![]() |
Gus Ulil Abshar Abdalla |
KALBARNEWS.CO.ID (PONTIANAK) – Ketua
Satupena Kalimantan Barat, Rosadi Jamani, menanggapi kritis pernyataan tokoh
Nahdlatul Ulama (NU), Gus Ulil Abshar Abdalla, yang menyebutkan bahwa tambang
tak bisa ditolak secara total, melainkan harus dilihat dari sisi maslahat
dan mafsadah.
Hal ini disampaikan Gus Ulil
dalam debat publik bersama Greenpeace yang disiarkan di program ROSI Kompas TV,
terkait tambang nikel di Pulau Gag, Raja Ampat.
Melalui tulisan berjudul "Tambang
Maslahat ala Gus Ulil (Sebuah Tanggapan)", Rosadi menyoroti penggunaan
argumentasi fikih dalam pembenaran eksploitasi tambang di wilayah yang dikenal
sangat rentan secara ekologis.
“Pulau Gag itu kecil, luasnya
cuma 64 km². Ekosistemnya rapuh, penuh terumbu karang dan spesies langka. Tapi
tambang nikel sudah terbukti merusak lingkungan di sana. Lalu disebutkan bisa
dikelola? Seperti mengelola kemarahan istri saat ketahuan bawa istri kedua,
asal sabar, katanya,” tulis Rosadi dengan gaya khas satire.
Rosadi, yang juga aktif di NGO
lingkungan, menilai pendekatan “fiqih maslahat” yang digunakan Gus Ulil justru
berpotensi menormalisasi kerusakan ekologis, apalagi bila maslahat hanya diukur
dari aspek ekonomi atau ekspor mineral.
Ia mempertanyakan, apakah yang
disebut “maslahat” memang betul dirasakan masyarakat adat yang kehilangan akses
hutan sagu, sungai, dan lahan hidup mereka akibat aktivitas tambang. Ia juga
mengkritik keras pernyataan Gus Ulil yang menyamakan aktivis lingkungan dengan
“wahabi lingkungan”.
“Kalau ada anak muda bilang, ‘Jangan
Tebang Mangrove’ lalu dicap ekstremis, maka yang ekstrem siapa? Aktivis yang
pelihara penyu atau perusahaan yang ingin ledakkan tanah adat demi nikel?”
sindirnya.
Lebih lanjut, Rosadi menyebutkan,
jika argumen pembenaran tambang memakai dalil bahwa negara maju juga
menggunakan tambang untuk kemajuan, maka bangsa ini terjebak dalam siklus dosa
ekologis yang diwarisi demi “Keadilan Karbon”.
“Apakah pembangunan berarti
membangun rumah sakit untuk menyembuhkan penyakit yang disebabkan tambang yang
sama?” katanya.
Rosadi menyarankan agar
pendekatan terhadap lingkungan tidak semata didasari pada debat teks, tetapi
pada realitas kerusakan nyata di lapangan. Ia bahkan menyindir munculnya
“mazhab baru”: Fiqih Ekstraktif, di mana ekskavator diposisikan seperti
malaikat pencatat maslahat, dan debu tambang dianggap parfum kemajuan.
Tulisan tersebut ditutup dengan
pesan kuat bahwa lingkungan tidak bisa diajak kompromi melalui wacana profit
atau pahala.
“Maslahat tidak lahir dari lubang
tambang. Ia tumbuh dari pohon yang tidak ditebang, sungai yang tidak tercemar,
dan suara warga yang tidak dibungkam atas nama pembangunan,” tegas Rosadi.
Rosadi pun menambahkan peringatan
tajam: jangan sampai bangsa ini hanya pandai mengaji tafsir, namun lupa bahwa
tangannya sendiri yang menandatangani izin kehancuran alam. (tim liputan).
Penulis : Rosadi Jamani (Ketua
Satupena Kalbar).