KALBARNEWS.CO.ID (JAKARTA) - Gisel
Anastasia mendadak menjadi selebritas paling menyedot perhatian dalam beberapa
minggu ini. Bukan karena kerja keseniannya tapi karena ketelanjangannya.
Ia, iseng memvideo hubungan seksual extra
marital dan video itu kemudian menyebar kemana-mana dan sekarang dia menjadi
tersangka.
Seorang selebritas tepergok sedang menjajakan
layanan seksual di hotel bersama laki-laki kostumernya dan mucikari yang
menjajakan layanan seksualnya secara online.
Dunia selebritas Indonesia lebih ramai dengan
berita keterlibatan artis-artisnya dalam aktivitas prostitusi online daripada
kerja-kerja seni. Para selebritas lebih sering muncul di media karena
tertangkap lagi nyabu daripada memamerkan karya-karya seninya.
Selebritas yang tertangkap karena prostitusi
wajahnya disembunyikan dengan ketat dari kamera dan namanya dilindungi dengan
hanya menyebutkan inisialnya saja.
Kehormatan, privasi, dan harga diri para
pelaku prostitusi online itu begitu pentingnya, sampai wajah dan namanya tidak
boleh disiarkan ke publik.
Sementara itu, beberapa aktivis politik yang
dianggap melakukan tindakan oposisi yang menentang kekuasaan, banyak di
antaranya dikategorikan sebagai ulama atau pemimpin umat, ditangkap dan
dipamerkan kepada publik secara telanjang.
Wajah mereka tidak disembunyikan dari kamera,
dan nama mereka tidak dirahasiakan dengan penyebutan iniasialnya saja. Malah
tangan mereka diborgol dan dipamerkan ke publik lengkap dengan rompi tahanan
berwarna mencolok.
Mereka adalah musuh-musuh negara yang boleh
dikorbankan dan bahkan dibunuh. Enam orang anggota FPI (lama) tewas terbunuh
dan seolah-olah pembunuhan itu dilegitimasi karena keenam orang itu adalah
manusia telanjang yang tidak terlindungi hukum.
Filosof Italia, Giorgio Agamben memperkenalkan manusia telanjang dalam "Homo Sacer, Sovereign Power and Bare Life (1998)" (Edisi terjemahan, 2020). Ia menggambarkan ketelanjangan manusia dan ketidakberdayaannya menghadapi hukum kekuasaan. Para korban yang tidak berdaya di depan hukum itu adalah "homo sacer" manusia-manusia telanjang yang tidak terlindungi dari tekanan kekuatan hukum kekuasaan.
Negara mempunyai kekuasaan "sovereign
power", kekuasaan berdaulat, bahwa
penguasa adalah orang yang bisa membuat keputusan atas dasar eksepsi atau
pengecualian. Hukum tidak berlaku sama terhadap semua orang, tetapi berlaku
pengecualian eksepsional sesuai keinginan penguasa.
Pada satu saat kerumunan massa di saat
pandemi terjadi di banyak tempat. Ribuan dan bahkan puluhan ribu orang
berjubelan tanpa pelindung masker dan tanpa menjaga jarak. Tapi peristiwa ini
tidak membawa konsekuensi hukum. Tidak ada tanggung jawab hukum terhadap pelaku
kerumunan itu.
Pada titik yang lain kerumunan yang sama
terjadi, dan konsekuensinya berbeda.
Tuan rumah ditangkap, ditahan, dan terancam
dibui dalam masa yang lama. Peristiwa yang sama konsekuensinya berbeda karena
penguasa mempunyai "sovereign power" yang bebas memberlakukan
pengecualian eksepsional.
Sovereign, kedaulatan, menjadi kekuasaan yang
tidak tertandingi karena menempatkan diri sebagai representasi seluruh rakyat.
Semboyan-semboyan besar diciptakan menjadi sakral "NKRI Harga Mati"
adalah kekuasaan yang tidak tertandingi karena diklaim sebagai kekuatan yang
mewakili seluruh rakyat.
Diluar sovereign power tidak boleh ada yang
kebal hukum dan merasa di atas hukum. Karena itu seluruh kekuatan pemaksa yang
dipunyai kekuasaan dikerahkan total. Baliho-baliho diturunkan. Organisasi
dilarang. Lambang-lambang tidak boleh dipergunakan.
Sovereign power memiliki kekuasaan hukum
untuk membatalkan validitas hukum, yakni, hukum berada di luar hukum itu
sendiri. "Aku, Sang Daulat yang berada di luar hukum, menegaskan bahwa
tidak ada apapun yang berada di luar hukum".
Atas nama soverignity penguasa bisa
menangguhkan hukum justru dengan hukum itu sendiri melalui eksepsi. Tidak boleh
ada kendaraan yang masuk ke jalan verboden kecuali mobil pejabat. Tidak boleh
ada masa bakti kepresidenan lebih dari dua periode kecuali demi kepentingan
nasional yang lebih besar.
Kekuasaan mempunyai kekuatan untuk melakukan
eksepsi-eksepsi, pengecualian-pengecualian.
Atas nama normalisasi keadaan darurat,
kekuasaan bisa mengambil alih kewenangan legislatif dan judikatif dan juga bisa
melakukan kekerasan. Tanpa proses hukum "due process" , enam orang
menteri atau setingkat menteri berkumpul sambil ngopi-ngopi lalu membuat surat
keputusan bersama melarang keberadaan organisasi tertentu.
Tidak cukup dengan itu, kekerasan bisa
dilakukan dengan menangkap dan memenjarakan siapa saja yang tidak mematuhi
keputusan itu. "Rezim demokrasi membentuk kontinuitas dengan rezim totalitarianisme,"
kata Agamben.
Karena itu suasana kedaruratan harus
diciptakan. Konstruksi kedaruratan harus dibangun. Dulu di zaman Soeharto
kedaruratan dibentuk dengan dimunculkannya ancaman PKI. Rezim Soeharto bertahan
32 tahun atas nama kondisi darurat itu.
Sekarang kedaruratan dikonstruksi atas nama ancaman
radikalisme dan ekstremisme Islam--dan yang terbaru--populisme Islam.
Konstruksi kedaruratan ini harus ada supaya kekuasaan bisa melakukan
langkah-langkah hukum yang eksepsional melampaui kewenangan legislatif dan
judikatif.
Politik harus ditransformasikan secara
radikal menjadi dunia kehidupan yang telanjang dalam sebuah kamp konsentrasi
raksasa yang memungkinkan penguasa melakukan dominasi total.
Istilah kamp konsentrasi, dalam pemikiran
Agamben, bukan hanya merujuk pada makna harfiah, tapi merujuk juga pada kondisi
dimana manusia menjadi semata-mata tubuh wadag ragawi tanpa identitas politik,
tanpa perlindungan hukum, sehingga terekspos secara langsung oleh berbagai
kekerasan.
Homo sacer, manusia telanjang, adalah
seseorang yang sudah dilucuti haknya sebagai warga yang terhormat, sehingga
bahkan dia boleh dihabisi nyawanya.
Manusia telanjang dibobol hak-hak privasinya
dan pembicaraan pribadinya dibuka kepada publik. Haknya atas kepemilikan
diberangus dan dia diusir dari tanahnya. Tidak ada yang tersedia lagi bagi si
manusia telanjang kecuali sepetak ruangan di penjara.
Manusia telanjang seperti Gisel masih
memperoleh simpati luas dari publik. Banyak pendukungnya di medsos yang meminta
supaya Gisel tidak ditersangkakan atau ditahan.
Perselingkuhan seksualnya malah diselebrasi
sebagai life style baru yang disebut sebagai open relation yang banyak ditiru.
Akun medsosnya malah kebanjiran banyak pengikut baru.
Gisel akan diadili dan, mungkin, dibui
beberapa bulan. Selepas dari bui ia akan selesai dengan hukumannya dan ia tidak
akan menyandang status sebagai mantan narapidana apalagi residivis. Nyaris
tidak ada hukuman sosial terhadap manusia-manusia telanjang semacam ini. Dalam
hampir semua kasus, namanya akan cepat pulih dan popularitasnya malah naik.
Sungguh beda nasibnya dengan manusia
telanjang homo sacer, yang bakal mendekam di penjara bertahun-tahun, menyandang
status sebagai mantan napi, dan hak-hak demokrasinya tercerabut. Sama-sama
manusia telanjang, tapi beda nasib dan perlakuan. (tim liputan JMSI).
Editor : Aan