Dari Kejayaan hingga Kepailitan: Perjalanan Panjang Sritex yang Kini Berakhir

Editor: Redaksi author photo

Dari Kejayaan hingga Kepailitan: Perjalanan Panjang Sritex yang Kini Berakhir

KALBARNEWS.CO.ID (SUKOHARTO) - 
Berita ini tengah menjadi sorotan publik di berbagai media sosial (medsos) karena ribuan karyawan PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex, perusahaan tekstil ternama yang berbasis di Sukoharjo, Jawa Tengah, menjalani hari terakhir mereka bekerja pada Jumat, 28 Februari 2025. Fenomena ini menandai babak akhir perjalanan panjang Sritex, yang selama puluhan tahun dikenal sebagai salah satu raksasa industri tekstil di Indonesia, bahkan Asia Tenggara.


Menurut data yang dihimpun oleh Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja (Disperinaker) Sukoharjo, jumlah karyawan Sritex yang terdampak pemutusan hubungan kerja (PHK) mencapai 8.400 orang. Mereka sebelumnya telah menerima keputusan PHK secara resmi pada Rabu, 26 Februari 2025.


Kepala Disperinaker Sukoharjo, Sumarno, menyampaikan bahwa setelah tanggal 1 Maret 2025, Sritex secara resmi akan berhenti beroperasi dan seluruh aset perusahaan akan menjadi tanggung jawab kurator.


"Setelah dilakukan perundingan, sudah menemui titik temu. Intinya adalah PHK telah diputuskan pada 26 Februari, tetapi karyawan tetap bekerja hingga tanggal 28 Februari. Sehingga, mulai 1 Maret, perusahaan ini sepenuhnya berada di bawah kewenangan kurator," ujar Sumarno kepada awak media di Menara Wijaya Setda Sukoharjo, Kamis, 27 Februari 2025.


Sumarno juga menjelaskan bahwa setelah PHK ini, tanggung jawab terkait gaji dan pesangon beralih sepenuhnya kepada kurator yang ditunjuk dalam proses kepailitan. Sementara itu, hak jaminan hari tua karyawan akan diurus oleh BPJS Ketenagakerjaan.


"Perusahaan ini sudah bukan milik manajemen sebelumnya, semuanya berada di tangan kurator," imbuhnya.


Kabar kebangkrutan Sritex menjadi pukulan besar, mengingat perusahaan ini pernah menjadi simbol kejayaan industri tekstil Indonesia. Dengan sejarah panjang sejak era 1960-an, Sritex sempat berkembang menjadi perusahaan multinasional yang dipercaya memproduksi berbagai jenis kain dan pakaian berkualitas tinggi untuk pasar domestik maupun internasional.


Berdasarkan data perusahaan, Sritex didirikan pada tahun 1966 oleh HM Lukminto sebagai perusahaan perdagangan tradisional di Pasar Klewer, Solo. Perusahaan kemudian membuka pabrik cetak pertamanya pada tahun 1968, yang menghasilkan kain putih dan berwarna.


Tahun 1978, Sritex resmi terdaftar sebagai perseroan terbatas di Kementerian Perdagangan dan mulai mengembangkan fasilitas produksinya. Pada 1982, Sritex mulai mendirikan pabrik tenun pertamanya, diikuti dengan ekspansi besar-besaran hingga 1992. Kala itu, pusat produksi Sritex sudah memiliki empat lini utama dalam satu atap, yakni pemintalan, penenunan, penyempurnaan akhir, dan produksi busana.


Perusahaan ini semakin mendunia setelah berhasil menembus pasar internasional. Salah satu pencapaian terbesarnya adalah menjadi produsen seragam militer bagi NATO dan tentara Jerman.


Kepercayaan dunia terhadap kualitas produk Sritex membuat perusahaan ini mampu bertahan bahkan dalam kondisi ekonomi yang sulit. Ketika Indonesia mengalami krisis moneter tahun 1998, Sritex justru berhasil meningkatkan pertumbuhan bisnisnya hingga delapan kali lipat dibandingkan periode sebelumnya


Namun, dalam beberapa tahun terakhir, Sritex mulai menghadapi tantangan berat. Persaingan industri tekstil yang semakin ketat, biaya produksi yang meningkat, serta tekanan dari utang yang menumpuk akhirnya membuat perusahaan ini tidak mampu bertahan.


Kepailitan Sritex bukan tanpa alasan. Perusahaan ini diketahui memiliki utang yang cukup besar kepada sejumlah kreditur. Salah satu kreditur yang menggugat adalah PT Indo Bharat Rayon (IBR), yang mengajukan gugatan di Pengadilan Niaga Semarang pada tahun 2024. Putusan atas perkara ini tercatat dalam nomor perkara 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg, di mana Sritex dinyatakan pailit karena tidak mampu melunasi utang kepada IBR.


Dalam putusan tersebut, Sritex diketahui memiliki utang sebesar Rp101,30 miliar kepada IBR, yang setara dengan 0,38 persen dari total liabilitas perseroan. Dengan putusan ini, Sritex resmi mengalami kebangkrutan dan harus menutup seluruh operasionalnya.


Keputusan PHK massal terhadap ribuan karyawan tentu membawa dampak besar, tidak hanya bagi para pekerja yang kehilangan mata pencaharian, tetapi juga bagi perekonomian di Sukoharjo dan sekitarnya.


Sritex selama ini menjadi salah satu perusahaan yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Dengan ditutupnya perusahaan ini, angka pengangguran di wilayah tersebut diperkirakan akan meningkat signifikan. Sejumlah mantan karyawan mengaku cemas dengan kondisi mereka pasca-PHK. Banyak di antara mereka yang telah bekerja bertahun-tahun di Sritex dan belum memiliki alternatif pekerjaan lain.


"Saya sudah kerja di sini hampir 15 tahun. Sekarang setelah di-PHK, masih bingung mau kerja di mana," ujar salah satu karyawan yang enggan disebutkan namanya.


Selain dampak terhadap karyawan, penutupan Sritex juga berpotensi mempengaruhi ekonomi lokal, terutama sektor usaha kecil dan menengah (UKM) yang bergantung pada permintaan dari industri tekstil.


Dengan status kepailitan yang telah ditetapkan, seluruh aset Sritex kini berada di bawah kendali kurator. Tugas kurator adalah mengelola aset yang tersisa untuk melunasi kewajiban perusahaan kepada kreditur dan memberikan hak-hak yang masih harus dibayarkan kepada karyawan.


Meskipun ada kemungkinan bahwa aset-aset perusahaan akan dijual atau dialihkan kepada investor baru, masa depan Sritex sebagai merek besar di industri tekstil Indonesia masih belum jelas. Bagi para mantan karyawan, tantangan terbesar adalah mencari peluang kerja baru dalam kondisi ekonomi yang masih belum stabil.


Keputusan pailit Sritex menjadi pengingat bahwa bahkan perusahaan besar dengan sejarah panjang pun bisa mengalami kejatuhan jika tidak mampu beradaptasi dengan perubahan pasar dan mengelola keuangan dengan baik. Kini, publik menanti bagaimana pemerintah dan pihak terkait akan menangani dampak sosial dan ekonomi dari penutupan salah satu ikon industri tekstil nasional ini. (Tim Liputan).

Editor : Lan

Share:
Komentar

Berita Terkini