal tidak boleh saling melemahkan. Ini adalah strategi dua langkah (two stage revolution) yakni bersatu padu merebut kemerdekaan, lalu, langkah selanjutnya, berkompetisi mendominasi arah revolusi kemerdekaan. Jadi persatuan antara ideologis ini bersifat sementara.
Lima hal uraian di atas, "Nasionalisme,
Marhaenisme, Anti Kapitalisme dan Oligarki, Sikap Terhadap Islamisme dan
Persatuan Nasional Yang Temporer" merupakan fenomena ideologi Bung Karno
muda yang dapat kita rekam.
Dari paparan di atas, diperlihatkan apa yang
perlu diteladani dan apa yang menjadi critical issue dari fenomena ideologi BK
tersebut. Kita perlu meneladani perjuangannya terhadap kaum buruh dan rakyat
miskin. Kita perlu meneladani perlawanannya pada Kapitalisme dan Oligarki.
Kita perlu meneladani kegigihannya meletakkan
ruang bersama bagi kepentingan atau misi perjuangan dari kelompok ideologis
yang bertentangan. Kita perlu mengapresiasi kemampuannya menganalisis
problematika persoalan bangsa dan ketertindasan. Namun, kita perlu mewaspadai
beban historis yang berat untuk menyatukan kepentingan kelompok ideologis yang
selalu ada di Indonesia.
Lalu apakah ideologi Sukarno muda ini masih
relevan dengan nasib dan arah Marhaenisme dan kaum Marhaen ke depan?
Apakah tafsir pertarungan Puan Maharani
versus Ganjar Pranowo terwakili dalam fenomena nasib kaum buruh, tani dan
nelayan yang semakin miskin di era pandemi? Apakah bangsa ini paham tentang
perjuangan Sukarno muda?
Penulis adalah mantan Wakil Rektor Universitas
Bung Karno (UBK)
Editor : EJ