KALBARNEWS.CO.ID (JAKARTA) - Setelah beberapa minggu berada di kota Termez, di selatan Uzbekistan yang berbatasan dengan Afganistan, Teguh Santosa akhirnya memutuskan angkat kaki kembali ke ibukota Tashkent dan pulang ke Indonesia.
Hampir 20
tahun lalu, Teguh yang ketika itu baru bekerja sebagai wartawan ditugaskan
meliput konflik di Afganistan. Tidak seperti beberapa wartawan Indonesia yang
berusaha masuk Afganistan dari Pakistan di selatan, Teguh memilih jalan
berbeda. Ia bermaksud menggunakan Uzbekistan sebagai pintu masuk ke Afganistan.
Setelah mendarat di ibukota Tashkent ia melajutkan perjalanan ke kota Termez
yang berada di tepi Sungai Amu Darya. Sungai ini memisahkan Uzbekistan dan
Afganistan.
Di kota
kelahiran Imam Tarmizi itu Teguh dan beberapa wartawan asing menunggu
kesempatan menyeberangi Jembatan Persahabatan di atas Amu Darya.
CEO RMOL
Network itu menceritakan sedikit kisah perjalanannya ke Uzbekistan dalam
diskusi RMOL World View bertema “Mengenal Tradisi Ramadhan di Uzbekistan” yang
digelar secara online pada hari Senin (11/5).
Diskusi yang
dipandu Redaktur Kantor Berita Politik RMOL, Amelia Fitriani, itu menghadirkan
Second Secretary Kedubes Uzbekistan di Jakarta, Muzaffar Abduazimov.
“Saya
berkunjung ke Uzbekistan, hampir 20 tahun lalu, setelah peristiwa 9/11 di New
York dan sebelum perang di Afganistan,” ujarnya.
Selain untuk
meliput perang di Afganistan, perjalanan ke Uzbekistan juga dimanfaatkan Teguh
untuk mempelajari negara-negara Asia Tengah, terutama Uzbekistan, setelah
berpisah dengan Uni Soviet sepuluh tahun sebelumnya.
“Itu
pengalaman yang sangat luar biasa. Musim gugur yang indah, udara cukup dingin.
Saya menikmati kuliner Uzbekistan, seperti plov, saslik, dan juga ayam yang yummy,”
ujarnya.
Selama berada
di Uzbekistan, setiap hari Teguh mengirimkan reportase baik mengenai perang
yang sedang berkecamuk di Afganistan, maupun mengenai situasi di Uzbekistan dan
negara-negara lain di kawasan. Reportase itu telah diterbitkan sebagai sebuah
buku berjudul “Di Tepi Amu Darya” pada tahun 2018, dan dicetak ulang tahun 2020
lalu.
Namun,
pemerintah Uzbekistan tak kunjung membuka Jembatan Persahabatan. Teguh bertahan
sampai logistiknya mendekati titik nol.
“Saya dapat
memahaminya (pemerintah Uzbekistan tetap menutup Jembatan Persahabatan), karena
Uzbekistan berusaha mencegah arus pengungsi dan juga kemungkinan Taliban
(membonceng pengungsi) memasuki Uzbekistan,” ujarnya lagi.
Bagi Teguh
yang kini memimpin Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI), perjalanan ke Uzbekistan
adalah pengalaman yang luar biasa dan akan tetap dikenangnya.
“Itu adalah
perjalanan pertama saya ke luar negeri sebagai wartawan. Saat itu saya baru
berusia 25 tahun, masih muda. Sangat sehat. Juga tidak mengkhawatirkan risiko
apapun,” sambungnya.
Teguh yang
sedang menyelesaikan studi doktoral di Jurusan Hubungan Internasional
Universitas Padjadjaran (Unpad) berharap suatu hari ini dirinya dapat kembali
ke Uzbekistan.
“Saya
berharap satu saat nanti, entah kapan, saya bisa kembali ke Termez untuk
menyelesaikan mimpi saya, melanjutkan perjalanan ke Afganistan. Menyeberangi
Amu Darya menuju Hairaton lalu Mazar I Syarif, dan selanjutnya ke Kabul,”
demikian Teguh Santosa. [tim liputan].
Editor : Aan